METI: Aceh Belum Siap Kelola Migas Secara Optimal

METI: Aceh Belum Siap Kelola Migas Secara Optimal Webinar webinar eksplorasi migas dan manfaatnya bagi masyarakat Aceh yang digelar FOMAD, Selasa (4/6/2024). Foto: Komparatif.ID/Rizki Aulia Ramadan.
Webinar webinar eksplorasi migas dan manfaatnya bagi masyarakat Aceh yang digelar FOMAD, Selasa (4/6/2024). Foto: Komparatif.ID/Rizki Aulia Ramadan.

Komparatif.ID, Banda Aceh— Meski memiliki efek ekonomi menjanjikan, Aceh dipandang belum siap mengelola potensi sektor migas (minyak dan gas) secara optimal. Apalagi sektor industri ini sangat dipengaruhi oleh dinamika global, termasuk kebijakan net zero emission dan fluktuasi harga yang selalu terhubung dengan pasar internasional.

Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Dr. Surya Darma, MBA. Dipl pada webinar eksplorasi migas dan manfaatnya bagi masyarakat Aceh yang digelar Forum Mahasiswa Aceh Dunia (FOMAD) pada Selasa (3/6/2024) malam.

Lebih lanjut, Surya Darma menuturkan beberapa negara Skandinavia seperti Denmark dan Norwegia berkomitmen untuk menghentikan produksi pada tahun 2050 sebagai bagian dari upaya mencapai net zero emission.

Kebijakan ini, termasuk Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang diberlakukan oleh negara-negara Eropa, akan mempengaruhi transaksi internasional dan berdampak pada perdagangan global, termasuk dari Indonesia.

Meski begitu, Ketua METI tersebut tidak menampik pengelolaan sektor migas secara mandiri akan membawa manfaat untuk Aceh, seperti penerimaan bagi hasil yang diatur jelas dalam UUPA sebesar 70 persen keuntungan, sementara bila pengolahan berada di wilayah ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Aceh mendapatkan laba sebesar 30 persen.

Dalam pemaparannya, Surya Darma menegaskan semua sumber daya mineral di Indonesia, termasuk minyak bumi, gas bumi, batu bara, dan nuklir, dikuasai oleh negara sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar (UUD).

Baca juga: SKK Migas Targetkan Produksi Gas Jumbo di Lepas Pantai Aceh Mulai 2028

Hak penambangan atau ekstraksi mineral tersebut dipegang oleh pemerintah dan diatur oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pelaksanaan teknisnya dijalankan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), yang merupakan bagian dari lembaga pemerintah.

Khusus untuk Aceh, pengelolaan diatur bersama oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah melalui Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) pasal 156 hingga pasal 160.

Pada tingkat pusat, pengelolaan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Pelaksanaan pengelolaan bersama ini lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015, yang memastikan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah Aceh memiliki kedudukan setara dalam pengelolaan migas.

Lebih jauh, Surya memaparkan tentang dua sektor utama dalam industri: sektor hulu dan sektor hilir. Sektor hulu mencakup kegiatan eksplorasi dan produksi, sementara sektor hilir melibatkan pengangkutan, ekspor, penjualan, pengolahan melalui kilang, dan berbagai kegiatan lainnya.

Menurutnya, pada tahun 2050, ketika migas tidak lagi menjadi sumber energi utama, fokus pemanfaatan akan lebih banyak pada bahan baku industri di sektor hilir.

Artikel SebelumnyaTekan Inflasi, Bustami Buka Pasar Murah di Takengon
Artikel SelanjutnyaKominfo Integrasikan SPBE dengan Identitas Digital Terpadu

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here