Mereduksi Cyberbullying di Dunia Maya

cyberbullying
M. Haikal Rais, mahasiswa LIPIA Banda Aceh.

Di Indonesia, cyberbullying telah menjadi kebiasaan saat beriteraksi di dunia maya. Indonesia menempati peringkat ke-29 sebagai negara dengan tingkat kesopanan digital terendah di kawasan Asia Pasifik.

Dunia maya merupakan wahana baru yang telah menggerus banyak hal. Menghadirkan budaya baru, mendekatkan yang jauh, menjangkau hal-hal yang dulu tidak terpikirkan. Akan tetapi, ruang digital seringkali berubah menjadi mimpi buruk akibat perilaku pengguna nir-etika yang melakukan perundungan yang dikenal dengan cyberbullying.

Cyberbullying (perundungan dunia maya) ialah bullying/perundungan dengan menggunakan teknologi digital.

Manusia modern kini lebih nyaman bercerita di dunia maya daripada dunia nyata. Di ruang digital, kesedihan sering kali mengundang empati, sementara kebahagiaan justru memancing komentar negatif, sindiran pedas dan cibiran yang menyakitkan.

Baca: Saat Diam Bukan Lagi Emas

Cyberbullying adalah bentuk kekerasan simbolik yang menyerang psikis korban tanpa melukai fisik (Isyaruddin, 2025). Adapun contoh cyberbullying meliputi: Amarah, pelecehan, pencemaran nama baik dan ancaman lainnya.

Dampak buruk perundungan dunia maya berupa kecemasan berlebih, depresi dan hilangnya rasa percaya diri. Luka fisik mungkin bisa sembuh dalam waktu singkat, namun luka mental bisa bertahan cukup lama, bahkan tak sedikit menjadi pemicu untuk mengakhiri hidup.

Pada tahun 2017 seorang event organizer di Yogyakarta, Yoga Cahyadi, mengakhiri hidupnya dengan cara tragis.  Menurut informasi yang beredar, pemicunya adalah komentar-komentar menyakitkan yang ditujukan kepadanya di media sosial.

Kasus Yoga Cahyadi menunjukkan bahwa fenomena ini sudah menjadi budaya di lingkungan kita dan telah memakan banyak korban. Perilaku warganet Indonesia sangat brutal di dunia maya. Mereka akan mempersekusi orang lain secara bergotong royong, tanpa henti, dan tidak peduli dampak terburuk yang dialami oleh korban.

Dunia mencatat etika digital masyarakat Indonesia, melalui Survei Digital Civility Index (DCI) tahun 2020 terhadap 32 negara. Indonesia menempati peringkat ke-29 sebagai negara dengan tingkat kesopanan digital terendah di kawasan Asia Pasifik (Arthamevia et al., 2022).

Survey tersebut dianggap angin lalu. Perundungan di ruang digital tak kunjung reda. Korban semakin banyak. Mereka selalu berlindung di balik kata hak bersuara, kepedulian, jangan lebay dalam berinternet, dan lain-lain. Mereka tidak mau intropeksi diri betapa perundungan yang dilakukan, berdampak sangat buruk terhadap korban.

Pelaku Cyberbullying Didominasi Remaja dan Pemuda

Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA), mayoritas pelaku cyberbullying paling dominan berumur 18 sampai 25 tahun. Jumlah mereka mencapai 57%. Aanak di bawah umur 18 tahun berjumlah 26%.

Menurut data hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuniarti (2025), mereka menghabiskan rata-rata 6,6 jam setiap hari di dunia maya. Intensitas ini meningkatkan risiko keterlibatan mereka dalam fenomena cyberbullying.

Mengapa mereka begitu berani melakukan perbuatan terkutuk itu? Karena faktor utama pelaku cyberbullying bersifat anonim (tidak diketahui) dan sulit dilacak keberadaanya. Inilah yang mendorong mereka liar dan bebas dalam melontarkan kata-kata kasar, cabul, sadis dan lain sebagainya di dunia digital, tanpa rasa takut akan konsekuensi.

Dengan semua kenyataan bahwa generasi Z pelaku utama dalam fenomena ini, kita tidak bisa terus bersembunyi di balik alasan “mereka masih anak-anak”. Faktanya mereka telah menjadi mesin pembunuh jarak jauh. Mereka telah menjadi penyebab kehancuran hidup orang lain.

Perilaku buruk mereka tidak boleh dibiarkan. Tidak boleh dinormalisasikan dengan alasan mereka masih anak-anak. Justru karena mereka masih muda, mereka butuh teladan, batasan dan aturan yang nyata.

Aktor Utama Pencegahan Cyberbullying

Ada tiga aktor utama mereduksi cyberbullying. Pertama yaitu orang tua. Sebagai figur terdekat secara emosional dan biologis, keterlibatan aktif orang tua sangat penting. Hal ini bisa dimulai dari dialog terbuka, hingga mengawasi setiap aktivitas daring anak. Fitur kontrol gadget sederhana seperti Family Link dapat dimanfaatkan untuk membatasi durasi layar sekaligus dapat mengfilterisasi paparan konten negatif.

Jadilah teman bagi anak, bukan sekedar pengawas. Dengan kedekatan itu, anak akan lebih nyaman, terbuka dan terlindungi. Namun, pengawasan penuh orang tua selama 24 jam tentu bukanlah hal yang realistis. Anak-anak pun perlu dibekali etika digital agar masing-masing dari mereka memahami konsekuensi setiap tindakan di dunia maya.

Kedua, guru. Tugas mereka tidak hanya mengajarkan Ilmu, tetapi juga menanamkan etika. Guru adalah teladan yang ditiru muridnya. Setelah nilai-nilai etika tertanam, barulah literasi digital dapat diberikan, yakni kemampuan mengakses dan mengonsumsi digital secara bijak. Tujuannya bukan sekedar mengenal teknologi, tapi memanfaatkannya untuk hal positif, bukan arena untuk menyakiti.

Ketiga, negara. Dukungan negara tidak kalah penting untuk memperkuat peran orang tua dan guru. Kebijakan tegas dan setimpal seperti hukum pidana terhadap pelaku dan pembentukan posko pengaduan korban merupakan langkah awal, namun bersifat kuratif.

Adapun langkah pencegahan pertama: kolaborasi antarlembaga BSSN, Kominfo, KPAI, Kemendikbud Ristek, serta influencer dan kontent kreator positif untuk menyebarkan nilai-nilai anti-cyberbullying secara masif, sistematis, transparan dan terstruktur.

Langkah pencegahan kedua: Pendekatan edukatif dan preventif. Literasi dan etika digital perlu diintegrasikan dalam kurikulum nasional. Kemudian, kampanye publik perlu digencarkan melalui tagar #Bijakbersosmed dan #StopCyberbullying, serta media fisik di publik seperti billboard dan spanduk. Tujuannya: Membangun masyarakat sadar, tanggap dan merasa terlibat dalam fenomena ini.

Fenomena cyberbullying ini bukan soal agama, ras dan bangsa, ini soal kemanusiaan. Sudah saatnya kita menanggalkan ego pribadi, dan bergandeng tangan, karena setiap aksi kecil dari kita, bisa menyelamatkan seseorang dari luka yang tak terlihat.

Untuk kita semua, mulailah dari diri sendiri. Sebab cara kita berkomentar hari ini, bisa menentukan nasib seseorang di masa depan. Berpikirlah sebelum menjawab.

Penulis M. Haikal Rais, mahasiswa LIPIA Banda Aceh.

Artikel SebelumnyaLantik 26 Keuchik, Bupati Bireuen Pesan Optimalisasi Dana Desa untuk Rakyat
Artikel Selanjutnya30 Ribu Batang Rokok Ilegal Diamankan di Subulussalam
Redaksi
Komparatif.ID adalah situs berita yang menyajikan konten berkualitas sebagai inspirasi bagi kaum milenial Indonesia

1 COMMENT

  1. Moment cyberbullying naik drastis itu ada sewaktu jaman jokowi-ahok. meningkat tajam semenjak itu. bahkan di forum-forum yang dulunya terkenal “berat” tambah rusak semenjak jokowi-ahok. fenomena buzzer juga naik drastis semenjak mereka dan buzzer juga berpengeruh sangat besar meningkatnya cyberbullying. jadi, bukan dari gen-z. gen-z hanya mencontoh perilaku-perilaku jaman dulu.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here