Saya banyak diceritakan tentang kunjungan Presiden Soekarno ke Aceh, dengan kisah seputar wanita, Armada Ketujuh, dan lainnya. Saya juga mendapatkan beberapa informasi tentang latar belakang kunjungan Soekarno ke Meulaboh serta sejumlah foto. Karena penasaran, saya mencoba melakukan penelitian, terutama tentang wanita mana yang menjadi “perhatian” Soekarno di Meulaboh.
Dalam foto yang saya unggah, istri H. Daod Dariyah yang kedua, Hartini—wanita Sunda—duduk dekat dengan Soekarno. Kemungkinan saat itu Soekarno juga duduk bersama gerakan perempuan di Meulaboh yang ketika itu sudah maju, baik dalam pergerakan maupun memiliki Asrama Keputrian (Pocut Baren). Saat ini saya juga meminta ke arsip dua lembar pidato Soekarno di Meulaboh dalam rapat umum dan dengan kaum perempuan.
Alasan Kunjungan
Pascakemerdekaan, Provinsi Aceh mengalami gejolak politik karena kekecewaan terhadap pemerintah pusat. Presiden Soekarno sebelumnya berjanji memberikan keleluasaan penerapan syariat Islam di Aceh sebagai imbalan dukungan Aceh kepada Republik, namun janji ini tidak terpenuhi dalam konstitusi negara. Selain itu, status Aceh sempat diturunkan dan digabung ke Sumatra Utara pada 1950, memicu rasa dilanggar janjinya di kalangan tokoh Aceh seperti Teungku Muhammad Daud Beureueh.
Akibatnya, pada 21 September 1953 meletus pemberontakan Darul Islam/TII di Aceh yang dipimpin Daud Beureueh, menuntut otonomi lebih luas termasuk pelaksanaan hukum Islam. Untuk mengakhiri konflik, pemerintah pusat akhirnya mengambil langkah rekonsiliasi. Soekarno mengabulkan tuntutan status khusus bagi Aceh pada 1959 melalui Misi Hardi yang dipimpin Perdana Menteri Hardi.
Misi ini menghasilkan penetapan Aceh sebagai Daerah Istimewa dengan otonomi luas di bidang agama, pendidikan, dan adat (ditetapkan lewat Keputusan Perdana Menteri RI No. 1/Missi/1959 tanggal 7 Desember 1959). Langkah ini ditujukan agar Aceh tetap setia dalam Negara Kesatuan RI dan bersedia menghentikan pemberontakan DI/TII. Selain status istimewa, pemerintah pusat juga menjanjikan amnesti bagi para pejuang DI/TII yang mau kembali ke pangkuan RI. Amnesti umum tersebut diumumkan Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1961.
Dalam konteks inilah Presiden Soekarno mengadakan kunjungan ke Aceh pada tahun 1959. Kunjungan tersebut dimaksudkan untuk menyusuri Aceh guna meredakan ketegangan pascakonflik, mengukuhkan kembali integrasi Aceh, serta menyampaikan penghargaan terhadap peran besar rakyat Aceh dalam perjuangan nasional.
Aceh dikenal sebagai daerah yang banyak menyumbang bagi republik. Pada 1948, rakyat Aceh menggalang dana membeli dua pesawat Dakota untuk pemerintah RI, yang menjadi cikal bakal armada Garuda Indonesia Airways.
Atas jasa ini, Soekarno menjuluki Aceh sebagai “Daerah Modal” Republik Indonesia. Julukan tersebut dinyatakannya secara resmi dalam pidato di Meulaboh pada 4 September 1959, menandai pengakuan bahwa Aceh adalah daerah penyumbang modal perjuangan kemerdekaan RI.
Kunjungan Soekarno ke Aceh (termasuk Meulaboh) pada 1959 juga bertepatan dengan upaya penerapan Demokrasi Terpimpin. Ia ingin memastikan dukungan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat yang baru memberikan status istimewa kepada daerah itu.
Dokumentasi Kunjungan Soekarno di Meulaboh
Pada September 1959, Presiden Soekarno melakukan lawatan penting ke Provinsi Aceh, termasuk ke kota Meulaboh. Ia tiba di Meulaboh (ibu kota Kabupaten Aceh Barat) pada 4 September 1959 sebagai bagian dari rangkaian kunjungannya di Aceh.
Berdasarkan arsip nasional, Soekarno menyampaikan pidato pada rapat raksasa (rapat umum) di Meulaboh pada hari itu. Bahkan tercatat pula adanya rapat kaum wanita di Meulaboh yang dihadiri Presiden pada tanggal yang sama—kemungkinan pertemuan terpisah dengan organisasi perempuan lokal.
Kedatangan Soekarno disambut meriah oleh masyarakat Meulaboh dengan upacara adat dan keramaian rakyat. Rombongan Presiden disambut dengan Upacara Adat Penyambutan Tamu setibanya di Meulaboh.
Rekaman berita asing pada masa itu turut mengabadikan suasana penyambutan di Meulaboh. Dalam cuplikan video arsip (British Pathé/Reuters), tampak deretan perahu berhias di pelabuhan saat kapal yang ditumpangi Soekarno merapat.
Presiden Soekarno turun di dermaga dan disambut oleh anak-anak yang melambaikan bendera merah putih, sementara para penari tradisional tampil di latar depan mengiringi kedatangannya.
Soekarno diketahui datang ke Meulaboh dengan menumpang kapal perang TNI, yakni KRI Gajah Mada, sebagai moda transportasi dari Banda Aceh menuju pantai barat Aceh. Ia singgah di Pelabuhan Ujung Kareung (Boom), Meulaboh, di mana telah disiapkan panggung hiburan rakyat untuk menyemarakkan kunjungan tersebut.
Soekarno bahkan sempat naik ke panggung dan ikut bernyanyi serta menari bersama para penghibur sebelum melaksanakan agenda resmi, menunjukkan pendekatannya yang akrab dan karismatis dengan rakyat.
Kehadiran puluhan ribu warga yang memadati area pelabuhan dan tempat rapat raksasa menandakan antusiasme masyarakat Aceh Barat menyambut pemimpin negara.
Land Rover Abu Peuleukung Ditahan Ali Hasjmy
Salah satu kisah menarik dari kunjungan di Meulaboh ini adalah pertemuan Soekarno dengan Abu Peuleukung (Habib Muhammad Yeddin atau Habib Muda Seunagan), seorang ulama karismatik pejuang kemerdekaan asal Nagan Raya. Abu Peuleukung datang khusus ke Meulaboh tanpa undangan resmi demi bertemu “Bung Karno.”
Ketika ajudan melaporkan kedatangan ulama tersebut di kerumunan, Soekarno segera menghentikan hiburannya dan menyambut Abu Peuleukung dengan hangat—bahkan memanggilnya “Ayah!” sembari berpelukan layaknya dua sahabat lama. Dalam dialog mereka, Soekarno menanyakan apakah hadiah yang pernah ia janjikan untuk sang ulama sudah diterima.
Ternyata, beberapa bulan sebelumnya Soekarno telah mengirim mobil Land Rover untuk Abu Peuleukung sebagai dukungan agar sang ulama dapat lebih mudah mengunjungi para pengikutnya di pedalaman. Namun hingga saat itu Abu Peuleukung belum menerima mobil tersebut. Soekarno terkejut mendengar hal ini karena menurutnya mobil sudah dikirim tiga bulan lalu melalui Pemerintah Provinsi Aceh.
Baca juga: Catatan Hari Ulang Tahun ke-437 Kota Meulaboh
Belakangan terungkap Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasjmy, telah menahan mobil hadiah tersebut untuk dipakai operasional pemda di Banda Aceh (karena gubernur belum memiliki kendaraan dinas yang layak). Mengetahui hal ini, Soekarno langsung memerintahkan agar Land Rover tersebut segera diserahkan kepada Abu Peuleukung.
Benar saja, sekitar seminggu setelah kunjungan Presiden, mobil Land Rover berwarna abu-abu itu tiba di kediaman Abu Peuleukung di Seunagan. Kisah ini menjadi anekdot historis yang menunjukkan perhatian Soekarno hingga ke hal detail serta interaksinya yang personal dengan tokoh lokal Aceh selama kunjungan tersebut.
Peran H. Daod Dariyah dalam Kunjungan
Selama kunjungan Presiden Soekarno di Meulaboh tahun 1959, posisi kepala pemerintah daerah setempat dijabat oleh H. Daod Dariyah (tercantum di beberapa arsip sebagai “Daud Darjah”).
H. Daod Dariyah adalah Bupati Aceh Barat yang mulai menjabat sejak 11 Januari 1959 hingga akhir 1961. Dengan kapasitasnya sebagai bupati, ia berperan sentral dalam menyukseskan kunjungan kenegaraan ini.
H. Daod Dariyah memimpin persiapan penyambutan Presiden Sukarno di Meulaboh—mulai dari pengaturan upacara adat penyambutan, mobilisasi massa rakyat untuk rapat akbar, hingga koordinasi keamanan di lapangan. Sebagai kepala daerah, kemungkinan besar H. Daod Dariyah memberikan kata sambutan selamat datang kepada Presiden dan mendampingi Soekarno sepanjang acara-acara di Meulaboh, termasuk saat rapat raksasa dan tatap muka dengan tokoh-tokoh lokal.
Secara historis, H. Daod Dariyah dikenal sebagai tokoh Aceh Barat yang berjasa dalam perjuangan dan pemerintahan. Ia merupakan putra dari H. Dariyah, seorang saudagar Meulaboh pemilik toko yang pada masa revolusi dijadikan markas rapat rahasia pejuang kemerdekaan di kawasan Pasar Aceh, Meulaboh. Bahkan tercatat bahwa di ruang belakang kedai milik H. Dariyah itulah berlangsung pertemuan-pertemuan para pejuang Republik Indonesia di bawah pimpinan H. Daod Dariyah (sang anak) sendiri. Artinya, jauh sebelum menjadi bupati, Daod Dariyah sudah terlibat aktif mendukung Republik.
Dengan latar belakang nasionalis demikian, wajar bila pada 1959 ia dipercaya menyambut langsung Presiden Soekarno di Meulaboh. H. Daod Dariyah—yang juga kader PNI, sebagaimana disampaikan keluarganya kepada saya—mewakili pemerintah daerah menunjukkan loyalitas kepada pusat.
Figur bupati ini berperan sebagai penghubung antara Soekarno dan masyarakat Aceh Barat, memastikan aspirasi dan kehormatan lokal tersampaikan, sekaligus menjamin bahwa pesan persatuan dari Soekarno dipahami dan diterima rakyat di wilayahnya.
Peran koordinatif H. Daod Dariyah terbukti penting agar kunjungan bersejarah ini berlangsung lancar, tertib, dan meriah.
Dampak Kunjungan Presiden Soekarno
Kunjungan Soekarno ke Meulaboh pada 1959 meninggalkan jejak penting dalam sejarah lokal Aceh Barat maupun historiografi nasional. Secara langsung, kunjungan ini menandai berakhirnya periode pergolakan di Aceh dengan kesepakatan damai yang bermartabat. Bagi masyarakat Meulaboh, kedatangan Presiden Sukarno membawa angin segar pembangunan dan perhatian pemerintah pusat.
Soekarno tidak datang dengan tangan hampa. Di Banda Aceh, ia meresmikan proyek pendidikan besar yaitu berdirinya Universitas Syiah Kuala (Kampus Darussalam) sebagai bagian dari upaya membangun Aceh pascapemberian status istimewa. Sementara untuk wilayah Aceh Barat sendiri, kunjungan itu meningkatkan moral dan kepercayaan rakyat bahwa pemerintah pusat serius memperhatikan daerah.
Dalam tahun-tahun setelah 1959, situasi keamanan Aceh membaik sehingga program pembangunan dapat berjalan lebih lancar, termasuk pembangunan Gedung SMP Negeri 1 yang dibantu Swiss dan Gedung Nasional.
Banyak tokoh DI/TII Aceh yang turun gunung menerima amnesti 1961, sehingga pada tahun 1962 seluruh pemberontakan di Aceh resmi berakhir. Dengan demikian, kunjungan 1959 dapat dianggap berperan sebagai salah satu katalis perdamaian tersebut.
Dari segi status pemerintahan, Aceh resmi mulai menjalankan otonomi sebagai Daerah Istimewa Aceh pasca 1959 (berlaku efektif dengan UU No. 18 Tahun 1965 yang memperkuat rincian otonominya).
Gelar “Daerah Istimewa” ini menjadikan Aceh memiliki wewenang mengatur pendidikan dan kebudayaan sesuai adat, serta menjalankan syariat Islam dalam batas regional—sebuah hak yang di kemudian hari menjadi ciri khas Aceh hingga sekarang.
Masyarakat Aceh, termasuk di Meulaboh, umumnya menyambut status istimewa ini dengan syukur karena dianggap menghargai identitas ke-Aceh-an. Dalam konteks nasional, langkah Soekarno mengakomodasi tuntutan Aceh dipandang sebagai solusi win-win yang mampu menjaga keutuhan NKRI tanpa pertumpahan darah lebih lanjut.
Kunjungan Presiden ke Meulaboh dicatat dalam sejarah nasional sebagai bagian dari upaya konsolidasi Soekarno di awal era Demokrasi Terpimpin. Sejarawan Alfian, misalnya, menulis bahwa di Meulaboh pada 4 September 1959 Soekarno mengumumkan Aceh kembali sebagai provinsi penuh dalam Republik dan memberikan penghargaan atas kontribusi Aceh dalam revolusi.
Peristiwa kunjungan ini terdokumentasi dengan baik. Arsip Negara RI menyimpan stensilan naskah pidato Soekarno di rapat raksasa Meulaboh pada 4 September 1959. Surat kabar pada masa itu, seperti Harian Rakjat dan kantor berita ANTARA, juga memberitakan secara luas kunjungan Presiden ke Aceh Barat, meski detailnya kini lebih banyak tersimpan di arsip daripada di ingatan publik.
Bagi masyarakat Aceh Barat, kunjungan tersebut menjadi cerita turun-temurun. Nama Soekarno diabadikan di berbagai tempat. Salah satunya, di Nagan Raya (tetangga Aceh Barat) terdapat Jalan Paduka Yang Mulia Presiden Soekarno yang diresmikan Bupati Nagan Raya Drs. H. T. Zulkarnain, cucu Abu Peuleukung, pada tahun 2015 untuk mengenang hubungan sang ulama dengan Soekarno. Hal ini menunjukkan bahwa memori kolektif terhadap kunjungan 1959 masih dihargai sebagai momen bersejarah.
Secara keseluruhan, kunjungan Presiden Soekarno ke Meulaboh tahun 1959 memiliki konteks dan dampak signifikan. Sebelumnya, Aceh dilanda konflik dan merasa dianaktirikan. Saat kunjungan terjadi, rekonsiliasi dan peneguhan janji pemerintah kepada Aceh terwujud, dan sesudahnya Aceh memasuki babak baru sebagai daerah istimewa yang damai dan berkontribusi dalam pembangunan nasional.
Peristiwa ini tercatat dalam sejarah lokal Aceh sebagai kunjungan kepresidenan pertama ke Aceh Barat yang membawa perubahan, dan dalam sejarah nasional sebagai contoh keberhasilan pendekatan persuasif Soekarno meredam pemberontakan dengan kombinasi “marah dan sayang”—ketegasan melawan separatisme, namun juga penghargaan terhadap keistimewaan daerah.
Melalui dokumentasi arsip dan kesaksian lisan, ingatan akan rapat raksasa Soekarno di Meulaboh tahun 1959 tetap hidup hingga kini. Ia mengingatkan kita bahwa di salah satu sudut Aceh, Bung Karno pernah berteriak lantang: “Aceh adalah Daerah Modal Republik Indonesia!” yang disambut gegap gempita oleh rakyat Aceh Barat. Slogan dan spirit persatuan itulah warisan utama dari kunjungan bersejarah tersebut.
Tulisan Teuku Ahmad Dadek. Disitat dari lini masa Facebook.