Menyusuri Surga Sepi Pulo Nasi (I): Wildan & Harpun Ajaibnya

Menyusuri Surga Sepi Pulo Aceh (I): Wildan & Harpun Ajaibnya Hasil tangkapan Wildan. Foto: Komparatif.ID/Fuad Saputra.
Hasil tangkapan Wildan. Foto: Komparatif.ID/Fuad Saputra.

Komparatif.ID, Pulo Aceh— Setelah 45 menit diamuk mabuk laut di lambung kapal KMP Papuyu, perjalanan saya dari Pelabuhan Ulee Lheue akhirnya tiba di Pulo Nasi, Kecamatan Pulo Aceh, Rabu (18/6/2024).

Ferry roro yang dioperasikan ASDP Indonesia Ferry Cabang Banda Aceh itu bersandar di pelabuhan Lamteng, Pulo Nasi tepat pada pukul 11.30 WIB. Saat itu, hanya sebagian kecil penumpang yang turun, mayoritas lainnya melanjutkan perjalanan menuju Sabang.

Sesampainya di Pulo Nasi, saya dan kawan-kawan yang merencanakan perjalanan ini sebenarnya tidak tahu hendak kemana. Bagi kami, selamat tiba di Pulo Nasi saja merupakan suatu pencapaian yang patut dirayakan.

Tapi, perjalanan para pemula tanpa rencana kadang menawarkan keberuntungan. Tidak lama usai keluar dari KMP Papuyu, kami melihat sosok yang tidak asing diantara kerumunan penumpang yang naik KMP Papuyu dari Lamteng menuju Sabang.

Sosok tersebut tahu betul, kami tidak mungkin memiliki rencana terstruktur dan tempat pasti untuk bermalam selama melancong ke Pulo Nasi. Usai saling sapa sebentar, ia lalu menawarkan balai tempat mengajar di Deudap yang sedang libur untuk digunakan sebagai tempat menginap.

Tawaran tersebut langsung kami sambut tanpa sungkan. Bukannya tidak merasa malu, tapi kepastian tempat tinggal merupakan hal utama yang harus kami pastikan sebelum menyusur pulau remote ini.

Sebelumnya, kami berencana untuk mendirikan kamp di salah satu pantai, namun rencana itu terlihat kurang memadai mengingat sebagai masyarakat yang sangat tergantung pada gadget, kebutuhan kami pada listrik tidak dapat dipisahkan.

Apalagi ada beberapa pertandingan EURO 2024 yang kami tunggu-tunggu, sehingga menginap di dekat pemukiman merupakan pilihan paling logis yang harus ditempuh.

Usai menurunkan barang bawaan, kami langsung menuju Deudap. Perjalanan dari Pelabuhan Lamteng hanya membutuhkan waktu 15 menit. Sebenarnya jarak antara Lamteng ke Deudap hampir 8 km, namun karena jalan yang sepi sepeda motor yang kami kendarai bisa dipacu lebih cepat.

Sesampainya di Lamteng, kami disambut teman kami semasa sekolah dulu di Sibreh, Aceh Besar, Wildan (24). Ia warga asli Pulo Nasi, usai berbincang, ia pamit pulang, tapi berjanji besok kembali untuk menembak ikan untuk kami.

Wildan bersiap turun ke laut. Foto: Komparatif.ID/Fuad Saputra.
Wildan dan Harpun Ajaibnya

Wildan berprofesi sebagai nelayan, pekerjaan yang jamak, atau mungkin hampir semua masyarakat di Pulo Nasi juga lakukan setiap harinya.

Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di laut. Meski terdengar aneh, Wildan merupakan penyelam ulung yang tidak bisa berenang. Dengan keberanian dan keterampilan luar biasa, ia mampu bertahan di bawah air selama enam jam tanpa henti, mencari ikan dengan senapan harpun ala kadar.

Harpun Wildan bukanlah harpun macam pemburu paus, tapi harpun buatan sendiri berukuran kecil yang memiliki cara kerja sama seperti ketapel, bedanya daya pegas berasal dari tiga tali karet besar untuk melontarkan anak panah khusus.

Wildan mengatakan, kemampuan menyelam untuk mencari ikan tidak memerlukan kemampuan berenang. Apalagi laut di sekitar Pulo Nasi tempat ia biasa menembak ikan cukup dangkal meski berjarak lumayan jauh dari bibir pantai.

Baca juga: Mercusuar Willem’s Toren III, “Kenangan” Nederland di Serambi Mekkah

Menembak ikan bukanlah tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi di Pulo Aceh. Sebaliknya, ini adalah teknik yang dipelajari dan disempurnakan oleh Wildan sendiri. Sejak kecil, ia sudah akrab dengan laut.

Ia tumbuh di tepi pantai, dengan ombak dan angin laut sebagai teman bermainnya. Namun, meski lautan menjadi bagian dari hidupnya, ia tidak pernah belajar berenang. Wildan menyebut kemampuan berenangnya sama seperti kami, masih level pemula.

Wildan lebih memilih untuk mengembangkan keterampilan menyelamnya. Dengan bantuan alat selam sederhana, ia mampu menjelajahi kedalaman laut Pulo Aceh.

Setiap pagi, Wildan memulai hari dengan mempersiapkan peralatan menyelamnya. Ia mengenakan wetsuit seadanya, kaki katak (swimming fins), memasang kacamata selam, dan menyiapkan senapan harpun yang menjadi andalannya berburu ikan.

Dengan penuh ketenangan, ia lalu berjalan meninggalkan bibir pantai dari tebing-tebing berbatu rendah, Wildan memandang ke arah cakrawala, berharap hari ini menjadi hari yang beruntung.

Sesampainya di lokasi yang diinginkan, Wildan menahan napas sejenak sebelum akhirnya menyelam. Di bawah sana, keindahan alam bawah laut Pulo Aceh terhampar luas. Terumbu karang yang berwarna-warni menjadi rumah bagi berbagai spesies ikan. Di antara celah-celah karang itulah, Wildan mencari mangsanya.

Dengan mata tajam, Wildan mengamati setiap gerakan ikan. Ia tahu persis di mana harus mencari ikan kerapu yang sering bersembunyi di balik karang, atau ikan kakap putih yang lebih suka berenang di perairan terbuka.

Setiap kali ia melihat target, Wildan dengan tenang mengarahkan senapan harpunnya, menunggu saat yang tepat untuk menembak. Ia mengatakan ketepatan dan kecepatan merupakan kunci sukses menembak ikan. Berkat kemampuan yang ia asah bertahun-tahun, tembakannya jarang sekali meleset.

Foto: Komparatif.ID/Rizki Aulia Ramadan.

Usai berhasil menembak ikan, Wildan segera naik ke permukaan untuk mengambil napas sebelum kembali menyelam. Proses ini diulanginya berulang kali selama enam jam penuh.

Meski terlihat melelahkan, Wildan merasa ini adalah bagian dari hidupnya yang tak tergantikan. Laut adalah rumahnya, dan berburu ikan adalah cara ia berinteraksi dengan alam.

Keahlian Wildan menembak ikan tidak hanya mendatangkan penghasilan baginya, tetapi juga memberi kontribusi pada keberlanjutan ekosistem laut Pulo Aceh.

Ia selalu memastikan untuk hanya mengambil ikan yang sudah dewasa dan tidak merusak terumbu karang saat berburu. Kesadaran ini muncul dari rasa cinta dan hormatnya terhadap laut yang telah memberinya begitu banyak.

Usai turun menyelam hampir enam jam, Wildan akhirnya naik ke darat. Kami bertemu Wildan di Pantai Nipah menjelang asar, lokasi janjian untuk melihat hasil tembakan. Hari itu kami beruntung, Wildan berhasil menembak kakap dan kerapu besar dengan berat lebih 1 kg.

Total berat buruannya untuk hidangan makan malam kami mencapai 5 kg lebih. Tidak ada ikan kecil, semuanya minimal sebesar telapak tangan orang dewasa.

Wildan sama seperti tokoh Eneng, yang selalu membawa kaus kaki ajaibnya untuk bertahan hidup. Bedanya, harpun Wildan tidak memiliki kekuatan ajaib seperti kaus kaki Eneng dan sapu terbang Harry Potter.

Tapi harpun Wildan menyimpan daya hidupnya untuk terus bertahan dari hari ke hari, pencari nafkah, sekaligus simbol eksistensi dirinya. Bagi Wildan, harpunnya lebih magis dari pada kaus kaki Eneng dan tongkat sihir Elder Wand milik Dumbledore.

Usai membersihkan ikan tangkapan Wildan, kami lalu menuju ke pantai Batee Incin untuk menikmati pemandangan matahari terbenam di Pulo Nasi yang tak boleh dilewatkan.

Langit berubah warna dari biru menjadi oranye, kemudian merah sebelum akhirnya gelap. Cahaya matahari yang memantul di permukaan laut menciptakan kilauan yang mempesona, seolah-olah lautan dipenuhi oleh jutaan berlian.

Meskipun Pulo Nasi belum sepopuler destinasi wisata lain di Aceh, keindahannya tidak boleh diremehkan.

Pulau ini menawarkan pengalaman yang autentik dan jauh dari hiruk-pikuk kota. Bagi yang mencari ketenangan dari rutinitas serba cepat, Pulo Nasi adalah tempat healing yang sempurna. Kehidupan di sini berjalan dengan ritme yang lebih lambat, memberikan kesempatan untuk merasakan ketenangan dan kedamaian.

Artikel SebelumnyaLesunya Ekonomi Aceh di Tengah Iduladha 1445 H
Artikel SelanjutnyaPilkada DKI Jebakan Batman Untuk Anies Baswedan?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here