Pagi itu di minggu terakhir di penghujung tahun 2024 saya menerima kiriman teks pidato Kebudayaan yang ditulis oleh Mirza Ardi dengan tema Jatuh Bangun Bangsa Teuleubeh: Struktur, Agensi, dan Momentum yang Terlepas yang disampaikan dalam refleksi dua dekade tsunami yang diadakan oleh ICAIOS 2024.
Saya sendiri tidak hadir di forum itu, tapi bagi saya tulisan reflektif yang terdiri 12 halaman tersebut cukup kompleks sekaligus menggelitik, saya cukup kagum bagaimana Mirza Ardi bisa mengajak pembaca untuk bertualang secara imajiner ke masa lalu untuk melihat bagaimana golden era Aceh di bangun pada masa Sulthan Iskandar Muda dan juga berbagai faktor pendukung dan penghambat yang mendorong jatuh bangunnya Aceh hingga kita menemukan Aceh dengan wajah penuh luka seperti hari ini yang digambarkan sebagai salah satu provinsi paling korup dan tertinggal di Indonesia.
Baca: Demi Majukan Aceh, Iskandar Muda Lakukan Revolusi Politik dan Ekonomi
Sekali lagi,sebagai pembaca yang tidak hadir di forum di mana pidato spektakuler itu disampaikan, dan sebagai rakyat Aceh yang sangat terenyuh dengan kondisi Aceh dan Indonesia hari ini, dengan segala hormat dengan penuh kekaguman saya sangat mengapresiasi apa yang disampaikan oleh saudara Mirza Ardi.
Pun demikian, di atas semua itu, bagi saya pemikiran Mirza Ardi memberikan banyak ruang untuk refleksi. Meskipun tidak tepat pula bila saya mengkritisinya, karena kesenjangan antara kami. Akan tetapi untuk membuat pemikiran dan tulisan spektakuler itu hidup dan terus mewarnai kehidupan sosial di Aceh, saya mencoba untuk sedikit mengomentari pemikiran besar Mirza Ardi.
Dari sedemikian kompleksnya apa yang disampaikan, dan juga sehubungan dengan sedang bergulirnya wacana “sentralisasi” kekuasaan dengan mengubah kembali pilkada langsung menjadi pilkada melalui DPRD, saya menggaris bawahi beberapa poin-poin penting dari pemikiran besar Mirza Ardi, seperti pentingnya stabilitas politik untuk pertumbuhan ekonomi, perlunya pemerintahan yang bersih dan berbasis meritokrasi, serta pentingnya ilmu pengetahuan sebagai motor kemajuan bangsa.
Dalam pandangan saya stabilitas politik hanya bisa atau lebih bisa dicapai melalui sistem pemerintahan sentralistik, menjadi titik yang perlu kita kritisi secara rasional.
Pertama, benar bahwa stabilitas politik adalah kunci utama untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Namun, legitimasi bahwa stabilitas hanya bisa diwujudkan melalui sentralisasi kekuasaan tampaknya bisa diperdebatkan lagi. Kita tidak boleh melupakan bahwa salah satu prinsip mendasar kekuasaan adalah semakin tersentral kekuasaan, semakin besar risiko penyalahgunaan. Artinya dengan kekuasaan yang terpusat (sentralistik) tanpa kontrol yang cukup hanya akan memperbesar potensi korupsi dan penyimpangan, yang pada akhirnya berlawanan dengan cita-cita meritokrasi yang diperjuangkan.
Kedua, sistem sentralistik memang bisa memberikan harapan kalaupun tidak tepat untuk dijatakan “ilusi” stabilitas sosial dan politik sebagaimana yang diyakini oleh Orde baru.Orde Baru sendiri juga menunjukkan bahwa stabilitas seperti ini sering kali hanya sementara. Dalam jangka panjang, sentralisasi justru memperbesar ketimpangan dan menimbulkan resistensi dari masyarakat yang merasa terpinggirkan.
Sebaliknya dengan demokrasi yang kekuasaanya terdistribusi, meski penuh tantangan, sistem ini pada dasarnya menyediakan mekanisme check and balance yang lebih sehat untuk memastikan kekuasaan tetap berada dalam koridor kepentingan publik.
Meskipun nyatanya hari ini check and balance itu tidak berjalan dengan baik, itu bukan salah sistem demokrasi, tapi salah kita yang menjalankannya. Kita tidak bersungguh-sungguh dalam berdemokrasi, kita hanya menjadikan demokrasi sebagai jalan untuk menjadi elit baru untuk meneruskan budaya korup yang pernah kita perangi dari Orde Baru.
Ketiga, kita perlu mengakui bahwa demokrasi di Indonesia belum berjalan sempurna. Tapi sekali lagi kegagalan melahirkan pemimpin yang kompeten dan berintegritas bukanlah salah sistem demokrasi itu sendiri, melainkan refleksi dari kelemahan dan kegagalan kita sebagai agensi demokrasi.
Parpol sebagai kendaraan politik sering kali lebih sibuk dengan urusan oligarki internal daripada memperjuangkan aspirasi rakyat. Di sisi lain, publik sering kali abai dalam menuntut akuntabilitas dari para pemimpinnya bahkan lebih buruk lagi. Seringkali di antara kita malah menjadi budak yang setiap hari mencari cara bagaimana menghamba pada kekuasaan agar cepat kaya, cepat mapan dan cepat menjadi elit baru yang bahkan lebih bobrok dari Orde Baru yang dulunya kita kutuk.
Kegagalan kita melahirkan pemimpin yang baik melalui demokrasi yang masih setengah matang, kemudian kita berbalik haluan untuk mengeliminasi demokrasi atau beralih kembali sistem yang lebih sentralistik bukanlah solusi. Sebaliknya, yang harus terus kita perjuangkan dan pastikan adalah, kita harus terus berupaya lebih kuat lagi memperbaiki kendaraan (partai politik) dan pengemudinya (pemimpin) dengan daya dorong (positif) yang lebih besar dari daya hambat yang ada.
Saya masih meyakini bahwa demokrasi adalah jalan yang cukup ideal menuju kesejahteraan, dan jalan ini tidak boleh dirusak hanya karena kita gagal memperbaiki elemen-elemen di dalamnya.
Sebagai penutup, sekali lagi gagasan Mirza Ardi tetap sangat pantas dan patut diapresiasi sekaligus perlu untuk terus dibicarakan agar tetap hidup di tengah kering dan terbatasnyanya dialektika dan pengetahuan kita. Ia mengingatkan kita akan pentingnya stabilitas, meritokrasi, dan ilmu pengetahuan. Namun, solusi yang ia tawarkan perlu dikaji ulang dan diperbicangkan lagi agar tidak berlawanan dengan nilai-nilai yang ingin ia capai.