Mengapa Hikayat Aceh Ditulis Dalam Bahasa Melayu?

Mengapa Hikayat Aceh Ditulis Dalam Bahasa Melayu?
Drs. Teuku Abdullah SH, MA pada seminar dan pameran “Gelar Karya Besar Hikayat Aceh dan Hamzah Fansuri Memory of The World UNESCO ”, di Museum Aceh, Sabtu (24/5/2025). Foto: Komparatif.ID/Rizki Aulia Ramadan.

Komparatif.ID, Banda Aceh— Pemahaman masyarakat terhadap Hikayat Aceh kerap kali terjebak dalam asumsi keliru. Meski judulnya merujuk pada Aceh, isi teks justru sepenuhnya ditulis dalam bahasa Melayu, hanya sekitar 52 kosakata dalam naskah tersebut yang menggunakan bahasa Aceh.

Hal itu disampaikan peneliti naskah klasik berbahasa Aceh dan juga akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Drs. Teuku Abdullah SH, MA akrab disapa TA Sakti pada seminar dan pameran “Gelar Karya Besar Hikayat Aceh dan Hamzah Fansuri Memory of The World UNESCO ”, di Museum Aceh, Sabtu (24/5/2025).

“Banyak orang mengira ini berbahasa Aceh karena judulnya. Padahal isinya dalam bahasa Melayu. Ini menunjukkan bahwa sejak abad ke-17, bahasa Aceh sudah mempercayakan bahasa Melayu sebagai medium penulisan,” jelasnya.

Fakta ini, menurutnya menunjukkan pada abad ke-17, penulisan sejarah dan sastra di kalangan elite Aceh telah mengandalkan bahasa Melayu sebagai media ekspresi dan dokumentasi.

Ia menjelaskan asumsi yang salah mengenai bahasa teks ini sering kali menimbulkan interpretasi keliru tentang identitas budaya Aceh sendiri. Baginya, Hikayat Aceh bukan hanya sebuah karya sastra, melainkan dokumen sejarah yang kompleks dan sarat makna, mencerminkan hubungan kekuasaan, budaya, dan diplomasi kerajaan Aceh di masa lalu.

Salah satu hal yang paling mencolok dalam telaahnya adalah absennya nama Sultan Iskandar Muda dalam keseluruhan teks, meskipun secara umum hikayat ini dipercaya berkisah tentang sosok sang Sultan. 

Baca jugaMaSA Rayakan 2 Tahun Pengakuan Hikayat Aceh oleh UNESCO

Menurut TA Sakti hal tersebut menjadi indikasi bahwa naskah tersebut tidak utuh lagi, dan kemungkinan telah kehilangan bagian-bagian penting yang justru mengandung inti cerita tentang masa kejayaan Iskandar Muda.

“Ini menarik. Secara umum kita tahu Hikayat Aceh berkisah tentang Iskandar Muda. Tapi ternyata, satu pun namanya tidak disebut dalam naskah. Ini saya pelajari dari terjemahan disertasi Iskandar, yang saya akses dalam bentuk digital,” ungkapnya.

Akademisi telah menerjemahkan lebih dari 40 naskah hikayat berbahasa Aceh itu juga menyoroti asal-usul naskah yang kini tersimpan di Belanda. Menurutnya, naskah Hikayat Aceh pertama kali dikumpulkan oleh pihak kolonial Belanda pada tahun 1847, jauh sebelum invasi Belanda ke Aceh pada tahun 1873. 

Ia menduga pengumpulan tersebut bertujuan untuk memahami karakter dan struktur kerajaan Aceh sebagai strategi persiapan perang.

Lebih lanjut, Abdullah memaparkan isi Hikayat Aceh dimulai dengan kisah Raja Indra Syah yang mengambil warisan dari Sultan Iskandar Zulkarnain di negeri Cina, yang akan diberikan kepada Iskandar Muda yang saat itu bahkan belum lahir. 

Menurutnya, alur ini menggambarkan bahwa naskah tersebut sudah dalam kondisi tidak utuh dan mengalami banyak kehilangan bagian penting, terutama yang berkaitan dengan masa pemerintahan Iskandar Muda.

“Menurut penelusuran Iskandar, bagian tentang Iskandar Muda justru hilang paling banyak. Yang sekarang ada hanya satu per tiga dari isi yang seharusnya,” tambahnya.

Abdullah juga menyinggung peran penting Hikayat Aceh dalam menggambarkan relasi Aceh dengan Portugis. Ia menyebutkan Aceh pernah mengalami masa damai selama 15 tahun dengan Portugis, tepatnya pada masa Sultan Selim Kamil. 

Hal ini menurutnya menjadi salah satu faktor yang membuat Hikayat Aceh mendapat pengakuan UNESCO, karena menggambarkan harmoni antara dunia Islam dan Barat.

Menurutnya, hikayat ini dulunya hanya dibaca oleh kalangan istana dan para pembesar kerajaan. Tidak heran jika masyarakat umum Aceh tidak mengenal atau merasa memiliki keterhubungan emosional dengan naskah tersebut, terlebih karena bahasanya yang bukan berbahasa Aceh dan tidak berbentuk syair, yang merupakan bentuk sastra lisan yang lebih populer di kalangan masyarakat Aceh.

Hikayat Aceh berbentuk prosa dalam bahasa Melayu, sedangkan masyarakat kita terbiasa dengan hikayat bersyair dalam bahasa Aceh,” imbuhnya.

Artikel SebelumnyaMaSA Rayakan 2 Tahun Pengakuan Hikayat Aceh oleh UNESCO
Artikel SelanjutnyaMulai 2026, Arab Saudi Izinkan Penjualan Minuman Keras di 600 Lokasi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here