Mengapa harga obat di India bisa enam kali lebih murah ketimbang Indonesia? India memiliki ekosistem farmasi yang didukung pemerintah dengan baik, mulai dari bahan baku hingga produksi massal.
Mereka memprioritaskan kemandirian obat sebagai kebijakan strategis. Akibatnya kebijakan tersebut India menguasai pasar bahan baku obat dunia. Sebagian besar bahan baku obat di Indonesia harus diimpor dari sana. Alih-alih memperkuat industri lokal, Indonesia tetap bergantung pada impor yang jelas menambah biaya produksi.
Selain itu, India memiliki pendapatan per kapita yang lebih rendah dibandingkan Indonesia, yakni sekitar USD 2.400, sedangkan Indonesia mencapai USD 4.800. Biaya tenaga kerja yang jauh lebih murah di India membuat harga obat mereka jauh lebih kompetitif.
Baca: Asyiknya Menimba Ilmu Fisika Medis di Malaysia
Apakah semua obat di Indonesia mahal?
Tidak semua, tapi yang murah sering kali hanya tersedia di sistem BPJS, seperti obat generik di e-katalog. Aspirin, misalnya, hanya Rp200 per tablet. Harga obat e-katalog ini bisa hanya 1/4 harga obat generik non e-katalog. Namun, akses masyarakat luas ke obat murah ini terbatas. Di luar BPJS, harga obat melambung.
Kenapa BPJS bisa menyediakan obat murah? BPJS menggunakan sistem e-katalog dengan fokus pada obat generik yang murah. Pemerintah melakukan lelang melalui Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) untuk menyediakan kebutuhan obat pasien BPJS.
Faskes milik pemerintah dan faskes swasta yang bekerja sama dengan BPJS harus membeli obat pemenang lelang. Akibatnya harga bisa ditekan menjadi sangat murah, tetapi sistem tersebut tidak mengatasi masalah mendasar, yaitu produksi bahan baku lokal – tetap masih impor dari India.
Kenapa harga obat non-BPJS jadi lebih mahal? Semakin banyak masyarakat menggunakan BPJS yang hanya mengandalkan obat e-katalog. Akibatnya, pangsa pasar obat non-BPJS semakin menyusut drastis. Perusahaan farmasi tetap harus bertahan dengan biaya tetap yang tinggi. Mau tidak mau, harga obat non-BPJS terus naik. Ini adalah konsekuensi dari sistem JKN yang belum sepenuhnya inklusif.
Apa dampaknya jika bahan baku obat tetap diimpor? Ketergantungan impor membuat harga obat di Indonesia sangat rentan terhadap nilai tukar rupiah, biaya logistik, dan kebijakan negara pengekspor. Kalau tidak ada langkah strategis, ini seperti bom waktu bagi akses kesehatan nasional.
Margin yang sangat tipis dan tidak adanya fleksibilitas dalam harga obat e-katalog misalnya, dapat mengakibatkan obat tertentu hilang dari pasaran karena biaya produksi meningkat melebihi keuntungan yang bisa didapat jika dijual sesuai harga e-katalog.
Bisakah Indonesia Seperti India?
Dapatkah Indonesia memproduksi bahan baku obat sendiri? Bisa, tapi pemerintah belum memberikan perhatian serius. Industri farmasi lokal butuh investasi besar dalam riset dan infrastruktur. Tanpa keberpihakan yang jelas, kita akan terus menjadi “konsumen” obat dari negara lain.
Kenapa obat di apotek jauh lebih mahal dibandingkan di fasilitas kesehatan BPJS?
Obat di apotek biasanya obat generik non e-katalog atau obat paten merek tertentu yang harganya tidak terikat kontrak LKPP pemerintah, sehingga perusahaan farmasi bebas menentukan harga.
Selain itu, biaya distribusi dan profit margin apotek juga menambah harga. Apakah obat paten lebih efektif dibanding obat generik? Tidak selalu. Obat generik memiliki bahan aktif yang sama dengan obat paten. Hanya saja, masyarakat seringkali terjebak persepsi bahwa “yang mahal lebih baik,” tanpa bukti nyata.
Apa risiko jika harga obat terlalu mahal?
Masyarakat dengan ekonomi lemah yang tidak menggunakan BPJS akan semakin sulit mengakses pengobatan, terutama untuk penyakit kronis. Ini berpotensi meningkatkan angka kematian dan beban kesehatan nasional.
Bagaimana cara masyarakat mendapatkan obat murah? Daftar BPJS lalu berobatlah menggunakan BPJS di fasilitas kesehatan yang kerjasama dengan BPJS. Atau berobatlah di fasilitas kesehatan milik pemerintah yang dari awalnya memang diharuskan oleh UU membeli obat yang tersedia di e-katalog. Artinya harganya jauh lebih murah. Harga obat e-katalog generik itu bisa 1/4 nya harga obat generik non e-katalog.
Apa solusi jangka panjang untuk menurunkan harga obat di Indonesia?
Membangun industri bahan baku lokal dan memperkuat riset farmasi adalah langkah kunci. Sayangnya, langkah ini memerlukan kebijakan yang berpihak, yang hingga kini belum terlihat.
Bagaimana cara pemerintah memastikan obat terjangkau untuk semua? Pemerintah harus memperluas cakupan BPJS, mengawasi harga obat non-BPJS, dan mendukung produksi obat dalam negeri. Namun, kebijakan juga perlu lebih fleksibel. Sebagai contoh, pasien BPJS yang ingin menggunakan obat paten atau non-katalog seharusnya diberi opsi untuk membayar selisih harga. Dengan demikian, pasien memiliki kebebasan memilih terapi, perusahaan farmasi tidak kehilangan pangsa pasar, dan harga obat non-katalog bisa lebih kompetitif.
Dikutip dari catatan di linimasa Facebook dr. Erta Pribadi Wirawijaya.