Banda Aceh sering kali mendapat cap sebagai daerah yang intoleran. Banyak media nasional dan internasional menyoroti Aceh karena penerapan syariat Islam secara formal. Mereka menilai bahwa hukum yang berlaku di Aceh membatasi kebebasan kelompok minoritas, terutama dalam hal beragama dan berpakaian.
Namun, apakah anggapan ini benar sepenuhnya? Apakah masyarakat Aceh benar-benar tidak toleran terhadap perbedaan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat langsung kehidupan masyarakat di Banda Aceh. Di balik stigma yang tersebar luas, ternyata ada banyak kisah yang menunjukkan bahwa masyarakat Aceh hidup berdampingan dengan damai, meski berbeda agama, budaya, dan latar belakang.
Salah satu contoh nyata datang dari Idaman Sembiring, seorang tokoh masyarakat Kristen yang sudah tinggal di Banda Aceh sejak tahun 1981. Dalam berbagai wawancara, ia sering menyampaikan bahwa selama puluhan tahun tinggal di Aceh, ia tidak pernah mengalami diskriminasi atau perlakuan buruk karena agamanya.
Bahkan, ia merasa masyarakat Aceh sangat ramah dan menghargai perbedaan. Menurutnya, kunci dari kerukunan itu adalah saling menghormati dan tidak memaksakan keyakinan masing-masing.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa masyarakat Aceh sebenarnya cukup terbuka terhadap keberagaman. Mereka bisa menerima perbedaan selama tidak melanggar norma dan adat setempat.
Hal ini menunjukkan bahwa label “intoleran” yang sering diberikan kepada Banda Aceh tidak sepenuhnya benar. Ada banyak sisi lain dari Aceh yang tidak ditampilkan oleh media.
Namun, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa ada beberapa kebijakan atau tindakan yang menimbulkan kontroversi. Misalnya, larangan terhadap atribut agama non-Islam di ruang publik saat perayaan Natal, atau razia terhadap pasangan yang bukan muhrim.
Peristiwa seperti ini sering viral di media sosial dan menjadi bahan pemberitaan negatif. Akibatnya, banyak orang di luar Aceh yang menilai masyarakat Aceh sebagai kelompok yang keras dan tidak ramah terhadap perbedaan.
Baca juga: Tanah yang Tak Lagi Ramah Bagi Rakyat Kecil
Padahal, banyak dari kebijakan tersebut lahir dari nilai-nilai budaya dan agama yang sudah lama hidup di tengah masyarakat Aceh. Misalnya, masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi nilai kesopanan dan adat.
Mereka juga punya cara sendiri dalam menyelesaikan konflik, yaitu melalui musyawarah, tokoh adat, dan tokoh agama. Cara ini mungkin berbeda dengan cara-cara di daerah lain, tetapi tidak berarti masyarakat Aceh tidak toleran.
Pendekatan budaya seperti ini sangat penting. Di banyak daerah, konflik sering terjadi karena perbedaan suku, agama, atau pandangan politik. Namun di Aceh, perbedaan justru bisa diselesaikan dengan jalan damai.
Hal ini karena masyarakat Aceh punya struktur sosial yang kuat. Ada perangkat gampong (desa), tokoh agama, dan tokoh adat yang berperan sebagai penengah. Mereka tidak hanya menyelesaikan masalah, tetapi juga menjaga keharmonisan masyarakat.
Ilmu tentang penyelesaian konflik mengajarkan bahwa konflik tidak selalu muncul karena perbedaan, tapi karena cara kita menyikapi perbedaan itu. Jika perbedaan dikelola dengan baik, maka tidak akan menjadi masalah.
Sebaliknya, jika kita memaksakan pendapat atau tidak mau mendengarkan orang lain, maka konflik bisa terjadi. Di Banda Aceh, banyak perbedaan justru bisa dikelola dengan bijak karena adanya komunikasi yang baik di tingkat masyarakat.
Kita juga perlu memahami bahwa setiap daerah memiliki latar belakang, budaya dan sejarah yang berbeda. Aceh memiliki sejarah panjang dalam mempertahankan nilai-nilai Islam dan adat.
Ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Namun, ini bukan berarti mereka menolak keberagaman. Mereka hanya ingin menjaga nilai-nilai yang mereka anggap penting, tanpa bermaksud menyakiti orang lain.
Sebagai mahasiswa atau bagian dari masyarakat akademik, kita seharusnya melihat isu toleransi di Aceh dengan lebih adil dan mendalam. Jangan hanya melihat satu sisi dari pemberitaan media. Kita perlu turun langsung ke lapangan, berdialog dengan masyarakat, dan memahami nilai-nilai lokal yang berlaku.
Dengan cara ini, kita bisa menghindari kesalahpahaman dan tidak mudah memberi tanda buruk kepada suatu daerah.
Memberikan label negatif seperti “intoleran” kepada suatu daerah bisa berdampak buruk. Ini bisa menimbulkan rasa curiga, menurunkan kepercayaan, dan memperkuat prasangka. Bahkan bisa memicu konflik baru yang sebelumnya tidak ada. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih baik adalah membuka ruang dialog, saling menghormati, dan bekerja sama untuk menciptakan masyarakat yang damai dan adil.
Pada akhirnya Banda Aceh bukanlah daerah yang tertutup atau tidak ramah terhadap perbedaan. Memang ada beberapa kebijakan yang menuai kritik, tetapi hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menyebut seluruh masyarakat Aceh sebagai intoleran.
Banyak warga Aceh yang hidup toleran dan rukun dengan tetangga yang berbeda agama. Mereka menghargai perbedaan dan menjaga kerukunan dengan cara mereka sendiri. Yang kita perlukan adalah sikap terbuka dan keinginan untuk memahami, bukan menghakimi.
Penulis: Siti Tanwilatul Husna Susanan Sitorus, mahasiswi Prodi Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Saya kira, orang aceh terutama akademisi dan orang-orang di pemerintah untuk belajar nggak terlalu reaktif. belajar mengabaikan, entar hilang sendiri. dengan makin dianggap atau beraksi, yang ada malah lembaga yang mengelarkan survey tersebut makin berasa kredible karena ditanggapi.