Membumikan Filsafat

Filsafat
Syah Reza Ayub. Foto: Koleksi pribadi.

Filsafat kurang diminati. Mungkin karena sifatnya yang cenderung hidup dengan tema-tema “melangit”, sehingga filsafat kurang diminati. Beberapa mahasiswa kampus Islam di Banda Aceh yang saya jumpai, saya tanyakan, mata kuliah apa yang tidak menarik? Rata-rata jawabnya filsafat.

Mengapa filsafat kurang mereka minati? Alasan utama karena mereka beranggapan bahwa filsafat merupakan mata kuliah yang rumit dan berat. Pendapat mereka tentang filsafat tentu saja keliru, tapi juga tidak dapat disalahkan.

Kita di Aceh, dalam berbagai kelompok usia dan pendidikan, selama ini masih terkunkung dengan pola umum. Belum terbiasa berpikir secara mendalam terkait realitas yang terjadi dalam keseharian. Ditambah, pembahasannya yang dominan menyentuh ruang konseptual membuat pikiran pun melayang kemana-mana. Alhasil, banyak mahasiswa mengantuk saat mengikuti mata kuliah filsafat.

Baca: Maulid di Aceh, 3 Bulan Kenduri untuk Rasul Tercinta

Secara kultural, kita baru kenal filsafat saat duduk di bangku kuliah. Itupun hanya pengantar mata kuliah umum di beberapa disiplin ilmu sosial, pendidikan dan politik. Agak detail mungkin ada di jurusan filsafat itu sendiri. Sulit untuk berharap filsafat menjadi konsumsi publik sebagaimana ilmu lainnya semisal sains yang lebih familiar, karena sudah diajarkan sejak sekolah dasar.

Dominasi sains dalam kurikulum pendidikan di negeri ini menyebabkan kultur berfikir pun terbentuk pada paradigma positivistik dan empiris yang hasilnya melulu harus berbentuk materi. Berfikir pada tataran di atasnya yaitu rasional masih terkesan tabu. Agak terkesan cet langet. Ya, memang diperuntukkan untuk kalangan khusus yang siap menikmati proses menciptakan hasil.

Untuk Apa Belajar Filsafat?

Sebenarnya, untuk apa filsafat dipelajari? Jika mengambil disiplin ilmu filsafat, profesi pekerjaannya apa? Pertanyaan tersebut sering terdengar. Pola berfikir aksiologis demikian kerap melingkupi pikiran pemula dalam menyikapi hakikat pengetahuan. Ilmu dalam pandangan awam selalu berakhir dengan nilai manfaat secara ril, yaitu materi. Jarang sekali yang melihat pengetahuan sebagai manfaat tertinggi bagi manusia. Siapapun penikmat filsafat akan sulit menjawab pertanyaan tersebut, apalagi dikaitkan dengan profesi.

Saya dapat menjawab mengapa filsafat perlu dipelajari. Filsafat dipelajari untuk mendidik nalar agar sistematis. Berfikirnya lebih tertata, terstruktur dan tertib. Tidak reaksionis ketika menyikapi setiap realitas yang terjadi. Konsekuensi dari itu semua, akan terbentuk sikap yang bijaksana dalam berfikir.

Karakter filsafat lebih memilih menjadi cahaya daripada menyalahkan kegelapan. Ia ibarat suluh dalam gelap. Artinya, filsafat menuntun orang berfikir solutif bukan reaktif. Karakternya selalu ingin menaungi bukan bersaing atau merendahkan. Sebagaimana makna filsafat, yaitu mencintai kebijaksanaan. Dalam arti lebih khusus yaitu mencintai kebenaran, maka, para penikmat filsafat selalu berdiri di ruang idealisme, dan tidak menyukai sikap pragmatisme yang sering melekat di pentas politik dan ekonomi.

Baca: Ada Beguru Dalam Masyarakat Gayo

Pun secara struktural, tidak ada formasi filosofi di ruang publik, mungkin juga di bumi. Tidak ada dinas filsafat, kementerian filsafat, atau tenaga ahli filsafat. Ruang praktis harus dibentuk sendiri oleh para penggiat filsafat dengan polanya sendiri. Bagaimana bentuknya? Saya juga masih mencari format.

Kisi-kisi jika merefer pada statement filosof, profesi idealnya pemimpin negara, atau kepala desa sebagai unit lebih kecil. Karena diakui, kemampuan akal filosof berada di atas rata-rata manusia umumnya. Bahkan keistimewaan filosof tersebut bisa menggantikan peran nabi, kata Al-Farabi.

Filsafat banyak menyentuh ruang abstrak. Ditujukan untuk kapangan khusus yang menikmati potensi akal. Pun demikian, filsafat praktis sebenarnya ada, seperti sains, tetapi realitasnya semua ilmuan bekerja di bawah korporasi atau kaum kapitalis. Jarang menjadi ilmuan mandiri yang sekaliber Einsten, atau Ibn Haitsam yang menciptakan teori hingga produk sendiri yang berguna untuk manusia. Paling banter menjadi pengamat politik, seperti Rocky Gerung. Narasinya terpusat pada isu isu politik dan sosial. Tetapi, tetap saja harus menguasai domain-domain praktis berkisar tentang fenomenologi dan politik praktis. Kerja filsafatnya memadukan konsep dan teori politik dengan realitas empiris yang kontekstual. Lahirnya narasi menarik dan bahasanya kerap menghipnotis banyak orang.

Pikiran Kondusif

Belajar filsafat harus dalam situasi kondusif. Contoh kasus Aceh. Masyarakat baru bisa menghirup udara pendidikan tinggi 20 tahun terakhir. Sejak konflik, yang tergambar dalam pikiran hanyalah kapan suara mesiu tidak terdengar lagi dan rasa mencekam berakhir. Bukan kepintaran, prestasi akademis atau lebih idealnya lagi menuntut ilmu diluar negeri. Mendapat keamanan jauh melampaui semua cita-cita orang Aceh. Sangat sedikit yang bisa menikmati pendidikan di level teratas kala itu.

Rasanya tidak mungkin juga berharap masyarakat Aceh mampu berfikir pada level spekulatif yang menjadi ciri khas filsafat. Bagaimana mungkin pikiran bisa fokus jika dilingkupi dengan lingkungan yang tidak aman. Makanya, Ibn Khaldun tampaknya paham betul bahwa rasa aman lebih urgen dari segala-galanya bagi penuntut ilmu. Ia tak membiarkan langkahnya keluar dari pusaran penguasa. Memilih menjadi opurtunis, agar fokusnya dalam menikmati ilmu tidak terganggu oleh persoalan kesejahteraan yang sering menghambat langkah penuntut ilmu.

Filsafat Rumit

Walau dikenal materinya berat, tak berarti belajar filsafat harus selalu dipahami dengan kerut dahi. Bagi anak milenial yang gaya hidup lebih memperhatikan pakaian dan gadget, tidak begitu peduli dengan hal-hal yang terkait filsafat. Daripada menata pikirannya, lebih memilih menata rambut untuk melindungi pantulan sinar matahari mengenai dahinya.

Dahi sebagai tempat otak untuk berfikir memang beda-beda perlakuan. Kalangan pemikir memberi penghargaan pada isi otak dengan memfungsikannya untuk berfikir mendalam, dan tak begitu peduli dengan perawatan wajahnya, sehingga dahi tampak cepat kerutan. Sebaliknya, kaum milenial lebih prioritas merawat wajahnya (termasuk dahi) agar tampak kinclong dan berseri daripada nalarnya. Makanya, saat ini skincare lebih laris daripada buku filsafat. Skincare dapat membuat wajah tetap fresh, dan gurat dahi tidak mudah membentuk garis, sedangkan buku filsafat dapat mempertegas garis pada dahi. Makanya, filsafat bukan hanya tidak diminati, tetapi juga menjadi masalah serius bagi kulit wajah manusia milenial.

Selain itu, belajar filosofi juga rumit. Tidak dianjurkan bagi manusia yang cepat sensitif gara-gara dikatakan “wajahmu sudah tua.” Tetapi, sekalipun demikian, dibandingkan filsafat, lebih rumit lagi belajar memahami perempuan.

Belajar filosofi, seperti menonton film; alurnya bersambung, sedikit saja kita jeda ke kamar mandi, ceritanya jadi tak nyambung. Belajar ilmu tersebut juga demikian. Kita dituntut untuk fokus memahami setiap kata, frasa, kalimat dan sususan logika yang dipakai ketika guru menjelaskan, atau saat membaca sebuah buku. Saya terkadang untuk memahami satu alinea, harus mengulang berulang kali, mencerna setiap kata yang tersusun. Terutama ketika membahas tema yang berkaitan dengan ontologi dan metafisika.

Pernah ketika belajar filosofi hermeneutika, Emilio Betti, Scheimacher, Paul Richour yang berdiri pada mazhab objektivisme, maka tak cukup sampai di situ, tanpa memahami anti tesis atas mazhab tersebut. Mazhab pembanding harus disertakan dalam pemahaman, seperti Gadamer, Habermas, dan seterusnya yang berdiri di mazhab subjektivisme. Agar logika mampu memilah dan memilih di mana logika yang tepat untuk berdiri. Kata guruku saat mengajarkan metode interpretasi teks itu, 5 menit engkau telat masuk kelas, engkau telah gagal memahami bangunan filsafat.

Beratnya lagi, setelah menguras pikiran, fokus mendalam dan membuka literatur yang terkait, secara manfaat filsafat baru dianggap berakhir apabila, kerumitan filsafat mampu kita jelaskan pada orang lain dengan mengkonversi bahasa ‘langit’ menjadi bahasa yang dimengerti oleh kalangan awam yang tidak pernah mengakses literatur filsafat. Jika orang paham, maka Itulah keberhasilan.

Maka, bahasa falsafah itu segmented. Kita dituntut mencari frasa yang familiar digunakan sehari-hari oleh masyarakat. Bukan malah menumpuk istilah ilmiah. Jika sulit menemukan padanan, maka menjelaskan dengan sebuah ibarat atau perumpamaan adalah langkah terbaik, sebagaimana kaum sufi ketika menjelaskan perihal ilmu tentang Tuhan dan konsep konsep yang terkait metafisika, mereka sering menggunakan tamsil kehidupan sehari-hari yang terjadi, baik pada manusia maupun alam. Itulah tugas falsafah, berfikir mendalam, lalu hasilnya disampaikan dengan bahasa yang sederhana agar orang lain paham.

Artikel SebelumnyaReview Film Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso
Artikel SelanjutnyaArti Penting Ajang Agam dan Inong Aceh
Syah Reza Ayub
Jurnalis Foto Komparatif.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here