Membangun Aceh dengan strategi garo kurap, tidak mungkin menjadi solusi apalagi mengadopsi strategi ikan yang menyembunyikan kebodohan.
Hamka mengatakan bahwa persoalan kepemimpinan dari masa kemasa memiliki pola dan persoalan yang sama. Selalu ada pro dan ada yang kontra, selalu ada yang melihat dari sisi baik dan dari sisi buruknya.
Menilai seorang pemimpin dari sudut pandang tertentu sebenarnya sangat subjektif. Apalagi kalau sesuai dengan kepentingan sehingga dapat menimbulkan like or dislike saja, tanpa rasionalitas yang memadai.
Baca: Apa Kabar BPKS
Soal Ekonomi Aceh Bertumbuh, Bank Indonesia Asal Bunyi
Pola yang dimaksudkan Hamka pada umumnya terjadi adalah ketika belum lagi cukup waktu bagi seorang penguasa untuk bekerja, kelompok lain yang ingin melakukan perbaikan akan muncul dengan berbagai justifikasi dan argumentasi. Namun alurnya dan polanya tetap sama yaitu merebut kepercayaan rakyat dengan dalih ingin memperbaiki kondisi daerah agar lebih baik. Umumnya dengan menggunakan istilah dhalim terhadap rakyat sehingga perlu dilawan demi memberikan keadilan dan kesejahteraan kepada seluruh rakyat.
Kemudian, umumnya setelah berkuasa sang pembaharu juga memiliki pola yang sama, yakni berkat dukungan berbagai pihak akan melakukan berbagai kebijakan untuk memenuhi berbagai deal personal untuk menjaga kestabilan kekuasaannya. Menjaga dukungan dan kestabilan kekuasaan merupakan hal yang mutlak harus dilakukan agar selamat sampai dipenghujung kekuasaan.
Pola menjaga kestabilan kekuasaan inilah yang kemudian membuat para penguasa memiliki ciri yang sama, kemudian tanpa disadari telah melakukan kezaliman yang sama dan praktik-praktik yang sama dalam menjalankan kekuasaan. Padahal tujuan utama merebut kekuasaan adalah untuk memperbaiki situasi dan kondisi masyarakat yang telah terzalimi oleh penguasa sebelumnya.
Kondisi rakyat yang secara politis tidak lagi berkuasa, karena kekuasaan politiknya secara terbuka telah diserahkan melalui selembar surat pemungutan suara tetap saja tidak ada perubahan. Walaupun nantinya pemimpin berganti lagi dengan alasan yang sama yakni untuk memperbaiki kondisi rakyat.
Di sisi lain, kekuasaan ibarat manisan yang menarik tidak hanya semut tetapi berbagai makhluk penikmat manis akan berdatangan untuk berusaha mencicipi walau hanya mentahnya saja. Di sinilah angin surga dan meulisan (manisan-red) bertebaran tak ubahnya seperti umpan yang disematkan di mata pancing untuk menipu ikan agar memakan mata kail.
Ketika angin surga mulai berhembus dan meulisan sudah mengalir maka sulit membedakan mana yang benar dan yang salah, karena kedua-duanya sangat menghanyutkan. Niat pembawa angin surga dan meulisan tidak bisa dikatakan salah, mereka hanya mencoba peruntungan dan hanya mengharapkan hak amil saja.
Namun karena melalui berbagai tahap maka jumlah hak amil semakin bertambah sehingga pada akhirnya peruntungan-peruntungan tidak sampai ke tangan rakyat. Kondisi mereka yang telah menyerahkan kekuasaan menjadi semakin rumit. Tak ubahnya “lheuh meuseumpom, meucupet ngon rinyeun loem sigo treuk” (setelah jatuh tertimpa tangga pula).
Di sisi lain, para penguasa sudah mulai menyadari perbedaan antara memiliki kekuasaan dengan tidak, mulai memikirkan untuk melanggengkan kekuasaan. Mulai dari mengatur strategi untuk berkuasa kembali bahkan membentuk banser untuk melakukan berbagai kegiatan agar tetap dapat.
Ada pula yang memberikan fasilitas kepada keluarga, famili, dan teman sejawat karena orang lain tidak dapat dipercaya. Mengatur strategi agar lawan politik kehilangan dukungan sampai mencari cara agar sah secara undang-undang.
Ada yang mengatakan kekuasaan adalah candu, ada juga yang mengumpamakan kekuasaan adalah manisan yang menghanyutkan banyak orang. Tetapi saya lebih melihat kekuasaan itu sama persis seperti penyakit kurap. Ada kalanya kurap itu diam saja, bahkan sipemilik penyakit lupa bahwa dia memiliki penyakit kurap tersebut.
Namun ada kalanya, penyakit kurap itu akan terasa gatal tanpa henti. Menurut para dokter gatal itu akan terasa pada malam hari, karena pada waktu tersebut jamur di kurap tersebut akan bertelur untuk melahirkan jamur-jamur baru untuk memperluas kekuasaannya.
Ironinya, kurap tersebut ketika terasa gatal dengan reflek kita akan menggaruknya. Ternyata semakin digaruk terasa semakin enak, kenikmatan yang timbul akibat garukan membuat si penderita lupa efek yang akan timbul dari nikmatnya garukan. Kenikmatan sesaat tersebut kadangkala mampu menjauhkan sang bestie yang mencoba memperingatkan agar tidak menggaruk karena tidak baik.
Atau mencoba memberikan resep obat agar kurap tersebut dapat disembuhkan sehingga tidak gatal lagi. Namun kadang kala kenikmatan sesaat lebih menyenangkan daripada mencari obat untuk kesembuhan.
Kondisinya semakin parah kala kurap tersebut didukung oleh angin surga dan meulisan, maka tak akan ada kapal yang tidak hanyut dibawa gelombang dahsyat. Sang bestie-pun akan menjadi musuh bebuyutan, bahkan bisa distempel sebagai pengkhianat sehingga memiliki alasan untuk disingkirkan.
Banyak fakta telah memberikan contoh dimana kurap dapat menimbulkan kondisi darurat kepada para penguasa, bahkan harus mendekam di balik jeruji besi karena nikmatnya gatal yang menempel pada tubuhnya. Namun sebagaimana kita ulas di permulaan, bahwa semua penguasa memiliki pola yang sama dalam menjalankan kekuasaanya.
Tak ubahnya penguasa dengan kekuasaannya seperti ikan yang selalu tertipu oleh mata pancing. Padahal mata pancing tidak pernah berubah mulai dari pertama ditemukan sampai hari ini. Banyak ikan yang telah lolos dari pancingan namun tidak menjadi iktibar pada ikan-ikan lain.
Atau mungkin karena keegoisan atau mbong ataupun merasa malu kalau kebodohannya diketahui ikan lain, maka ikan yang pernah lolos dari mata pancing tidak pernah mau memberitahukan kepada temannya bahwa dia pernah tertipu oleh mata pangcing. Padahal Keputusan tersebut sangat membahayakan semua ras ikan yang ada di dunia.
Membangun Aceh dengan strategi garo kurap, tidak mungkin menjadi solusi apalagi mengadopsi strategi ikan yang menyembunyikan kebodohan, yang kemudian menggeiring kebodohan massal dari ikan-ikan lain untuk tertipu sepanjang zaman oleh indah dan nikmatnya umpan yang disematkan di mata pancing.
Untuk membangun Aceh ke depan diperlukan pembangunan idealisme kacehan untuk menghindari terulangnya strategi kekuasaan garoe kurap dan mbong ikan dalam membangun tanoeh indatu ini. Semoga generasi Aceh ke depan tidak terkontaminasi dengan kedua masalah tersebut.