Melihat Mahadahsyat Tsunami dari Atap Ruko di Simpang Mesra

Catatan Jailani Yusti Yusuf

Tsunami Aceh 2004 Melihat Mahadahsyat Tsunami dari Atap Ruko di Simpang Mesra
Tsunami Aceh 2004. Foto: AFP

Dua hari sebelum musibah gempabumi dan tsunami Aceh meluluhlantakkan seantero Kutaraja dan beberapa kabupaten/kota di Aceh, ibunda datang ke toko tempat aku mencari nafkah.

Saat itu aku baru menyewa sebuah ruko di Simpang Mesra. Ruko tersebut merupakan tempat aku mencari rezeki di Banda Aceh. Kuberi nama Jaya Elektronik, kemudian berubah nama menjadi Mesra Ponsel.

Kedatangan ibu ke toko tempat aku berlatih mandiri merupakan sebuah kebanggaan. Anak rantau dari Sawang, Aceh Selatan, mampu mendirikan usaha sendiri, tentu menjadi kebahagiaan tersendiri bagi orangtua di kampung.

Ya, sebelum memilih berdikari dengan mendirikan sebuah usaha, aku telah melanglang buana sebagai kuli bangunan, pembantu mekanik tukang reparasi jam, hingga menjadi reparator jam yang dipercaya oleh seorang toke Tionghoa di Peunayong, Banda Aceh.

Toke Tionghoa itu sangat baik. Tapi akan kuceritakan pada kesempatan lain.

Perihal Jaya Elektronik itu, bukan sebatas tempat mengais rezeki. Tapi aku fungsikan juga sebagai tempat berteduh adik-adik dan famili yang jumlahnya mencapai tujuh orang. Kemudian bertambah lagi hingga mencapai 15 orang kala jelang musibah gempabumi dan tsunami pada Minggu, 26 Desember 2004.

Kuperpendek saja cerita. Minggu pagi, sekitar pukul 08.00 WIB, gempabumi mengguncang Banda Aceh dengan kekuatan guncangan yang sangat mengerikan.

Pagi itu kami sedang di lantai dua ruko. Karena goncangan yang sangat kuat, kami segera berhamburan turun ke bawah. Mencari tempat perlindungan paling aman.

Kami beruntung. Karena goncangan yang mencapai 9, 3 magnitudo itu, tidak merubuhkan ruko. Tapi air di dalam sumir menggelegar hingga tumpah keluar. Tabung toilet meledak.

Di tengah kondisi panik, kami berpegangan tangan. Tapi lagi-lagi, kekuatan gempa membuat pegangan kami terlepas. Tercerai-berai terpelanting.

Beberapa waktu kemudian gempa reda. Cukup banyak korban yang tertimpa reruntuhan. Pusat perbelanjaan terbesar di Banda Aceh; Pante Pirak rubuh mengecuo bumi.

Tidak lama kemudian, teknisi toko asal Padang, Sumatra Barat, bernama Rizal datang. Ia memeriksa barang-barang elektronik. Alhamdulillah, barang elektronik aman di tempatnya.

Tiba tiba, dari arah Alue Naga banyak orang berlarian dengan wajah ketakutan. Terdengar suara letupan senjata api. Aku sempat menyangka telah terjadi kontak tembak antara TNI/Airud/Brimob versus gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka. Ternyata bukan senapan sengaja diletupkan aparat keamanan supaya masyarakat bergegas lari karena dari arah laut gelombang raksasa serupa gergasi sedang melaju ke darat.

Baca juga: Gempabumi, Nek Umi, & Tsunami

Ibu, adik-adik dan famili lainnya berlarian tanpa arah. Mereka masing-masing menyelamatkan diri. Adikku Baidil yang baru tiba di Banda Aceh, lari ke Simpang Tujuh Ulee Kareng. Yusrizal Yusuf mencoba menyorong Yamaha Porche One.

Semuanya yang tersisa si depan ruko kuperintahkan naik ke lantai dua. Gelombang raksasa yang kemudian kuketahui bernama tsunami, datang dengan wujud sangat mengerikan. Tak ada waktu lagi lari. Satu-satunya langkah paling masuk akal naik ke lantai dua ruko.

Ibu sempat menyeret karung beras yang dibawa dari Sawang. Beras dan beberapa piring dinaikkan ke lantai dua.

Yusri tidak bisa terlalu jauh lari. Di depan Mapolda Aceh dia dihantam gelombang. Ia terseret dan terdampar ke dalam sebuah rumah. Ia terjebak teralis kamar hingga akhirnya pasrah. Allah berkehendak, air yang sudah memenuhi kamar, berhasil mendobrak dinding. Yusri selamat setelah berhasil meraih lantai dua sebuah ruko. Ia cukup banyak menelan air laut bercampur belerang. Ia pun lemas.

Rizal sang mekanik dan beberapa keluargaku menyelamatkan diri ke lantai dua, juga dihantui ketakutan. Aku berinisiatif mendedah plafon dan atap setelah melihat air sudah mencapai teras. Tak ada tangga untuk bisa sampai ke atas. Kekuatan Allah jua, satu persatu kami angkat hingga tuntas semua berada di atas atap.

Gempa susulan terus terjadi, ibu berpikir toko akan amblas.

“Kita turun,” kata ibu.

Aku jawab, “Mak! Kalau gempa pertama toko ini masih berdiri kokoh, insyaallah gempa susulan akan tetap kokoh.” Begitu keyakinanku dan kuyakinkan ibu.

Tentu ketika sudah berada di atas itu, pandangan semakin luas. Kami bisa melihat bebas ke sana kemari. Dari arah Alue Naga ke Kajhu terlihat air laut bergelora sangat mengerikan. Pucuk-pucuk kelapa terlihat timbul tenggelam.

Saat itulah Rizal mulai menjerit.

“Bang! Anak dan istriku di rumah Kajhu! Aku harus jemput mereka!”

“Jal! Air telah menyapu seluruh kampung. Kita terjebak di sini. Tidak mungkin kita bisa menuju ke sana.”

Sambil terisak isak menjerit, dia ingin terjun ke dalam air yang masih bergelombang datang silih berganti. Aku hanya bisa menahannya. Tangis kami juga pecah tanpa air mata.

Aku alihkan pandangan ke belakang toko. Kira-kira 50 meter dari tempatku menyelamatkan diri, dua perempuan tersangkut di atas pohon. Mereka telanjang. Kami yakin mereka selamat.

Di depan toko, tepatnya di dekat Tugu Pena Simpang Mesra, air mengalir sangat deras. Krueng Lamnyong meluap. Laju air sangat mengerikan. Penuh puing dan berwarna hitam dengan suara gemuruh sangat keras.

Seorang perempuan tersangkut di tiang listrik. Tiba-tiba, bongkahan besar menghantam tubuhnya. Lembaran seng mengenai perutnya. Ia menjadi syahidah tsunami.

Gelombang pertama surut. Air Krueng Lamnyong masih sangat deras. Ada yang selamat karena berhasil menggapai springbed. Air surut melajukan mereka ke laut. Mereka berteriak minta tolong.

Kami hanya melihat. Seseorang yang tertatih di atas tanggul, sepertinya tidak mendengar teriakan minta tolong. Bisa jadi ia juga sedang kehilangan orientasi.

Lebih kurang dari pukul 08.30 WIB hingga pukul 17.00 WIB kami bertahan di atap ruko tanpa air minum. Tubuh dibakar matahari. Anak-anak kehausan. Sungguh menyedihkan.

Kami bertahan hingga air sudah mulai surut. Air di bawah terlihat mulai tenang. Walaupun tenang, di bawah pertokoan air masih dalam. Ukuran kedalaman dua meter.

Aku turun, berenang mencari sanak famili yang berceceran.

Saat inilah, kondisi yang lebih menyayat hati terpampang di depan mata. Manusia mulai mencari sanak keluarga. Ada yang menjerit sambil memanggil nama, banyak tangis tanpa air mata. Semua kalut dalam duka masing-masing.

Aku juga ikut menjerit memanggil nama adik-adik yang belum kembali. Pergi ke sana kemari mencari di reruntuhan toko dan kotoran bangunan yang dibawa tsunami. Aku terus merangkak di dalam air hingga sampai ke depan Polda. Medan masih sangat hancur. Jalan ditutupi gunungan puing. Aku tak kuasa melewatinya

Adik bungsu; Ubay muncul dari arah Lamnyong kembali ke toko dalam kondisi sehat wal’afiat tanpa basah sedikit pun. Karena dia lari ke arah yang benar; Uleekareng.

Disusul adinda Yusri dari arah Prada dalam kondisi sempoyongan.

Datang pula Cek Pudin dari Pasar Aceh dalam kondisi sehat wal’afiat. Alhamdulillah ya Allah. Keluarga inti selamat semua.

Sekitar pukul 18.00 WIB barulah aku berusaha mengumpulkan mayat yang bergelimpangan di sekitar Simpang Mesra. Ada yang masih terapung-apung di air yang sudah tenang. Ada yang tersangkut di pagar. Bahkan yang tertimbun oleh puing bawaan tsunami yang sangat dahsyat itu.

Satu mayat anak kugendong sendiri. Jasad bocah itu kutaruh di bundaran Tugu Pena. Ada pula yang hanya sanggup ku angkut hingga trotoar.

Malam pun tiba, aku mencoba bertahan di toko dalam kondisi gelap gulita. Mayat di mana-mana. Keluargaku masih takut dan khawatir, karena gempa susulan masih terus saja terjadi. Pukul 23.00 WIB kami putuskan untuk mengungsi di depan Restoran Lamnyong sambil melewati ribuan mayat di kegelapan malam. Kami tak mau mengungsi di Masjid Darussalam karena banyak sekali mayat dan penuh sesak dengan pengungsi lainnya.

Yusri semakin lemas, tak ada obat dan apapun yang bisa meringankannya. Kami bertahan di sana hingga dua malam. Pada malam kedua, pukul 01.00 dinihari, aku kembali ke toko. Mayat mayat yang sudah mulai menghitam dan mengeluarkan aroma tak sedap. Aku harus ke toko karena ada beras yang diseret ibu ke lantai dua.

Saat itu tak ada lagi rasa takut. Bau jasad yang membusuk juga tak lagi terasa. Penciumanku telah kebal. Satu-satunya misi; mengambil beras.

Sesampai di lokasi toko, bermodalkan senter korek, aku mencari barang yang dibutuhkan. Ketika sedang mencari-cari beras di gulita, aku mendengar suara aneh.

Bulu kuduk berdiri. Rasa takut muncul berbarengan dengan penasaran. Bunyi apakah itu?

Bersambung.

 

*Jailani Yusti Yusuf, korban tsunami Aceh. Seorang pendidik dan ASN di Aceh.

Artikel SebelumnyaDemi Dapat Pinjaman, Vieira Bawa Jasad Pamannya ke Bank
Artikel SelanjutnyaAa Gym: Tsunami 2004 Ujian dan Jalan Mendekatkan Diri kepada Allah
Jailani Sawang
Berkhidmad di dunia pendidikan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here