
Komparatif.ID, Brazzavile, Kongo—Perwakilan masyarakat adat dari berbagai negara bertemu di Republik Kongo, mulai 26 hingga 30 Mei 2025. Para perwakilan masyarakat adat dan komunitas lokal kawasan hutan tropis, mengikuti kongres pertama.
22 delegasi Indonesia diwakili oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Mereka ikut diundang pada kongres pertama masyarakat adat dan komunitas dari daerah aliran sungai hutan (Three Basins Summit).
Baca: Riwayat Tambang Emas di Aceh Masa Silam
Kongres tersebut digelaar oleh Global Alliance of Territorial Communities (GATC) yang bekerja sama dengan Rights and Resources Initiative (RRI). Pertemuan itu mempertemukan masyarakat penjaga hutan dari Amazon, Kongo, Borneo-Mekong-Asia Tenggara, dan Mesoamerika. Wilayah-wilayah tersebut selama ini dijaga dan dirawat oleh masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai benteng terakhir keanekaragaman hayati dan penyeimbang iklim global.
Sekretaris Eksekutif GATC Juan Carlos Jinctiach, menyebutkan pihaknya hadir sebagai koalisi yang hidup, membawa kearifan leluhur, dan membela hak-hak alam dan masyarakat. “Kongres global ini adalah tonggak sejarah bagi persatuan masyarakat di Kawasan hutan tropis,” sebut Juan Carlos, Selasa (27/5/2025) dalam sambutannya.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi, juga turut menyampaikan refleksi atas perjuangan panjang komunitas Masyarakat Adat dalam forum Internasional ini. Rukka menyebut GATC telah dibentuk sepuluh tahun lalu. Seiring perjalanan waktu, aliansi ini menyaksikan perempuan adat di Afrika mulai memanen hasil kerja kolektif. Namun, Rukka berharap komunitas masyaraat adat jangan terlalu banyak dibebani administrasi. “Jika itu terjadi, maka kita justru sedang melemahkan para penjaga bumi itu sendiri,” ungkapnya.
Kongres diawali dengan perayaan gerakan perempuan GATC melalui workshop interaktif, yang menyoroti pentingnya akses langsung perempuan adat dan komunitas lokal terhadap pendanaan iklim.
Menteri Ekonomi Kehutanan Republik Kongo, Rosalie Matondo, membuka kegiatan ini pada Selasa lalu (27/5/2025) dan menekankan pentingnya sinergi antara perlindungan lingkungan, pertumbuhan ekonomi, dan partisipasi aktif masyarakat adat dan komunitas lokal dalam pembangunan global.
“Saya sangat menghargai kepemimpinan perempuan adat dan komunitas lokal yang merawat komunitas, wilayah, dan keluarga kita demi keberlanjutan bumi lintas generasi,” ujar Menteri Matondo.
Koordinator REPALEAC (The Network of Indigenous and Local Communities for the Sustainable Management of Forest Ecosystems in Central Africa), anggota GATC, Joseph Itongwa mengatakan di dalam forum tersebut di tengah krisis iklim dan ancaman terhadap keanekaragaman hayati, wilayah yang dikelola oleh masyarakat adat terbukti memiliki tingkat deforestasi yang jauh lebih rendah.
Namun, pengakuan global terhadap peran penting mereka belum sepenuhnya diiringi oleh perlindungan hukum dan pendanaan langsung yang memadai. Kongres ini hadir sebagai wadah untuk menyuarakan strategi bersama yang dipimpin masyarakat adat agar hak, pengetahuan, dan sistem kehidupan mereka menjadi pusat dari tata kelola lingkungan global.
“Ini bukan semata soal pendanaan atau keadilan iklim. Sudah saatnya proses-proses kebijakan dibuat lebih manusiawi. Wilayah, budaya, dan suara kami telah sejak lama memperingatkan dunia tentang titik-titik krisis yang tidak bisa dipulihkan. Kini dunia harus mendengar, dan komunitas dari seluruh kawasan hutan harus terus memimpin dengan harapan dan tekad untuk masa depan,” ujar Joseph Itongwa.
Kongres ini juga melanjutkan semangat dari forum perempuan adat pertama di Afrika Tengah dan Cekungan Kongo yang digelar di Brazzaville pada 2023. Dalam forum tersebut, REPALEAC, GATC, RRI, dan Central African Forests Commission (COMIFAC) merumuskan roadmap untuk memperkuat peran perempuan adat dalam ketahanan iklim dan pelestarian hutan.
Sebagai bagian dari workshop pra-Kongres, CLARIFI (mekanisme pendanaan RRI untuk proyek masyarakat adat dan komunitas) mengumumkan dukungan sebesar US$270.000 untuk sejumlah inisiatif perempuan adat di delapan negara Afrika.
“Dana ini akan mendukung pelatihan dan penguatan teknis perempuan adat dalam regenerasi tanah, pengembangan ekonomi lokal, restorasi keanekaragaman hayati, dan advokasi hak wilayah,” ungkap Deborah Sanchez, perempuan Moskitia dari Honduras dan Direktur CLARIFI.
Komitmen Koalisi Masyarakat Adat Global
“Membela Bumi berdasarkan pengetahuan leluhur kami adalah bentuk perlawanan. Kongres ini membuka jalan untuk memperkuat suara dan peran perempuan adat dalam tata kelola wilayah yang adil,” ujar Sara Omi Casama, pengacara Emberá dari Panama dan perwakilan gerakan perempuan GATC.
“Para pemimpin politik mulai mengakui bahwa pengetahuan kami memiliki dasar ilmiah. Perubahan iklim tidak bisa disederhanakan, semua saling terkait. Pertemuan ini menjadi langkah penting untuk memperlihatkan aksi nyata dari wilayah kami dan membangun aliansi yang menempatkan kehidupan dan keseimbangan planet sebagai prioritas,” kata Levi Sucre Romero, warga masyarakat adat Bribri dari Kosta Rika dan Direktur Aliansi Masyarakat Hutan Mesoamerika (AMPB).
Selama lima hari, kongres menghadirkan diskusi tingkat tinggi tentang situasi kawasan hutan, sesi khusus perempuan dan pemuda, serta kelompok kerja tematik tentang ancaman, hak, penghidupan, dan pendanaan. Di akhir, peserta akan menyepakati Deklarasi Kongres dan Rencana Aksi. Upacara penutupan akan melibatkan kepala negara, donor, dan mitra global.