Komparatif.ID, Indrapuri— Menyusuri jejak Islam di Aceh tidak lengkap tanpa mengunjungi Masjid Tuha Indrapuri, sebuah bangunan bersejarah yang terletak di Desa Pasar, Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar.
Berjarak sekitar 24 kilometer dari Kota Banda Aceh, masjid ini menjadi salah satu bukti nyata perpaduan budaya dan agama di Aceh yang terus bertahan dari waktu ke waktu.
Masjid ini diperkirakan dibangun pada awal abad ke-17, di puncak kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam, menjadikannya saksi bisu perjalanan panjang sejarah penyebaran Islam di Serambi Mekkah.
Aceh dikenal sebagai daerah pertama di Nusantara yang menerima Islam. Berdasarkan catatan sejarah, kerajaan-kerajaan di wilayah ini, seperti Kerajaan Perlak dan Pasai, menjadi pintu gerbang awal masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-9.
Masruraini, dalam “Perkembangan Pendidikan Islam Pada Masa Hingga Lahirnya Kerajaan Islam di Aceh”, mencatat Islam mulai menyebar di Aceh sejak tahun 804 Masehi. Di antara peninggalan Islam yang tersisa hingga kini, Masjid Tuha Indrapuri merupakan salah satu bangunan yang paling menonjol.
Masjid Tuha Indrapuri terletak di tepian aliran Sungai Indrapuri dan berjarak sekitar 25 kilometer dari Banda Aceh, tepat di tepi jalan lintas Banda Aceh-Medan. Dengan lokasinya yang strategis, masjid ini mudah diakses oleh siapa saja, baik dari Banda Aceh maupun dari jalur tol Sigli-Banda Aceh (Sibanceh).
Daya tarik Masjid Tuha Indrapuri tidak hanya terletak pada usianya yang sudah ratusan tahun, tetapi juga pada sejarah panjang dan transformasinya dari sebuah candi Hindu menjadi rumah ibadah umat Islam.
Berdasarkan catatan sejarah, masjid ini didirikan di atas lahan bekas candi Hindu dari Kerajaan Lamuri, kerajaan yang pernah berkuasa di Aceh pada abad ke-12. Sebelum diubah menjadi masjid, lahan ini merupakan tempat berdirinya tiga candi, yaitu Indrapatra, Indrapurwa, dan Indrapuri. Dari ketiga candi tersebut, hanya tembok Candi Indrapuri yang masih tersisa dan menjadi bagian dari struktur masjid saat ini.
Raja Lamuri, meskipun awalnya Hindu, kemudian memeluk Islam setelah mendapatkan bantuan dari dua tokoh Muslim, Tengku Abdullah Lampeuneun dan Meurah Johan, yang berhasil mengusir pasukan bajak laut asal Tiongkok yang menyerang Lamuri.
Sejak saat itu, kerajaan dan rakyat Lamuri beralih memeluk Islam, dan candi-candi yang tidak lagi digunakan diubah menjadi masjid, termasuk Masjid Tuha Indrapuri.
Pada tahun 1618, sepulang dari Malaka, Sultan Iskandar Muda singgah ke Indrapuri dan memerintahkan agar di atas bekas candi dibangun masjid besar. Lahan Candi Indrapuri bentuknya bujur sangkar dengan bangunan dibuat seperti punden berundak dan membuatnya lebih tinggi dari daratan sekitarnya.
Baca juga: Pantai Ulee Lheue: Spot Kece Nikmati Senja Banda Aceh
Bangunan masjid didirikan di atas lahan yang berbentuk bujur sangkar dengan desain menyerupai punden berundak, yang merupakan ciri khas arsitektur candi Hindu.
Untuk kebutuhan masjid, Sultan Iskandar Muda meminta agar pondasi candi yang bertingkat-tingkat dipangkas dan hanya tersisa empat undakan atau tingkat saja. Tiap tingkat di pagar tembok sepanjang 40 meter dan tebal 1,3 meter.
Tinggi tembok tiap tingkat tak sama, antara 1,4 meter hingga 1,8 meter. Sebuah tangga batu setinggi 3,36 meter dengan 16 anak tangga menjadi penghubung tingkat pertama dan kedua. Antara tingkat kedua dan ketiga terdapat 12 anak tangga.
Ismardi (57), yang sudah menjaga masjid sejak 30 tahun lalu menjelaskan bangunan masjid berada di tingkat tertinggi yaitu keempat. Tiang-tiang kayu kokoh dibangun sebagai penyangga masjid.
Pintu masuk masjid ada di sisi timur dan tepat di halaman depan ada dua kolam penampung air hujan yang bisa dipakai untuk berwudhu sebelum melaksanakan salat di masjid. Pada salah satu sisi luar masjid ada bangunan dua lantai yang dipakai muazin untuk menyuarakan azan dilengkapi kentungan besar pengganti bedug penanda masuk waktu salat.
Bangunan Masjid Tuha Indrapuri tidak hanya memiliki nilai sejarah, tetapi juga menyimpan keindahan arsitektur yang khas. Ismardi menjelaskan atap masjid berpola tumpang, dengan susunan tiga tingkat yang disangga oleh 36 balok kayu.
Teknik pasak, yaitu penyambungan balok tanpa paku, digunakan untuk membangun struktur atap ini, menjadikannya lebih kuat dan tahan lama. Beberapa sambungan balok kayu juga dihiasi dengan ukiran indah.
Meskipun telah mengalami pemugaran besar-besaran pada tahun 1999, bangunan masjid tetap mempertahankan sebagian besar unsur aslinya. Namun, beberapa bagian masjid kini menggunakan kayu tambahan yang berbeda dengan kayu asli, terutama pada susunan sambungan balok kayu yang kaki-kaki bangunan.
Ismardi menjelaskan bahwa perbedaan kualitas kayu tambahan cukup kentara dibandingkan dengan kayu asli. Meski demikian, masjid ini masih kokoh berdiri dan terus menjadi tempat ibadah bagi masyarakat dan peziarah yang rutin datang setiap hari.
“Beda, kalau dilihat kualitas bagusan yang asli. Lalu, kayu yang ditambah tidak pas masuk pada lobang balok susun, jadi harus seperti ditambal,” ujarnya, Kamis (17/10/2024).\
Keindahan mihrab yang terbuat dari batu serta tembok tinggi setinggi 1,5 meter tanpa jendela yang mengelilingi masjid memberikan kenyamanan tersendiri bagi siapa saja yang beribadah di dalamnya.
Angin sepoi-sepoi yang berhembus dari celah-celah terbuka di antara bangunan dan tembok seakan membawa kedamaian yang sulit dilupakan. Di beberapa sisi tembok, terdapat ukiran kaligrafi Arab yang semakin memperkuat nuansa Islami di dalam masjid.
Selain sebagai tempat ibadah, Masjid Tuha Indrapuri juga pernah digunakan sebagai pusat pemerintahan sementara Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1878, saat Sultan Muhammad Daudsyah dilantik.
Keberadaan masjid ini tidak hanya penting dari sisi religius, tetapi juga dari segi politik dan budaya. Pada 1986, Pemerintah Indonesia menetapkan Masjid Tuha Indrapuri sebagai situs cagar budaya, memperkuat statusnya sebagai salah satu peninggalan berharga sejarah Aceh
Selain digunakan untuk salat lima waktu dan salat Jumat, Masjid Tuha Indrapuri juga dipakai untuk salat tarawih selama Ramadan, meski tidak diikuti dengan tadarus. Masjid ini juga menjadi salah satu destinasi wisata religi yang sering dikunjungi wisatawan, terutama dari Malaysia, terutama saat Hari Raya.
“Masyarakat di sini tadarus di gampong masing-masing. Karena masjid ini berada di antara empat gampong. Sementara Masjid Kecamatan kan dibangun baru di seberang jalan sana,” ungkapnya.
Meski begitu, masyarakat sekitar tetap memelihara kelestarian Masjid Tuha Indrapuri, terlebih oleh pemerintah setempat sudah dimasukkan sebagai salah satu destinasi wisata religi di Aceh dan sering dikunjungi wisatawan dari Malaysia terutama saat hari lebaran.
Saat disambangi Komparatif.ID, seusai salat Asar anak-anak dari kampung sekitar tampak bermain-main di pelataran Masjid Tuha Indrapuri yang luas.
Ismardi mengatakan dulunya area Masjid Tuha tidak selega sekarang. Di sisi kiri, kanan, dan belakang berdiri pesantren dan madrasah yang dibangun Sultan Iskandar Muda, lalu mencapai puncak kemasyhuran saat dipimpin Teungku Haji Ahmad Hasballah bin Teungku Haji Umar bin Teungku Auf (Abu Indrapuri).
Namun usai ditetapkan sebagai cagar budaya, seluruh bangun tersebut dirobohkan. Madrasah tersebut dipindahkan ke area di luar benteng. Sementara pesantren berhenti beroperasi karena perang dan wafatnya Abu Indrapuri.