Maroko, Olahraga, dan Harga Diri

Syah Reza Ayub yang merupakan jurnalis Komparatif.id, menilai tampilnya Maroko hingga ke semifinal Piala Dunia 2022, merupakan sebuah bentuk kebangkitan harga diri kaum muslim, sekaligus ingin membuktikan bahwa olahraga juga bagian dari cara umat muslim memberi nilai atas keyakinannya. Foto: Koleksi pribadi.
Syah Reza Ayub yang merupakan jurnalis Komparatif.id, menilai tampilnya Maroko hingga ke semifinal Piala Dunia 2022, merupakan sebuah bentuk kebangkitan harga diri kaum muslim, sekaligus ingin membuktikan bahwa olahraga juga bagian dari cara umat muslim memberi nilai atas keyakinannya. Foto: Koleksi pribadi.

Maroko, memang fenomenal. Satu-satunya negara non-kulit putih melaju ke semifinal Piala Dunia 2022. Mendampingi negara Eropa dan Amerika Latin: Perancis,Kroasia, dan Argentina. Setidaknya, Singa Atlas mewakili sekaligus menyatukan suporter dari 4 identitas dunia; bangsa Afrika, kulit hitam, Arab, dan Islam.

Sejak mengalahkan Spanyol di perdelapan final, hampir mayoritas masyarakat muslim di dunia memberi dukungan kepada Maroko. Menjagokannya sebagai kampuin Piala Dunia Qatar. Alasannya, sangat sederhana: persaudaraan sesama muslim.

Baca juga: Rahasia di Balik Trengginasnya Timnas Maroko

Memang kaum muslim dikenal sebagai masyarakat yang unik, atas dasar satu keyakinan, rasa kesatuan emosionalnya terbentuk dengan sendirinya, tanpa dipaksa. Tidak mengenal bangsa, nasab keluarga, warna kulit maupun teritorial. Kaum muslim itu bersaudara. Umat yang satu, kata Nabi. Ia ibarat satu tubuh, jika satu bagian yang sakit, yang lainnya terasa sakit. Maka, bagi orang Islam dukungan moril terhadap Maroko dalam Piala Dunia sangat logis, atas ikatan persaudaraan Islam (ukhwah islamiyah). Ikatan tersebut dalam istilah Ibn Khaldun yaitu ummah.

Selain alasan persaudaraan, faktor sejarah terlibat dalam emosional bangsa Maroko saat mampu mengalahkan Spanyol. Mengalahkan Spanyol, seperti membangkitkan harga diri kaum muslim di hadapan bangsa yang pernah membantai leluhur mereka dahulu. Dalam sejarah kelam, tentara salib Spanyol di bawah Raja Ferdinand pernah membantai kaum muslim Andalusia, melakukan pengusiran sekitar 300.000 kaum muslim yang mayoritas bangsa Maroko dan Mauritania di spanyol oleh Pemerintahan Salib Abad 16 M.

Rekaman sejarah kelam tersebut, tidak bermaksud untuk memperuncing hubungan Islam dan Barat. Sekalipun, di Spanyol hampir setiap tahun diperingati Festival Moor, sebagai hari kemenangan kaum salib mengusir orang Islam dari tanah Andalusia. Memang, orang Islam harus selalu berbesar hati dan menampilkan sikap seperti Nabi, membalas keburukan dengan kebaikan.

Dua faktor di atas itu, membentuk optimisme Maroko melawan tim lain. Akhirnya, tren kemenangan berlanjut mengalahkan Portugal di perempat final. “Kemenangan ini untuk umat Islam.” kata salah satu pemain Maroko.

Maroko dan Narasi Agama

Kenapa harus menggiring narasi agama dalam persoalan sepakbola? Agama bagi masyarakat muslim tidak sekedar keyakinan semata. Ia melebur dalam seluruh aspek kehidupan. Makanya, masyarakat muslim punya identitas yang kuat terhadap keyakinannya. Ekspresi keyakinannya kerap wujud secara spontan dalam tingkah laku. Selebrasi sujud (ekspresi penghambaan pada Tuhan) saat merayakan gol, memeluk ibu atau orang tua saat bahagia, adalah bagian dari ajaran agama yang mempengaruhi perilaku kaum muslim. Artinya, integralitas itu karakteristik dari Islam.

Saya cenderung mengabaikan persepsi miring dari kalangan yang ketika disebutkan Islam, yang terlintas di benaknya hanya persoalan teologi, ibadah, dan ritual agama. Seakan Islam tidak mengatur persoalan dunia. Sekularisasi memang berhasil merasuk dalam nalar umat Islam, sehingga memisahkan persoalan dunia dan agama. Hatta persoalan olahraga dari agama.

Sejatinya, Islam itu agama dan juga peradaban. Ia menjadi spirit bagi setiap aspek kehidupan. Sekalipun persoalan sepakbola. Di mana identitas Islam dalam sepakbola? Setidaknya tercermin pada menjaga batas-batas syariat, seperti tidak minum alkohol saat perayaan kemenangan, menjaga sportifitas, menyayangi lawan, dan menjaga ibadah.

Sepakbola sekalipun hasil transformatif dari tradisi olimpiade di Yunani sejak abad 700 sebelum Masehi, bagi muslim tetap disikapi dari sudut pandang yang sewajarnya. Dunia telah berubah, dan harga diri tidak selalu dalam bentuk kekuatan militer, politik, atau ekonomi, tetapi olahraga menjadi pentas pertarungan harga diri sebuah negara. Qatar dan Maroko menjadi corong untuk mengembalikan jiwa masyarakat muslim yang inferior pada Barat. Seakan dua negara ini mengatakan, “oh dunia, ketahuilah peradaban Islam itu tidak tidur.”

Memang kata tertidurnya umat Islam, pernah muncul dalam karya Muhammad Abed Al-Jabiri. Sekalipun pemikir muslim asal Maroko, ia cenderung berkiblat ke Barat dalam pemikirannya. Ia pernah menggiring narasi bahwa umat Islam itu sedang tertidur, seperti Ashabul Kahfi. Tidak cukup terbangun saja, tetapi butuh pembaharuan identitas agar tak tertinggal dari zamannya (baca: Barat).

Inferior pada peradaban Barat menjadi penyakit yang paling populer mengidap kalangan muslim dari awam hingga terpelajar. Keberadaan Maroko di semifinal setidaknya mendongkrak mental kaum muslim untuk superior berhadapan dengan bangsa lain. Mungkin berawal dari sepakbola, kita akan mengembalikan peradaban.

Oleh karena itu, biarkan, masyarakat muslim menikmati euforia sejenak bersama Maroko.

Artikel SebelumnyaAzwardi Minta HMI Proaktif Bantu Pemkab Atasi Kendala Masyarakat
Artikel SelanjutnyaYogi Wanda Lolos Seleknas Sea Games XXXII di Kamboja
Syah Reza Ayub
Jurnalis Foto Komparatif.

1 COMMENT

  1. Bangga,
    mau juara atau tidak, melihat Maroko bermain di semifinal ada rasa kebanggaan tersendiri.
    Apalagi nuansa religiusnya terlihat sekali saat mereka sujud syukur bersama, sebagai bentuk kesyukuran merayakan kemenangan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here