
Komparatif.ID, Banda Aceh— Sebagai sastrawan agung, dan ulama besar, makam Hamzah Fansuri masih menjadi perdebatan. Ada yang mengatakan di Ujong Pancu, Aceh, ada yang menyebutkan di Singkil. Tapi Nurdin AR mengajukan informasi lain. Makam sang penyair di tanah Mekkah.
Nurdin AR, mantan Kepala Museum Aceh, Sabtu (24/5/2025) didapuk sebagai salah seorang pembicara pada kegiatan bertajuk “Gelar Karya Besar Hikayat Aceh dan Karya Hamzah Fansuri”.
Kegiatan itu berisi diskusi, pameran, dan pentas seni, dalam rangka memperingati dua tahun pengakuan Hikayat Aceh sebagai bagian dari Memory of the World oleh UNESCO.
Salah satu insight yang menarik dalam pernyataan Nurdin AR yaitu perihal lokasi makam Hamzah Fansuri. Banyak orang mengatakan bila makam sang ulama berada di Ujong Pancu. Ada yang menyebutkannya di Singkil.
Perihal makam Hamzah Fansuri, kata Nurdin, banyak catatan lama, seperti catatan orientalis Vladimir Braginsky, catatan Dr. Edward McKenna, dan Syed Naguib al-Attas.
Sampai sekarang posisi makam sang ulama masih menjadi dialektika akademik.
Ada dokumen penting yang menarik, yaitu catatan hasil bacaan transkripsi inskripsi nisan yang direkam oleh arkeolog Mesir Ismail al-Hawari pada tahun 1934. Sesuai inskripsi tersebut, diterangkan bila makam Hamzah Fansuri berada di Babul Ma’la, Mekkah.
Baca juga: Mengapa Hikayat Aceh Ditulis Dalam Bahasa Melayu?
“Di dalam inskripsi itu ditulis ‘Hādzā al-qabru Syaikh Hamzah bin Abdullah al-Fansuri’ (Inilah makam Syekh Hamzah bin Abdullah al-Fansuri). Rekaman tersebut dimuat dalam kajian Claude Guillot dan Ludvik Kalus dalam Archipel 60, Paris, tahun 2000,” kata Nurdin.
Inskripsi tersebut memperkuat kemungkinan bahwa Hamzah Fansuri dimakamkan di Mekkah sebelum makam-makam lama di Babul Ma’la dibongkar oleh rezim Arab Saudi.
Dosen Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Ar-Raniry tersebut menekankan pentingnya pelestarian manuskrip Aceh. Dalam rangka pelestariannya, Ketika dirinya menjadi Kepala Museum Aceh, banyak menampung menampung naskah-naskah berbahasa Arab yang ditulis atau disalin oleh orang Aceh.
“Ketika saya jadi Kepala Museum, tambah 900 naskah. Kenapa waktu saya jadi Kepala Museum banyak bertambah naskah di Museum Aceh? Karena banyak naskah berbahasa Arab ditampung di Museum Aceh. Itu sebabnya,” ujar Nurdin.
Dalam pembahasan mengenai Hamzah Fansuri, Nurdin menyebut tokoh sufi ini sebagai penyair sufi terbesar Melayu. Ia menekankan kontribusi Hamzah dalam mempopulerkan bentuk syair empat baris atau rubai dalam sastra Melayu, meskipun menurut kajian Van der Molen, bentuk tersebut sudah muncul sebelumnya dalam prasasti Perak Timur di Nisan Menyejujur pada tahun 871 Masehi.
“Hamzah Fansuri adalah orang yang mempromosikan syair empat-empat baris. Tapi apakah syair Hamzah Fansuri yang rubai itu beliau yang buat? Ternyata bukan,” terang Nurdin.
Sementara itu, sejumlah karya Hamzah Fansuri yang masih bisa ditemukan hingga hari ini juga turut disorot. Karya-karya tersebut antara lain: Syarabul ‘Asyiqin (Minuman Orang-orang Asyik), Zinatul Muwahidin (Perhiasan Orang-orang yang Mengesakan Allah), Muntahi (Orang yang Mencapai Pengenalan Tertinggi), Rahasia Kitab Insanul Kamil, Rubai (kumpulan syair sufistik Hamzah), Ikat-ikatan Syair Hamzah Fansuri.
Ia menjelaskan bahwa sebagian karya dibakar atas perintah raja dalam sebuah peristiwa pembubaran debat keagamaan di Aceh.
Nurdin juga menyampaikan pentingnya memahami sastra tinggi, istilah yang ia sebut sebagai “sastra suci yang berkembang di Aceh”. Ia menyebut karya-karya Hamzah sebagai contoh dari sastra tinggi yang menuntut pemahaman mendalam terhadap tasawuf dan filsafat ketuhanan.
Mengakhiri presentasinya, Nurdin membacakan salah satu kutipan syair Hamzah Fansuri:
“Kita dari Tuhan, kembali kepada Tuhan. Rajimu sana, jangan kau selang. Itulah jalan tempat mengulang, ribu laksa jangan kau bilang. Kezahiran yang tiada hilang.”