Komparatif.ID, Lhokseumawe— Mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) bukan perkara mudah. Terlebih jika guru yang ditugaskan tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang Pendidikan Luar Biasa (PLB). Inilah yang dialami sebagian besar guru SLB di Lhokseumawe dan Aceh Utara.
Pada studi yang dilakukan Dwi Iramadhani, Putriani, Rahma Fazila, dan Entan Afrilia di Lhokseumawe dan Aceh Utara ditemukan bahwa dari 96 guru SLB di wilayah tersebut, 71 di antaranya berlatar pendidikan non-PLB. Artinya, mayoritas guru menghadapi anak berkebutuhan khusus (ABK) tanpa bekal akademik yang memadai.
Situasi ini memunculkan tekanan psikologis yang cukup serius. Dalam wawancara, beberapa guru mengaku merasa frustrasi, lelah, bahkan pernah marah dan bertindak di luar kendali seperti berteriak atau mencubit siswa.
Baca juga: Pendidikan Tinggi Hanya Untuk Orang Kaya dan Kolega Penguasa
Mereka mengalami stres saat menghadapi siswa tunagrahita, autisme, atau tunadaksa yang tidak merespons metode pembelajaran konvensional. Salah satu guru mengaku sempat bingung dan panik karena tak tahu harus mulai dari mana saat pertama kali masuk ke SLB, apalagi tidak pernah belajar tentang autisme atau tunarungu sebelumnya.
Studi berjudul “Psikoedukasi: Intervensi Untuk Memberikan Pemahaman Regulasi Emosi dan Strategi Adaptasi Guru SLB Aneuk Nanggroe Menghadapi Stres dan Frustrasi Akibat Kesulitan Dalam Menangani ABK“, yang dipublikasikan Jurnal Pengabdian Kolaborasi dan Inovasi IPTEKS menyebut ketidaksesuaian latar belakang pendidikan dengan kebutuhan anak-anak SLB berkorelasi dengan meningkatnya risiko gangguan kesehatan mental di kalangan guru, seperti kecemasan, kelelahan, dan burnout. Hal ini tak hanya berdampak pada guru itu sendiri, tetapi juga pada proses belajar-mengajar di kelas.
Sebagai respons terhadap kondisi tersebut, tim pengabdian masyarakat melakukan program psikoedukasi untuk guru-guru SLB non-PLB. Program ini bertujuan membantu guru mengenali emosi mereka sendiri, mengelola stres, dan mengembangkan strategi adaptif di lingkungan kerja.
Melalui sesi interaktif seperti pelatihan pernapasan, teknik self-talk positif, hingga penyusunan rencana adaptasi kelas, guru merasa lebih siap menghadapi tekanan di lapangan. Mereka mulai menyadari pentingnya “mengajar diri sendiri” sebelum mengajar anak-anak istimewa ini.
Meski hasil awal cukup positif, psikoedukasi ini baru merupakan langkah kecil. Pemerintah daerah dan pengelola SLB diharapkan menyusun pelatihan reguler dan berkelanjutan untuk guru non-PLB agar mereka mampu menjalankan tugasnya dengan lebih percaya diri dan sehat secara emosional.
Sebab guru yang kuat secara mental akan lebih efektif membangun hubungan positif dengan ABK dan menciptakan suasana belajar yang inklusif.