Kurban dan Pesan Kemanusiaan

kurban
Dua warga Gampong Matang Cot Paseh, Peusangan, Bireuen, Aceh, sedang menggotong paha lembu kurban yang disembelih di tanah waqaf desa tersebut beberapa tahun lalu. Foto: Komparatif.ID, Muhajir Juli.

Kurban yang dilakukan pada setiap Iduladha memiliki nilai altruism universal. Tradisi religius ini mengandung nilai-nilai pertukaran pesan simbolik, meliputi makna pesan spiritual, sosial, historikal, dan kultural.

Ditilik dari sudut pandang sejarah, umat Islam dibawa kembali menelusuri lorong ingatan menuju pada peristiwa yang diperankan dua orang anak Nabi Adam As, juga informasi tentang ujian paling berat dihadapi oleh Nabi Ibrahim As dalam menaati perintah Allah Swt. Ia diperintah oleh Allah untuk menyembelih puteranya yaitu Ismai as.

Perintah yang harus mereka lakukan di masing-masing zaman itu,sebagai wujud ketaqwaan kepada Ilahi Rabbi. Keadaan ini digambarkan pada kedua putranya Nabi Adam yaitu Qabil dan Habil. Ketika itu mereka diperintahkan berkurban benda paling bagus dan paling dikasihi.

Historisitas ini Allah jelaskan dalam Alquran “Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka (kurban) salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima. Dia (Qabil) berkata, “Sungguh, aku pasti membunuhmu!” Dia (Habil) berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa. Sungguh, jika engkau (Qabil) menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam.”(QS Al-Maidah:27-28).

Baca: Tips Mengempukkan Daging Dengan Bahan di Sekitar Kita

Kisah di atas menunjukkan putra Nabi Adam yaitu Qabil menghabisi nyawa Habil karena persembahan kurban dengan ketulusan hatinya itu diperkenankan. Tindakan tragis tersebut disebabkan adanya sifat iri hati dan persaingan yang berlebihan pada diri Qabil, Sehingga Habil yang jadi korban pembunuhan secara kejam dan kedengkian.

Kisah tentang pengorbanan berdasarkan ketaqwaan juga Allah terangkan dalam Alquran tentang Nabi Ibrahim dengan anaknya Ismail. Nabi Ibrahim diperintahkan melakukan penyembelihan anaknya.Secara akidah, perintah memotong leher putra tercinta satu-satunya dalam keluarga adalah ujian dimensi iman terberat bagi seorang Nabi Ibrahim.

Meski berat, namun Nabi Ibrahim memilih taat kepada Allah, dan hasilnya seperti yang kita ketahui Bersama. Ismail digantikan oleh qibas yang dikirim Allah melalui malaikat.

Kurban dan Kesalihan Sosial

Dari segi sosial keagamaan, kesalihan dan ketulusan menunaikan perintah Allah Swt agar dapat mengorbankan putranya menjadi makna keteladanan sosial yang bermartabat tinggi dalam budaya mengorbankan manusia.

Hasilnya Ismail bebas dari penyembelihan, kemudian dilunasi dengan hewan sembelihan yang besar.

Mengenai pembebasan kurban anak manusia dengan domba sebagai bentuk penghargaan dan pembuktian janji Allah untuk memberi balasan terbaik orang yang benar-benar bertakwa dan mengerjakan kebaikan.

Sedangkan Ismail yang menjadi korban sebagai aktualisasi dari simbolisasi bukti suci dan kasih sayang sang Khalik, sebab harta paling dicintai dan putra sulung yang sangat berharga dalam keluarganya.

Dari kisah di atas bisa dipahami bahwa penyembelihan hewan kurban itu simbol pendekatan spiritual seorang hamba kepada Sang Pencipta, sekaligus membentuk interaksi sosial kemanusiaan antara satu sama lainnya. Ibadah kurban juga salah satu karakter orang takwa yang terhiasi pada integritas seseorang, baik secara individual-personal dengan Allah Swt (vertikal),juga sosial-komunal (horizontal) agar dapat menjadikan kasih sayang dan kedamaian bagi manusia dan alam semesta. Pancaran darah yang mengalir melalui penyembelihan dan daging kurban yang disalurkan terutama kepada fakir miskin, juga diberikan dan dikonsumsikan oleh yang berkurban sendiri, menjadi perilaku kesalihan sosial.

Dalam hal tersebut, Allah Swt berfirman “Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al Hajj: 37).

Firman Allah di atas menginformasikan bahwa kurban menjadi salah satu sarana sosial kebudayaan untuk menjadikan keseimbangan antara pendekatan transendental dan kemanusiaan. Esensi yang terkandung dari ibadah kurban adalah sikap istiqamah yaitu ketakwaan hati dan pikiran, kekukuhan iman, dan solidaritas sosial.

Karena itu, tindakan berkurban dengan proses menyembelih hewan dan disalurkan dagingnya bukan untuk memperoleh simpatik, pujian, dan kesombongan sosial, tetapi untuk meninggikan derajat dan makna kemanusiaan. Pada sisi lain sembelihan hewan kurban juga menjadi simbol pengorbanan terhadap sifat ananiyah (tercela) dalam diri manusia, Seperti hawa nafsu amarah, intoleran, korupsi, dan egoisme yang mampu mengendalikan anak manusia dengan mendatangkan kesengsaraan pihak lain.

Perwujudan dan realisasi kesalihan sosial dan tanggungjawab kemanusiaan jelas amat mendesak di negeri ini. Menurut data Badan Pusat Satistik (BPS) 2022 terdapat 26,3 juta masyarakat Indonesia hidup bawah garis kemiskinan yang berpengahasilan 20.000 per hari, sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan fundamental secara baik, sehat dan pantas. Fenomena kemiskinan di Indonesia salah satu penyebabnya selama ini, para koruptor kebanyakan dari kalangan terpelajar. Mereka adalah orang-orang yang telah terdidik dalam pendidikan formal hingga level perguruan tinggi.

Komunikasi Kemanusiaan

Dalam perspekstif komunikasi transendental, kurban itu merupakan ritualitas simbolik yang sarat tinggi maknanya. Menurut Nina Winangsih Syam, dalam bukunya Komunikasi Transendental Perspektif Sain Terpadu (2015), menjelaskan komunikasi transendental adalah analisis konsep pemahaman makna atau simbolik yang terkandung dalam firman Allah Swt. Menyangkut dengan itu, persembahan hewan kurban umat Islam tidak hanya dituntut untuk dapat membangun sikap dan perilaku keberagaman konstruktif, tetapi juga simbol signifikan kian kuat solidaritas atau kesetiakawanan, sehingga mempunyai kohesi dan ketahanan sosial yang lebih tepat lagi kokoh.

Berkurban dengan hewan sembelihan juga mengandung pesan kasih dan cinta kemanusiaan, sekaligus meraih ridha Allah Swt. Pelaku kurban mempunyai kesadaran yang kokoh untuk membangun kohesi sosial. Dengan bahasa lain, sembelihan hewan kurban itu adalah amal kemanusiaan yang menghasilkan peneguhan kohesi sosial dan moderasi dalam beragama.

Dalam penghayatan pesan dan nilai kemanusiaan secara universal, Rasulullah Saw berkhutbah pada haji perpisahan. Saat itu, Rasulullah menyampaikan betapa pentingnya nilai keadilan, kesetaraan, dan keharusan melindungi kesucian hidup, harta, dan kemuliaan orang lain, serta tidak diperbolehkan untuk melakukan penindasaan kepada manusia.

Dengan demikian, ibadah kurban yang diamalkan umat manusia mengisyarakatkan tentang keteladanan Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad Saw dalam menghapuskan peristiwa kelam antar sesama anak manusia seperti intimidasi, tindakan kriminalisasi, permusuhan, dan beragam perilaku tidak manusiawi. Sebab yang pantas dikorbankan adalah hewan sembelihan, bukan anak manusia dan membunuh nilai kemanusiaan.

AlmuzanniPenulis merupakan Alumnus Pascasarjana UIN Ar Raniry, Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam.

Artikel SebelumnyaDinas PK Lhokseumawe Berikan Uang Pembinaan Kepada Siswa Berprestasi
Artikel SelanjutnyaWarga Rawa Sakti Gelar Pawai Takbir Keliling
Redaksi
Komparatif.ID adalah situs berita yang menyajikan konten berkualitas sebagai inspirasi bagi kaum milenial Indonesia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here