Ketika bicara Bireuen dan sejarah perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, mau tidak mau nama Kolonel Husein Yusuf wajib disebutkan. Mantan wartawan pewarta Deli tersebut punya peran sangat besar untuk mempertahankan negara Indonesia; yang saat ini masih berupa bayi yang kekurangan susu karena walinya miskin sakit-sakitan.
Husein Yusuf, seorang keturunan ulebalang yang tidak lagi memakai embel teuku, merupakan pria kelahiran Blang Blahdeh, Bireuen, pada 1912 dari pasangan Teungku Jusuf Kaja dan Siti Aisjah. Ia lahir ketika Aceh sudah dikuasai oleh Belanda, dan Serambi Mekkah telah sepenuhnya berada di bawah sistem Pemerintahan Hindia Belanda yang berpusat di Batavia.
Sebagai anak dari keluarga kelas menengah, Husein Yusuf mendapatkan pendidikan yang layak. Sebagai orang Bireuen yang dikenal religius nasionalis—istilah ini berkembang kemudian—orangtua Husein Yusuf mengantar puteranya ke sekolah agama Islam.
Pada usia yang ke-12 tahun, ia didaftarkan pada Sekolah Desa (Volkschool). Untuk jenjang selanjutnya beberapa sumber menuliskan bahwa ia menempuh Pendidikan di Governement Inlandsche School—disebut oleh Inawati, Inawati; AW, Zainal Abidin; Sufi, Rusdi (2016). “Peran Husein Yusuf Dalam Memperjuangkan Aceh Masa Revolusi Kemerdekaan Tahun 1945-1949”. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah, sebagai Sekolah Pemerintahan, dan kemudian melanjutkan ke Leergang (sekolah guru).
Saya tidak menemukan Governement Inlandsche School sebagai sekolah pemerintahan di masa Hindia Belanda. Bila Leergang—tepatnya Amachts leergang—merupakan sekolah pertukangan. Sedangkan sekolah guru masa Hindia Belanda disebut kweekschool.
Berhasilnya pendidikan Teuku Husein Jusuf pada sekolah umum, merupakan dampak dari pemberlakuan Politik Etis (Ethische Politiek) yang dimulai tahun 1901. Politik balas jasa Pemerintah Kolonial Belanda lahir setelah terbitnya novel Max Havelaar pada tahun 1860, ditulis oleh Multatuli, nama pena dari Edward Douwes Dekker;seorang Asisten Residen Lebak, yang jujur dan sangat peduli pada penderitaan rakyat di Jawa kala itu.
Setelah menamatkan pendidikan guru, Husein Yusuf kembali ke Bireuen dan mengajar di Bugak—sebuah daerah penting di pesisir Peusangan, yang kini masuk wilayah Kecamatan Jangka. Di sana ia mengajar dari 1932 sampai 1935. Ia sempat pula mengajar di Cot Badak–belum diketahui yang dimaksud Cot Badak adalah Cot Badeuk Sawang, atau Cot Bada Peusangan; masih membutuhkan penelusuran lebih lanjut.
Dua tahun kemudian, dia bersama dengan istri bernama Umi Salamah pindah ke Bireuen dan menjadi guru di Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Sembari mengajar, Husein Yusuf juga menjadi wartawan pada koran Pewarta Deli; sebuah koran antikolonial yang terbit pertama kali pada tahun 1910 di Medan.
Karena latar belakang sebagai koran yang membela bumiputera, membuat Husein Yusuf leluasa menyuarakan ketimpangan dan antikolonial, serta mengampanyekan pentingnya pendidikan di kalangan penduduk pribumi, yang pada masa itu untuk seluruh Nusantara baru 10 persen yang terbebas buta huruf—kalau di Aceh mayoritas manusianya buta huruf latin tapi mampu membaca dan menulis menggunakan aksara Jawi.
Kehidupannya berubah ketika Jepang masuk ke Bireuen. Saudara Tua tersebut masuk ke Bireuen melalui Pantai Pandrah; kehadiran mereka ke Aceh dipermudah oleh undangan dari Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang dipimpin oleh Teungku Daoed Bereueh. Di Bireuen sendiri, PUSA cukup berpengaruh, konon lagi lembaga itu lahir di Jamiatul Almuslim, di Matangglumpangdua, Peusangan.
Husein hijrah ke Kutaraja, menjadi penyiar Kantor Berita Su Hodoka. Tidak lama kemudian, pada tahun 1943 dia bergabung dalam latihan militer Giyugun. Setelah lulus dia diberikan pangkat letnan. Kemudian dalam pelaksanaan tugas, Husein sempat diberikan posisi sebagai mandor di Lapangan Udara (perintis) Blang Mane—kemungkinan Lanud Blang Teupin Mane, Juli. Husein juga merangkap Sekretaris PUSA.
Pada 1945, ia bergabung dengan Angkatan Pemuda Indonesia (API). Di sana dia diberi jabatan sebagai sekretaris, memimpin organisasi perlawanan bersenjata itu bersama Syamaun Gaharu.
Pada tanggal 1 Desember 1945, API bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat dan Husein Yusuf diangkat menjadi Ajudan Staf Umum Divisi V Tentara Republik Indonesia. Selang beberapa waktu, terjadi perombakan dalam Divisi V dan pada tanggal 12 Maret 1946, Husein Yusuf menjabat sebagai Komandan Divisi V Komandemen Sumatra yang sebelumnya dijabat oleh Sjamaun Gaharu. Pemilihan Husein Yusuf dipertimbangkan atas beberapa faktor yaitu pengalamanya di Giyugun dan sikap anti feodalismenya.
Selama menjabat sebagai Komandan Divisi V, Kolonel Husein Yusuf memindahkan markasnya dari Banda Aceh ke Bireuen dikarenakan Bireuen dikelilingi oleh bukit-bukit yang cocok untuk perang gerilya sehingga letaknya aman apabila Belanda ingin melancarkan agresinya.
Kolonel Husein Yusuf juga memerintahkan untuk memperbaiki kapal-kapal Belanda yang telah rusak dan mendirikan Sekolah Komando Militer Akademi di Bireuen untuk mendidik calon perwira dan kader-kader Tentara Republik Indonesia. Menurut sebuah catatan, Wakil Panglima ABRI dan Pangkopkamtip Laksamana Sudomo pernah belajar di sana.
Pada bulan Februari 1947, Divisi V Komandemen Sumatra berubah namanya menjadi Divisi Gajah I dan Divisi Gajah II. Kolonel Husein Yusuf menjadi komandan Divisi Gajah I. Kemudian Divisi Gajah I dan Divisi Gajah II digabung menjadi Divisi X TRI Komandemen Sumatra dan Kolonel Husein Yusuf menjabat sebagai komandannya.
Selama menjabat sebagai Divisi X, Kolonel Husein Yusuf terlibat dalam Bireuen Agreement yang mana dari perjanjian tersebut menghasilkan keputusan untuk memenangkan front pertempuran Medan Area dan menggulingkan Pemerintahan Sumatra Timur bentukan Belanda.
Kecemerlangan lainnya dari Kolonel Husein Yusuf yaitu menerbitkan kebijakan pembelian pemancar radio pada 2 Juli 1947 untuk mendukung kampanye kemerdekaan yang telah diproklamirkan di Jakarta pada 17 Agustus 1945.
Radio tersebut diselundupkan ke Aceh oleh Mayor Laut Jhon Lie, seorang Tionghoa beragama Katolik, raja penyelundupan di Asia Tenggara. Radio tersebut sangat berjasa dalam mengabarkan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada dan telah merdeka. Keberadaan radio tersebut membuat Belanda gagal meyakinkan dunia internasional bahwa Indonesia telah jatuh seutuhnya.
Kolonel Husein Yusuf Tak Tergiur Menjadi Jenderal
Bila Anda pernah menonton sinema Jenderal Nagabonar yang diperankan oleh Dedy Mizwar, Anda tentu melihat suasana yang digambarkan di dalam film itu. Betapa para bandit dan gerilyawan bersenjata ikut berjuang bersama tentara Republik di front depan. Pimpinan kelompok bandit dan gerilyawan gemar memasang pangkat dan jabatan suka-suka hati. Di dalam sinema itu, Nagabonar sendiri menjadi jenderal;meskipun buta huruf.
Kolonel Husein Yusuf, berperilaku sebaliknya. Ia lazimnya orang Aceh di masa itu, yang tidak suka jabatan dan pangkat besar. Hal paling penting dapat bertindak besar untuk perjuangan kemerdekaan.
Meskipun memimpin organisasi besar militer, pangkatnya tetap kolonel. Apa yang dilakukan oleh Kolonel Husein Yusuf, mengingatkan saya kepada sifat Letnan II Boediman Daoed, yang menjadi Panglima Tentara di Sigli. Setelah setengah abad menjadi tentara pangkatnya hanya mencapai Letnan Kolonel. Padahal dia merupakan lulusan cemerlang di Seskoad Cimahi, dan diberi kepercayaan oleh Suharto sebagai Komandan Logistik Operasi Militer Mandala saat merebut Irian Jaya (Papua).
Terakhir Letnan Kolonel Boediman Daoed mendapatkan bintang jasa Mahaputra Adipradana. Tentang Letkol Boediman Daoed diceritakan sepintas di dalam buku The Long Road to Helsinki; Aceh Dalam Perang dan Damai, yang ditulis oleh M. Nur Djuli, dan diterbitkan oleh CV Kawat Publishing.
Kolonel Husein Yusuf Dicurangi Pusat, Dipecat oleh Alex Kawilarang
Sejarah mencatat peran besar Kolonel Husein Yusuf dalam Perang Medan Area yang berlangsung sejak Oktober 1945 sampai April 1946.
Tapi apa yang ia terima? Pusat mengkhianatinya. Dalam banyak narasi, peran besarnya jarang disebut. Yang diagung-agungkan justru Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Divisi Bukit Barisan yang saat itu merupakan bawahan Husein Yusuf.
Di kemudian hari, ketika Provinsi Aceh dibubarkan dan dileburkan ke dalam Sumatera Utara. Divisi X Gajah Putih Komandemen Sumatera, diciutkan fungsinya ke dalam KO TT-I/SU Nomor: 247/V/ORG/1951, selanjutnya tanggal 21 Juni 1951 KO TT-I/SU berubah menjadi KO TT-I/Bukit Barisan (KO TT-I/BB), sedangkan wilayahnya sama dengan KO TT-I/SU.
KO TT-I/BB membawahi 4 Resimen Infanteri, yaitu: Resimen Infanteri 1 di Aceh, Resimen Infanteri 2 di Sumatera Timur, Resimen Infanteri 3 di Tapanuli dan
Resimen Infanteri 4 di Sumbar-Riau.
Pemerintah Pusat menetapkan Kolonel Inf Alexander Evert Kawilarang sebagai Panglima TT-I/Bukit Barisan. Sedangkan Kolonel Husein Yusuf ditempatkan sebagai Panglima Resimen Infanteri 1 di Aceh.
Pengalaman paling pahit lainnya, Ketika Kolonel Alex Kawilarang berkunjung ke Kutaraja pada 1949, menemukan Husein Yusuf sedang pulang ke kampung halamannya. Geram atas tindakannya, dalam selembar kertas Alex memecat Husein Yusuf. Setelah itu, Husein Yusuf tidak pernah lagi terlibat dalam dinas militer.
Kegeraman Alex Kiranya tidak pantas. Tapi perwira eks KNIL (serdadu pribumi didikan Belanda) itu terlalu mengangung-agungkan dirinya sebagai Panglima. Mengabaikan jasa besar Husein Yusuf sebagai pejuang yang telah membela Indonesia sebelum proklamasi 17 Agustus 1945.
Beberapa sumber juga menerangkan bila persaingan antar bangsa –sekarang disebut suku—di Indonesia kala itu cukup kental di posisi-posisi penting. Pun demikian, Alex Kawilarang di kemudian hari turut berseberangan dengan Pemerintah Pusat. Ia memberontak bersama Ventje Sumual melalui organ perlawanan bernama Permesta yang berpusat di Manado dan Minahasa.
Kolonel Husein Yusuf Bergabung Dengan DI/TII
Ketika Daoed Beureueh yang juga dilucuti jabatannya oleh Pemerintah Pusat, memproklamirkan DI/TII di Aceh; Husein Yusuf ikut ambil bagian. Mereka yang sudah kenal cukup lama, bertemu dalam satu tujuan; melawan kesewenang-wenanganya Pemerintah Pusat yang menurut mereka dan umumnya orang Aceh sebagai pengkhianat dan memusuhi Islam.
Dalam salah satu suratnya kepada Gubernur Muda Sumatera Utara Mr. S.M Amin (Sutan Muhammad Amin Nasution) alias Krueng Raba, Husein Yusuf pernah menyinggung tentang perlakuan teramat menyakitkan yang dilakukan oleh Alex Kawilarang terhadap dirinya.
Penutup
Setelah perlawanan DI/TII Aceh berakhir dengan turun gunungnya Teungku Daoed Bereueh, Kolonel Husein Yusuf juga kembali ke pangkuan Indonesia dan balik ke aktivitas awal yaitu wartawan. Ia kemudian mendirikan Surat Kabar Aceh Pos.
Husein Jusuf meninggal dunia pada 8 Januari 1978, dan dimakamkan di Geulumpang Payong, Bireuen.
Meskipun Bireuen merupakan wilayah penting pada masa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, hingga saat ini belum ada Taman makam Pahlawan di Kabupaten Bireuen. Situs-situs yang menjadi palagan pun tidak dibangun sebagai bukti peran besar pejuang Bireuen di masa lalu.
Bireuen hanya diberikan kehormatan dengan gelar Kota Juang oleh Bustanil Arifin pada 1987. Selebihnya, catatan sejarah tercecer di tiap ingatan manusianya, selanjutnya hilang seiring dengan meninggalnya satu persatu pelaku dan saksi dalam rentang panjang masa revolusi kemerdekaan RI.
Orang Bireuen juga dibius dengan haba jambo jaga, bila pernah menjadi ibukota ketiga untuk Republik Indonesia. Saya pernah mencoba menelusurinya, tapi belum menemukan satu lembar dokumen pun terkait penetapan itu. Bahkan peristiwa yang diajukan sebagai alasan Bireuen menjadi ibukota RI, juga terjadi beberapa bulan setelah Soekarno kembali ke Yogyakarta.
Kolonel Husein Yusuf merupakan satu di antara banyak sosok penting di Bireuen yang terlibat dalam perang mempertahankan Indonesia. Ada Barisan Rakyat Kampung Juli yang dipimpin Keuchik Ibrahim, Barisan rakyat Geulanggang Labu di bawah pimpinan Utoh Husin/AR Mahmudi, Barisan Rakyat Jeunib yang dipimpin Peutua M. Ali, dan barisan-barisan rakyat lainnya.
Andaikan Kolonel Husein Yusuf dari bangsa Jawa, mungkin telah lama ia menjadi pahlawan. Sayangnya ia merupakan minoritas dua lapis; Aceh, dan pernah memberontak!
Catatan redaksi: Disadur dari berbagai buku, artikel pendek, cerita mulut ke mulut yang sudah mengalami proses penyaringan.