Komparatif.ID, Banda Aceh—Rumoh Geudong yang menjadi salah satu tempat penyiksaan warga Aceh di masa pemberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) sepanjang 1989-1998, jangan lagi tersapu. Situs tersebut harus dirawat sebagai penanda bahwa pernah ada peristiwa penuh kekejian di sana di masa lampau.
Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh Teungku Masthur Yahya, S.H.,M.Hum, kepada Komparatif.ID, Sabtu (24/6/2023) mengatakan bekas tapak Rumoh Geudong harus tetap dapat dikenali sebagai memorial, meskipun yang tersisa hanya sedikit.
Oleh karena itu dalam merencanakan pembangunan di atas bekas salah satu tempat penyiksaan paling brutal di Aceh, haruslah hasil kesepakatan antara pemerintah, korban, dan ahli waris korban serta masyarakat setempat, dan melibatkan elemen sipil penggiat HAM di tingkat lokal dan nasional.
Baca: KPA Imbau Sebaiknya Tak Bangun Masjid di Bekas Rumoh Geudong
Mengapa demikian? Karena pelanggaran HAM berat merupakan sebuah kejahatan yang telah terjadi di Aceh, bukan lagi persoalan lokal, tapi telah menjadi perkara umat manusia.
Jauh sebelum pemerintah mengakui bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat di sana, elemen sipil telah bekerja keras melakukan advokasi, memulihkan trauma korban, memberikan bantuan ekonomi, dan hal-hal lainnya.
“Jadi tidak boleh serta merta diubah. Mendirikan bangunan baru di atas bekas situs Rumoh Geudong, karena lokasi tersebut merupakan objek bersejarah bagi bangsa ini,” sebut Masthur Yahya.
Rumoh Geudong telah bertransformasi dari sebuah bekas penyiksaan terhadap warga sipil oleh tentara di masa konflik, menjadi sebuah memorialisasi, yang bertujuan bukan untuk menumbuhkan dendam. Tapi sebagai muhasabah muslim atas peristiwa kelam yang pernah menimpa mereka.
Menurut Masthur Yahya, Aceh butuh titik simbol sebagai tanda pengingat bersama supaya di masa depan tindakan-tindakan di luar peri kemanusiaan, tidak lagi berulang.
“Butuh monument sebagai titik simbol. Sebuah penanda secara terang benderang bahwa di situ pernah terjadi angkara murka yang tak patut lagi diulang. Tak perlu ditiru dan harus dihindari untuk diulangi,” sebut Masthur.
Oleh karena itu, Pemerintah akan dianggap tidak arif bila menghilangkan titik simbol, menggantikannya dengan bangunan baru yang kelak akan menghilangkan pengetahuan tentang tragedi Rumoh Geudong.
“Apalagi dari tahun ke tahun selama ini di lokasi rumoh geudong sudah berkali-kali diadakan berbagai acara peringatan, kenduri, doa bersama, oleh komunitas korban untuk mengenang keluarganya (korban), pegiat HAM ditingkat lokal maupun nasional juga beberapa kali pernah memfasilitasi komunitas korban untuk acara doa bersama, pemberdayaan atau pemulihan korban yang juga turut dihadiri oleh lembaga negara seperti Komnas HAM maupun unsur pemerintah setempat.
Dengan demikian maka lokasi penyiksaan dan pembantaian tersebut sudah bisa dianggap sebagai situs atas bukti kejadian masa lalu. Memorialisasi tidak bermakna sebagai stigma negatif atau keberulangan tuduh menuduh atas kejadian masa lalu, bukan untuk menyudutkan pihak tertentu di masa kini, tetapi sebagai pelajaran batin, sebagai nasihat kolektif para pihak yang terlibat dalam konflik masa lalu, terlebih penting lagi adalah memorialisasi sebagai “pelajaran sejarah” bagi generasi Aceh,” sebutnya.
Beri Apresisasi
KKR Aceh memberikan apresiasi kepada Presiden RI Joko Widodo yang telah mengakui tiga pelanggaran HAM berat di Aceh. termasuk tindak lanjut pemulihan korban yang sedang dilakukan oleh tim dari lintas kementerian.
Secara kelembagaan KKR Aceh juga telah membantu akses informasi yang dibutuhkan oleh tim PPHAM/PKPHAM terkait korban yang pernah terdata oleh KKR Aceh.
“KKR Aceh memberikan apresiasi atas pengakuan dan penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat ini melalui jalur non yudisial. Ini sebuah capaian yang bagus.
Bangun Masjid di Tapak Rumoh Geudong
Presiden Indonesia Joko Widodo akan bertandang ke Gampong Bili Aron, Mukim Aron, Kecamatan Geumlumpang Tiga, Pidie, pada 27 Juni 2023. Ia akan melakukan kick off penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi.
Kik off dilakukan berdasarkan hasil rekomendasi Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu (PPHAM).
Salah satu rencana, di bekas pertapakan Rumoh Geudong akan dibangun masjid megah oleh Presiden. Beberapa hari lalu, Pemkab Pidie sudah melakukan pembersihan di lokasi. Yang disisakan hanya sebuah tangga beton yang dulunya berada di pintu utama rumah tempat penyiksaan rakyat Aceh yang dituduh sebagai pendukung Gerakan Aceh Merdeka.