Komparatif.ID, Banda Aceh—Ketua DPRA Saiful Bahri (Pon Yahya) menyebutkan sebagai daerah yang berlaku aturan lex spesialis, seharusnya perlakuan Pemerintah Pusat terhadap Serambi Mekkah dilakukan secara berbeda. Lebih diutamakan dan tidak disamaratakan dengan provinsi lain.
Pernyataan itu disampaikan oleh Ketua DPRA Saiful Bahri, ketika memimpin Rapat Koordinasi Pengendalian dan Pendistribusian BBM di Aceh, Kamis (5/1/2023). Pernyataan tentang lex spesialis keluar dari kalam Pon Yahya, setelah mendengar penjelasan Kepala Seksi Pembinaan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh Ir Eulis Yesika.
Ir. Eulis Yesika menjelaskan, terbitnya SE Nomor 542/21981 tentang Pengendalian Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu Solar Subsidi (Bio Solar) di Wilayah Aceh, bersandar pada Perpres 121 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Perpres ini sudah berlaku sejak Februari 2020.
Baca juga: Ketua DPRA Kritik SE Pj Gubernur Pembatasan Solar Subsidi
Ir. Eulis juga menjelaskan, antrean panjang di SPBU di Aceh, juga disebabkan oleh disparitas harga BBM subsidi dan BBM industri yang sangat besar. Sehingga pengguna kendaraan bermotor roda empat ke atas, bermigrasi ke BBM subsidi yang harganya dianggap masih terjangkau.
Mendapatkan jawaban seperti itu, Saiful Bahri justru “naik strum”. Ketua DPRA yang juga eks kombatan Teuntra Neugara Aceh (TNA) tersebut menyebutkan Aceh bukan daerah yang biasa saja. Serambi Mekkah merupakan daerah khusus. Punya undang-undang khusus. Seharusnya Pemerintah Pusat memperlakukan Aceh sebagai daerah lex spesialis.
Mendapat jawaban seperti itu, Saiful Bahri menekankan seharusnya daerah Aceh memiliki lex specialis dalam hal pengaturan minyak bumi dan gas. Sehingga, kata dia, tidak seluruhnya kebijakan yang berlaku nasional juga dapat diterapkan di Aceh. “Kita di Aceh ada lex specialis, jadi seharusnya semua bisa kita atur sendiri dengan musyawarah mufakat dengan Pemerintah Aceh,” tutur Saiful Bahri.
Penerbitan peraturan tanpa memperhatikan kekhususan Aceh; lex spesialis, justru menyebabkan kepincangan dalam sistem pemerintahan. Tindakan PJ Gubernur Aceh yang menerbitkan SE tanpa berkonsultasi dengan DPRA, telah menyebabkan tidak terjadinya penghargaan terhadap kekhususan Aceh.
Efek lainnya, DPRA menjadi sasaran protes masyarakat, karena dianggap membiarkan saja SE tersebut diterbitkan oleh Pemerintah Aceh. “Padahal kami takt ahu. Tak pernah diajak mendiskusikannya. Tahu-tahu sudah beredar,” kata Saiful Bahri.
“Rakyat mengadunya ke kami (setiap lahirnya kebijakan yang tidak pro rakyat). Inilah alasan kami memanggil bapak-bapak dan ibu kemari untuk mencari jalan keluar. Jadi tidak semua perintah dari Pemerintah Pusat harus kita ikuti, karena hadirnya negara memang untuk rakyat, kalau untuk menyengsarakan rakyat jadi untuk apa juga negara,” tegas Saiful Bahri.
Saiful Bahri mengatakan, sebagai utusan Pemerintah Pusat, Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki seharusnya tidak sekadar mengejar apresiasi Pusat dalam mengurus Aceh. Tapi juga memperhatikan keluh kesah rakyat di Serambi Mekkah. Caranya? Dengan memanfaatkan celah kekhususan yang melahirkan ruang lex spesialis.
Penghargaan terhadap Aceh perlu dilakukan; memperjuangkan kekhususan Aceh penting dilaksanakan.
Sementara itu, Asisten II Sekretariat Aceh Marwadi menyebutkan penerbitan SE terkait pengendalian pengisian solar subsidi sudah sangat tepat. Karena selama ini banyak pihak yang memanfaatkan keadaan, untuk menimbun BBM subsidi untuk kepentingan mencari untung besar.
Mobil-mobil yang mereka gunakan wara-wiri hingga empat kali dalam satu hari pada satu SPBU. Dengan leluasa mereka menangguk BBM subsidi dan kemudian dibawa ke tempat tertentu, untuk dijual kembali.