Pascamerdeka, Aceh masih melalui dua konflik yaitu DI/TII 1953-1959 dan GAM 1976-2005 dengan pemerintah pusat. Lalu sejak konflik usai, sudah sudah tiga pemilu terlewat, namun timbul pertanyaan, kenapa pemilih Aceh seringkali memilih kandidat atau partai nasional (parnas) oposon yang diprediksi kalah?
Meski umur perdamaian RI dan GAM sudah mencapai 18 tahun, namun mindset “perang” yang juga dipengaruhi ideologi sayap kanan yang hanya memiliki porsi suara dan peran yang kecil di pemerintahan pusat dan karena hal tersebut sering mengambil langkah oposisi. Alam bawah sadar pemilih di Aceh akan selalu menganggap lawan dari pemerintah adalah sekutu politik dalam “perang” melawan pusat.
Mindset “perang” tersebut kini bertransformasi kepada perang kotak suara. Dalam perang, kampanye dan pencoblosan kotak suara hanya dianggap sebagai bagian dari pertempuran sehingga menang dan kalah adalah hal biasa. Dalam istilah lokal keseharian “apa takut, mati tanam.”
Padahal, sikap politik umum daerah dalam sebuah pemilu akan sangat berpengaruh pada kebijakan pemerintah pusat yang tentunya akan dipimpin dan dikuasai kandidat dan partai pemenang.
Dampaknya tentu akan terasa pada pembagian kue pembangunan. Pemerintahan manapun yang berkuasa tentu akan memberi prioritas pada daerah yang memberi kontribusi suara signifikan pada saat pemilu.
Kita bisa lihat sendiri bagaimana Pemerintahan Presiden Joko Widodo di masa-masa akhir pemerintahannya, memutuskan untuk tidak melanjutkan pembangunan jalan tol Sibanceh untuk menyambung Banda Aceh dengan Lhokseumawe, dan Lhokseumawe dengan Langsa. Juga penghapusan beberapa Proyek Strategis Nasional di Aceh dan porsi alokasi dana PON Aceh-Sumut 2024 yang dibebankan pada APBA.
Baca juga: Hilangnya Tol Aceh dan Ademnya Publik.
Terlalu naif mengatakan bahwa itu alasan keterbatasan dana. Bahwa jika pun benar ada masalah tersebut, keputusannya tetap pertimbangan politik. Yaitu hasil survey di Aceh belum menunjukkan bahwa rakyat Aceh memberi apresiasi yang cukup kepada pemerintahan Jokowi, dengan persentase angka survey yang tinggi pada lawan Jokowi yaitu Anies Baswedan.
Yang diprediksi secara hitungan riil hanya akan memperoleh suara solid sebesar 18-20 persen suara nasional, dan mayoritas itu bersumber dari suara solid parpol, ormas dan konstituen sayap kanan nasional.
Sampai kapan ini terus terjadi? Kita tak pernah tahu. Kita hanya berharap damai itu bukan cuma secara fisik dan hati, tapi juga damai pada logika politik elektoral dalam menghadapi politik dan pilpres nasional 2024.
Sebaiknya ada upaya dari para pimpinan dan elit politik di Aceh harus mulai mendidik masyarakat agar mulai memahami arah politik nasional dan menerimanya sebagai realita hidup berbangsa dan bernegara demi kemaslahatan rakyat Aceh dalam konteks pembangunan dan pemerataan keadilan.
Hal ini penting agar 3.7 juta suara pemilih Aceh ini dapat menjadi “modal” yang efektif dan efisien bagi aspirasi pembangunan dan kepentingan Aceh di masa depan, apabila “diinvestasikan” pada kandidat capres dan partai yang potensial memenangkan Pilpres dan Pileg 2024.