Mahar atau mas kawin adalah bagian penting dalam pernikahan menurut ajaran Islam. Dalam pernikahan, mahar sering kali dianggap sebagai bentuk penghargaan yang istimewa dan bukti keseriusan seorang laki-laki terhadap calon istrinya. Di Indonesia, khususnya di Aceh, mas kawin memiliki peran yang cukup kuat karena tidak hanya terkait agama, tapi juga menyatu dalam tradisi masyarakat.
Namun, nyatanya di lapangan menunjukkan bahwa praktik mas kawin –yang tinggi– tidak selalu berjalan ideal. Ada pandangan yang mendukung, ada juga yang merasa terbebani. Di sini saya akan membahas bagaimana Islam memandang mahar sejak masa Rasulullah SAW, bagaimana tradisi, latar belakang dan budaya mahar dijalankan di Aceh, serta berbagai pandangan pro dan kontra yang berkembang di masyarakat.
Baca: Menikah Menggunakan Mas Kawin Utang, Bolehkah?
Pada masa Rasulullah SAW, mahar dipandang sebagai syarat sah pernikahan dan bentuk tanggung jawab suami kepada istri. Islam tidak pernah membatasi besar kecilnya mas kawin, selama tidak memberatkan pihak laki-laki. Bahkan, Rasulullah pernah menikahkan sahabatnya hanya dengan mahar berupa hafalan Alquran.
Hal ini berarti bahwa yang terpenting bukan jumlah jeulame-nya, tapi makna dan kesungguhan dari pemberian mahar itu. Menurut Khairuddin (2022), jeulame dalam Islam punya posisi yang penting karena menunjukkan nilai keistimewaan dan penghargaan kepada perempuan.
Leo Perkasa Maki (2022) juga menjelaskan bahwa mas kawin bukan sekadar formalitas, tapi punya makna batin yang memperkuat ikatan pernikahan. “Rasulullah SAW pernah mengatakan, “Sebaik-baik wanita ialah yang paling murah maharnya.”, (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Hakim & Baihaqi).
Hadis tersebut juga menekankan pentingnya mahar yang ringan. Jadi, sejak awal, Islam menempatkan mahar sebagai simbol tanggung jawab, bukan beban.
Di Aceh, mahar berupa emas –logam mulia- yang dihitung per may’am. May’am yaitu satuan emas sekitar 3 gram. Tradisi ini sudah turun-temurun dan sering dijadikan ukuran status tolok ukur seseorang laki laki dan tolak ukur dari segi sosial. Dalam adat Aceh, penentuan jeulame tidak hanya berdasarkan faktor ekonomi, tetapi juga memperhatikan aspek-aspek lain seperti:latar belakang keluarga wanita,keistimewaan budi pekerti dan fisik wanita,tingkat pendidikan wanita, status sosial dan pekerjaan wanita. Semakin tinggi pendidikan atau kecantikan perempuan, biasanya semakin tinggi pula jumlah may’am yang diminta.
Menurut Bahraen (2022), budaya ini sudah sangat kuat dan menjadi bagian dari adat pernikahan Aceh. Tapi di sisi lain, ada dampak negatifnya. Banyak laki-laki yang akhirnya menunda menikah karena tidak sanggup memenuhi jeulame yang terlalu tinggi. Ikhsan Abdullah (2022) dalam penelitiannya di Aceh Pidie juga menemukan hal serupa. Ia menyebut bahwa tuntutan mahar yang tinggi sering menjadi alasan mengapa banyak pria Aceh memilih menikah di luar daerah. Ini menunjukkan bahwa antara nilai budaya dan kemampuan ekonomi kadang belum seimbang.
Bagi sebagian orang, mas kawin adalah hal yang penting dan wajib dipertahankan. Alasan pertama, mahar menunjukkan keseriusan dan niat baik laki-laki terhadap pernikahan. Ketika seorang pria bersedia memberikan jeulame, itu menunjukkan bahwa ia sudah siap mental dan finansial. Menurut Khairuddin (2022), mas kawin adalah simbol komitmen dalam membangun rumah tangga. Alasan kedua, mahar bisa menjadi bentuk perlindungan finansial bagi perempuan. Dalam kondisi tertentu, jika pernikahan tidak berjalan lancar atau sedang diterpa masalah keuangan, mahar bisa membantu istri secara ekonomi. Leo Perkasa Maki (2022) menyebut mahar sebagai salah satu hak istri yang harus dipenuhi, dan hal ini bisa memperkuat posisi perempuan dalam rumah tangga. Jadi, secara ideal, mas kawin adalah bentuk penghormatan, bukan transaksi.
Di sisi lain, ada juga yang mengkritik praktik mas kawin, terutama ketika nilainya terlalu tinggi dan tidak seimbang. Alasan pertama, tingginya mas kawin bisa jadi penghambat pernikahan. Banyak laki-laki yang merasa tidak mampu memenuhi permintaan tersebut, apalagi jika disesuaikan dengan standar sosial yang tinggi. Bahraen (2022) menulis bahwa di Aceh Tamiang, kondisi ini menyebabkan banyak laki-laki menunda pernikahan atau bahkan menghindari menikah. Alasan kedua, praktik mas kawin yang berlebihan bisa mengubah makna pernikahan dari ibadah menjadi urusan materi.
Mutawali dan Murtadha (2020) menyoroti bahwa ketika mahar terlalu ditonjolkan, pernikahan bisa kehilangan nilai spiritualnya dan menjadi ajang “jual beli” atau juga ajang pamer ke tetangga atau saudara-saudara yang bahwasanya dia di pinang dengan harga mayam yang tinggi. Jadi, meskipun mahar itu wajib, tetapi harus tetap rasional dan tidak memberatkan.
Menurut Raffi (2025), tradisi mas kawin di Aceh merupakan bagian dari identitas lokal yang mempererat hubungan keluarga dan masyarakat. Alasan kedua, masyarakat Aceh kini mulai lebih fleksibel dalam menentukan bentuk dan nilai jeulame. Tidak selalu harus emas, bisa juga berupa hafalan Alquran, seperangkat alat salat, atau bentuk lain yang sesuai dengan nilai Islam. Dengan pendekatan ini, al-mahr tetap bisa dipertahankan tanpa menjadi beban bagi calon pengantin.[]
Teuku Kevin, Mahasiswa, Prodi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Pemerintahan, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, Indonesia












