KBA: Damai Aceh Harus Jadi Kesadaran Kolektif

KBA: Damai Aceh Harus Jadi Kesadaran Kolektif
Prof. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (KBA) pada bedah buku 2 Dekade Damai Aceh di Aula Teater Museum UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Kamis (26/6/2025). Foto: Komparatif.ID/Fuad Saputra.

Komparatif.ID, Banda Aceh— Dua dekade perdamaian Aceh tidak hanya cukup dimaknai sebagai data atau catatan sejarah saja, tetapi juga perlu dimaknai sebagai kesadaran kolektif. Damai bukan sekadar terminologi politik atau akademik, tetapi juga produk kesadaran.

Hal itu disampaikan Prof. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (KBA) pada bedah buku 2 Dekade Damai Aceh yang ditulis oleh Iskandar Norman dengan editor Teuku Murdani di UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, pada Kamis (26/6/2026).

Ia menyebutkan kajian tentang konflik dan perdamaian di Aceh menjadi sumber pengetahuan yang sangat kaya, bahkan menjadi rujukan bagi wilayah-wilayah konflik lain di Asia Tenggara seperti Pattani di Thailand dan Mindanao di Filipina. 

Aceh, menurutnya, telah menjelma menjadi laboratorium sosial bagi studi resolusi konflik dan pembangunan pascaperdamaian. “Produksi peace conflict resolution di Aceh, yang awalnya itu merupakan segudang data, kemudian berubah menjadi from data to knowledge,” ungkap KBA.

Namun, Prof. KBA menekankan transformasi dari data ke pengetahuan tidak cukup. Peace, katanya, harus menjadi produk kesadaran. “The more you give meaning, the more it affects on our soul,” ujarnya.

Baca jugaMenyusuri Jejak Konflik Aceh: Dari DOM ke Meja Perdamaian

Dalam penjelasannya, Prof KBA mengungkapkan awalnya, data tentang perdamaian Aceh hanya dilihat sebagai informasi mentah. Namun seiring waktu, data tersebut berubah menjadi pengetahuan, lalu berkembang menjadi diskursus.

Menurutnya, damai Aceh bukan hanya objek studi, tetapi telah menjadi acuan dan sumber inspirasi dalam berbagai kajian global, termasuk wacana baru seperti Women, Peace and Security (WPS) yang kini menjadi perhatian utama lembaga-lembaga internasional.

Lebih jauh, Prof KBA membagi pemaknaan damai ke dalam dua kategori besar: mereka yang memberikan makna (give meaning) dan mereka yang menafsirkan (interpret). 

Pemberian makna pada damai lahir dari pengalaman langsung, dari orang-orang yang terlibat, hidup saat konflik, dan akhirnya merasakan perubahan. Bagi mereka, damai bukan sekadar kondisi politik atau administratif.

Sebaliknya, penafsiran (interpret) terhadap damai biasanya datang dari mereka yang tidak mengalami konflik secara langsung atau hanya terlibat dari luar. Generasi muda yang lahir pasca-2005 misalnya, tidak bisa memberikan makna personal terhadap perdamaian karena mereka tidak pernah merasakan konflik. Akibatnya, ada jarak antara mereka dengan narasi damai yang berkembang.

Kondisi ini menunjukkan pentingnya memperkuat pendidikan damai yang tidak hanya menyampaikan fakta sejarah, tetapi juga membangkitkan empati dan pemahaman mendalam. 

Menurut Prof KBA, inilah yang disebut dengan living knowledge, pengetahuan yang hidup dalam kesadaran masyarakat. Sebuah bentuk pemahaman yang tidak hanya mengandalkan teks dan data, tetapi hadir melalui pengalaman, keterlibatan, dan refleksi pribadi.

Ia juga menyinggung soal kecemburuan sosial yang masih menyelimuti proses integrasi pasca-damai. KBA juga mencatat pengalaman damai Aceh tidak lepas dari dinamika sosial dan politik. Ada yang “menikmati” hasil damai dalam bentuk posisi, kekuasaan, atau keuntungan ekonomi, namun ada juga yang merasa terpinggirkan.

Sentimen semacam ini, menurutnya, perlu dikelola dengan bijak agar tidak menjadi bara dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa mengganggu perdamaian. “Dulu ada istilah kami, mereka yang berair mata dan bermata air,” imbuhnya.

Artikel SebelumnyaAceh Wilayah Pertama di Sumatra Stop BAB Sembarangan
Artikel SelanjutnyaUIN Ar-Raniry & BRA Bedah Buku “Dua Dekade Damai Aceh”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here