Jejak Orang Aceh di Singkil: Mengapa Hanya Sedikit yang Tersisa? (Bagian 1)

orang Aceh di Singkil
Kampung Ranto Gedang yang pernah dipimpin oleh orang Aceh bernama Raja Maarif. Foto: Munawar.

Jejak keberadaan orang Aceh di Singkil ditulis dalam catatan Thomas Forrest. Kapten Senior Armada Laut Inggris, dalam tulisannya berjudul A Voyage From Calcutta to Mergui Archipelago.

Pada suatu perjalanan menuju Singkil, saya berhenti di sebuah kedai kopi di tepi Jalan Teuku Umar, Kota Subulussalam. Dari tempat saya menyeruput kopi, jarak ke Singkil masih 80 kilometer lagi.

Seseorang meminjam korek mili saya. Si peminjam menggunakan Bahasa Aceh. Ya, di daerah ini Bahasa Aceh masih sering dipergunakan oleh penduduk. Demikian juga di Rimo, Kecamatan Gunung Meriah, dan di Singkil, Bahasa Aceh masih digunakan di pasar-pasar. Baik di warkop maupun di kedai kelontong.

Baca: Empat Pulau Sengketa Dalam Catatan Anak Sigkil

Tapi begitu keluar dari pusat kota, nyanyian itu lenyap. Di Penanggalan, masih satu garis dengan Subulussalam, saya lebih sering mendengar Bahasa Singkil dan Pakpak logat Simsim. Dari Rimo belok ke Cingkam atau Sebatang juga sama: lako mike (mau kemana)Bahasa Singkil menjadi tuturan sehari-hari dan tak ada Bahasa Aceh.

Begitu juga di Kilangan, Bahasa Aceh jadi bahasa asing, hanya ada Bahasa Singkil Pesisir yang mirip dengan Bahasa Aneuk Jamee di Tapak Tuan. Kalau ada yang bicara menggunakan Bahasa Aceh, biasanya pendatang etnik Aceh seperti saya, atau orang lokal yang “kebetulan” belajar karena interaksi sosialnya. Satu-satunya pengecualian: Kuala Baru.

Kecamatan Kuala Baru terdiri dari 4 kampung yaitu Kayu Menang, Kuala Baru Laut, Kuala Baru Sungai dan Sukajaya. Kayu Menang penduduknya menggunakan bahasa Singkil Pesisir. Bahasa Singkil juga digunakan luas di Kota Singkil, Gosong Telaga dan hampir merata di seluruh Kepulauan Banyak. Tiga nama terakhir berada di ujung seberang delta sungai Singkil yang penduduknya berbahasa Aceh.

Yang saya lihat bahasa Aceh yang dituturkan oleh penduduk Kuala Baru tidaklah mayoritas, melainkan berbagi persentase berimbang dengan bahasa Singkil Pesisir. Hal ini saya rasakan saat pertama tiba di Kuala Baru Laut di sekitar Laman (dermaga), bahasa Singkil Pesisir adalah lingua franca penduduknya, Bahasa Aceh terdengar juga namun tak seberapa. Hal serupa juga terjadi di kampung Kuala Baru Sungai.

Baru di kampung terakhir, Sukajaya yang bahasa Acehnya lebih mendominasi. Orang Kuala Baru rata-rata bilingual; mampu berbicara dua bahasa yaitu Aceh dan Singkil Pesisir sama baiknya. Untuk mengetahui mana bahasa native dari penduduktiga kampung ini cukup sulit bagi kita pendatang karena logatnya cukup mirip.

Di luar Kuala Baru? Nol. Ada lorong bernama Kampung Aceh di Pulo Sarok dan Gosong Telaga, tapi isinya bukan orang Aceh. Hanya satu-dua rumah pendatang. Tak ada pemandangan seperti di Kuala Baru.

Lantas kenapa hanya ada sedikit saja penduduk beretnik Aceh di tanah Syekh Abdurrauf ini?

Perseteruan 4 Pulau (Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan dan Panjang ) antara Aceh-Sumut pada Juni 2025 adalah awal kisah saya menemukan jawaban atas pertanyaan di judul tulisan ini. Toponim pulau Mangki(r), salah satu pulau yang disengketakan menunjukkan adanya pengaruh orang Aceh [etnik Aceh] karena serupa dengan nama gampong (Ujong Mangki) di Bakongan Aceh Selatan.

Hak waris pulau-pulau ini adalah milik Teuku Raja Udah, ia adalah orang Aceh yang bermustautin di Tapus (sekarang Muara Tapus Kec. Manduamas Kab. Tapanuli Tengah). Ini disebutkan oleh Jane Drakard dalam A Malay Frontier: Unity and Duality in a Sumatran Kingdom halaman 43-49.

Kalau satu orang Aceh punya pulau, pasti ada komunitas lainnya di belakangnya. Tapi di mana kampung mereka sekarang?

Bukti Primer Orang Aceh Bertanah Air di Singkil Pada Masa Lalu

Benang merah dari rasa penasaranku ini mulai terjawab ketika aku membaca tulisan A Voyage From Calcutta to Mergui Archipelago karya Kapten Thomas Forrest. Kapten Senior Armada Laut Inggris ini sudah sudah 3 kali ke Aceh yaitu tahun 1772, 1775 dan 1784. Kedatangannya tahun terakhir tersebut ia sempatkan singgah di Singkil, pada halaman 64 ia menulisnya begini:

“Muara Sungai Sinkel yang terletak sekitar 2º lintang utara; Hal ini mudah diketahui dengan adanya pohon-pohon pinus (caiou aroo) di muara sungai: ini adalah sungai terbesar di pantai barat daya Sumatra, dan mengalir jauh ke pedalaman, dapat ditempuh dalam waktu satu bulan perjalanan. Sekitar lima hari perjalanan menyusuri sungai ini, sungai ini terbagi menjadi dua cabang, atau lebih tepatnya dua cabang bertemu di Pomoko (Dua Cabang) setelah melewati sebagian besar negeri Batak. Meskipun sungai ini mempunyai alur yang panjang, sungai ini tidak dapat menerima aliran air sebesar Sungai Aceh, tebingnya sangat dangkal. Di sini, orang-orang Melayu dan Aceh bermukim, dan membeli semua benzoin dan camphire (sejenis kapur barus) dari Batak”.

Nama tempat Pomoko yang dimaksud oleh Kapten Thomas Forrest ini adalah kampung Pemuka Lama yang ia eja dengan Pomoko. Keyakinan saya bertambah ketika ia memberi keterangan dalam kurung di teks asli berbahasa Inggris: Pomoko (Two Mouths) bermakna Pemuka (Dua Cabang) karena letak Pemuka Lama memang pas di delta sungai pertemuan aliran Lae Sukhaya (Sungai Simpang Kiri) dan Lae Cinendang (Sungai Simpang Kanan).

Adanya catatan tentang perkampungan orang Aceh di Pomoko pada tahun 1784 bukan hanya membuktikan eksistensi orang Aceh yang bertanah air di Singkil, namun juga memberikan gambaran bahwasanya akses perdagangan dan distribusi barang menuju Kota Singkil dari perkampungan yang ada di 2 aliran hulu sungai memang dikuasai oleh orang Aceh (dan melayu) dengan Pomoko sebagai kota transitnya.

Keberadaan orang Aceh di Pemuka Lama tadi terus eksis pada abad selanjutnya, saya temukan buktinya pada tulisan berjudul “Taal, Land-En Volkenkunde (Bahasa, Negeri dan Etnology)” karya D. Van Hinlopen Labberton tahun 1907. Pada halaman 455-456 dituliskan saat Singkil masih di bawah kekuasaan Aceh, ada 2 pemukiman orang Aceh yaitu Rantau Deli dan Simpang Dua. Nama terakhir adalah nama lain dari Pemuka Lama.

Dalam redaksi asli berbahasa Belanda ditulis “Simpang Doea ten Pemuka tusschen Tjinendang en Aer Singkil in” yang bermakna kurang lebih “Simpang Dua dari Pemuka antara aliran Cinendang (sungai Simpang Kanan) dan air (aliran menuju) Singkil”. Orang Aceh di Simpang Dua Pemuka saat itu dipimpin oleh Panglima Poekande.

Dua bukti dari Forrest dan Labberton menunjukkan bahwasanya kampung Pemuka Lama adalah tempat orang Aceh bertanah air di Singkil setidaknya dari sebelum 1784 sampai dengan 1840.

Sedangkan di Rantau Deli orang Aceh dipimpin oleh Panglima Pendjoenga. Letak Rantau Deli ini tepat di seberang Teluk Ambun Lama yang sudah direlokasi. Jika kita naik robin di bawah jembatan Onan (pasar) Senin Singkil menuju hulu maka, Teluk Ambun Lama terletak di seberang Sungai Singkil dan Rantau Deli terletak di dekat pertemuan sungai besar Singkil dan anak Sungai Rintis, pas tepat di depan Teluk Ambun Lama tadi.

Ingatan kolektif Orang Singkil tentang Orang Aceh

Seorang teman yang merupakan keturunan penduduk Teluk Ambun Lama masih bisa mengingat letak rumah-rumah kayu di dua sisi sungai ini. Informasi tambahan juga saya dapatkan dari teman asal Rantau Gedang bahwasanya di depan Teluk Ambun Lama itu kawasannya disebut Jikhat (Kuburan). Aku yakin Jikhat inilah yang dimaksud dengan Rantau Deli, sebuah pemukiman orang Aceh kuno di Singkil yang sudah lenyap.

Pun demikian Ingatan kolektif dari orang-orang Singkil ini menambah keyakinanku tentang jejak Rantau Deli ini karena Labberton juga mengaminkannya. Ia menulis dalam teks aslinya “Rantau Deli tegenover het huidige Teluk Ambun” yang bermakna kurang lebih Rantau Deli di seberang Teluk Ambun saat ini.

Menjelang Belanda masuk Singkil, Panglima Poekande yang memimpin Simpang Dua Pemuka Lama dan Panglima Pendjoenga yang memimpin Rantau Deli sudah digantikan oleh Leube Jafar, seorang wakil Sultan Aceh yang pernah tinggal di Susoh dan Trumon.

Ia memiliki seorang anak bernama Raja Maaris. Sosok Raja Maaris ini mengontrol 4 kampung yaitu Teluk Ambun, Pea Bumbung, Tanjung Baru dan Rantau Gedang. Ia melantik Nyak Cut sebagai Keuchik Teluk Ambun dan Nyak Djinal (Zainal?) sebagai Keuchik di Pea Bumbung. Sedangkan untuk Tanjung Baru dan Rantau Gedang dilantik Uwan (Uwan berarti Kakek) Mansur sebagai kepala kampong tanpa gelar Keuchik (Saat Uwan Mansur meninggal, ia digantikan oleh Panglima Pobandar sebagai kepala kampung Tanjung Baru dan Bowe sebagai kepala kampung Rantau Gedang).

Kenapa hanya untuk Pea Bumbung dan Teluk Ambun saja yang pimpinannya diberi gelar keuchik yang merupakan gelar kepala kampung dalam Bahasa Aceh ? pertanyaan ini terjawab di paragraf berikutnya, Labberton kembali menulis begini “onder Lebe Djafar en diens zoon Radja Maaris warden hoofden (Getjik’s) aangesteld te Telok Ambon (het vorige Rantau Deli) en te PajaBoenboeng (het vorige Simpang Doea)” yang bermakna di bawah kekuasaan Leube Jafar dan anaknya Raja Maaris, kepala suku (keuchik) diangkat di Telok Ambon dan Pea Bumbung setelah sebelumnya di masa Panglima Poekande dan Panglima Pendjoenga hanya diangkat untuk Rantau Deli dan Pemuka Lama saja.

Ini menunjukkan adanya perubahan komposisi penduduk sekitar tahun 1840-an di Teluk Ambun Lama dan Pea Bumbung Lama yang sudah dihuni oleh kebanyakan orang Aceh sehingga gelar pimpinannya pun ditukar menjadi Keuchik. Padahal pada era sebelumnya gelar keuchik hanya untuk kampung Rantau Deli dan Pemuka Lama saja. Ini bukan hanya dugaan saya semata saja karena pada masa sesudahnya Pea Bumbung kembali dimekarkan menjadi satu kampung baru dengan nama Selok Aceh.

Toponim Selok Aceh merujuk pada bagian kampung Pea Bumbung yang dihuni oleh orang Aceh untuk Bertani. Ingatan ini adalah ingatan kolektif orang-orang di kampung Selok Aceh Baru dan Pea Bumbung Baru sampai hari ini. Lihat: (https://selokaceh.gampong.id/halaman/sejarah-gampong)

Bukti-bukti di atas menjawab rasa penasaran saya bahwasanya di masa lalu orang beretnik Aceh bukanlah pendatang di Singkil namun juga bertanah air di Pomoko / Simpang Doea, Rantau Deli, Telok Ambon dan Pea Boenboeng. Lalu mengapa mereka pergi? Soal itu akan saya ceritakan lain waktu.

Penulis: Munawar. Penikmat kajian sosial budaya. Saat ini bermukim di Singkil.

Artikel SebelumnyaGubernur Riau Ditangkap KPK
Artikel SelanjutnyaOJK Cabut Izin Usaha PT Sarana Aceh Ventura, Ini Alasannya

2 COMMENTS

  1. > Jikhat (Kuburan)

    ini cukup menarik. jika melihat secara paduan suku kata ji (kata kerja ganti) + khat (dugaan asal usul dari indo-china, vietnam dan sekitar). saya cek catatan saya, meskipun banyak kata yang sama “khat”, tapi mempunyai arti yang berbeda-beda satu sama lain, dan nggak ada satupun arti yang mengarah ke kuburan. meskipun ada juga yang secara kata kerja masuk akal, tapi secara toponim nggak diterima.

    bisa jadi artinya kuburan atau bisa jadi yang lain. ada juga kata dalam khmer “khat naa” yang artinya sasawi (sawi) india atau latinnya disebut brassica juncea. apakah dulu petani di sana menanam sawi?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here