Komparatif.ID, Jakarta— Anggota Komisi I DPR RI, Oleh Soleh, mendesak Satgas Antipremanisme untuk segera menangani praktik pemerasan dan intimidasi yang dilakukan oleh oknum mengaku wartawan dari media daring abal-abal. Aksi-aksi tersebut dinilai telah meresahkan masyarakat dan mencoreng nama baik profesi jurnalis.
Menurut Oleh, tindakan tegas perlu diberikan kepada para pelaku yang menyalahgunakan identitas pers demi keuntungan pribadi, sama halnya seperti penindakan terhadap preman berkedok organisasi kemasyarakatan (ormas).
Ia menilai perbuatan tersebut tak sekadar menodai profesi wartawan, tetapi juga merupakan tindak pidana yang nyata dan mengganggu ketertiban umum.
“Kalau mereka melakukan pemerasan, ancaman, dan intimidasi, apalagi disertai kekerasan, itu jelas sudah masuk ranah hukum. Satgas harus bertindak cepat dan menangkap pelaku,” tegasnya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (12//5/2025).
Politikus dari Fraksi PKB ini juga meminta aparat penegak hukum lainnya, seperti Polri, TNI, dan Satpol PP, untuk memberikan perhatian serius terhadap fenomena ini. Ia menyebut, praktik premanisme berkedok pers bukan hanya merugikan individu, tetapi juga melemahkan kepercayaan publik terhadap media yang seharusnya menjadi pilar demokrasi.
Baca juga: Singapura Pertimbangkan Adopsi Hukuman Cambuk bagi Pelaku Penipuan
Bahkan, ia menyebut praktik tersebut telah menjalar ke banyak daerah. Pelaku tidak segan menekan kepala sekolah, pimpinan yayasan, kepala desa, pejabat daerah, pemilik usaha, hingga warga biasa dengan modus pemerasan atau ancaman pemberitaan negatif jika permintaan mereka tidak dipenuhi.
“Banyak korban yang akhirnya memilih membayar daripada terus diteror,” ujarnya prihatin.
Sebagai bentuk edukasi kepada publik, Oleh menjelaskan pendirian dan operasional media massa diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Media yang sah harus berbadan hukum Indonesia dan berbentuk badan usaha seperti PT, koperasi, atau yayasan untuk media nonkomersial.
Ia menekankan pentingnya verifikasi administrasi dan faktual oleh Dewan Pers untuk menjamin profesionalisme serta perlindungan hukum bagi perusahaan media yang sah.
Dalam konteks itu pula, semua insan pers wajib mematuhi Kode Etik Jurnalistik yang mencakup 11 prinsip dasar, seperti independensi, keakuratan, larangan menyiarkan berita bohong, serta tidak menerima suap.
“Kalau menerima suap saja sudah pelanggaran, apalagi memeras. Itu sudah masuk ke ranah pidana yang tidak bisa ditoleransi,” tegasnya.
Ia juga menyoroti kekerasan yang dilakukan oleh oknum wartawan gadungan ini tak selalu berbentuk fisik. Banyak di antaranya melakukan teror verbal atau menyebarkan informasi sesat yang menjatuhkan nama baik korban di hadapan publik. Menurutnya, ini adalah bentuk pemerasan terselubung yang harus segera ditindak.
Aksi preman berkedok wartawan ini, lanjut Oleh, berbahaya karena mengaburkan batas antara kebebasan pers dengan kejahatan terorganisir. Ia menegaskan bahwa masyarakat berhak dilindungi dari ancaman semacam ini, dan negara tidak boleh membiarkan ruang pers disalahgunakan.
“Mereka memang tidak mengacungkan senjata, tapi dampak teror mereka tak kalah serius dari preman jalanan. Ini harus dihadapi dengan tindakan hukum yang tegas dan terukur,” pungkasnya.