Intervensi Politik Industri Rokok Dituding Hambat Pengendalian Tembakau

Cukai Rokok Bukan Mesin Cetak Uang, Tapi Instrumen Tekan Konsumsi Intervensi Politik Industri Rokok
Konferensi pers membaca RAPN 2026 yang digelar Center of Human and Development (CHED) ITB Ahmad Dahlan pada Jumat (22/8/2025). Foto: Komparatif.ID/Rizki Aulia Ramadan.

Komparatif.ID, Jakarta— Ekonom Muhammadiyah, Mukhaer Pakkanna, menyebut tantangan terbesar dalam pengendalian tembakau di tanah air adalah intervensi politik industri rokok yang telah lama menjalin “simbiosis mutualisme” dengan para pemegang kebijakan.

Mukhaer tanpa ragu menyebut tantangan politik sebagai penghambat utama. Menurutnya, industri rokok raksasa secara sistematis berkolaborasi dengan kekuasaan untuk memastikan kebijakan yang lahir tidak akan merugikan bisnis mereka.

“Tantangan terbesar kita adalah tantangan politik. Industri tembakau telah lama menguasai lobi politik, bahkan mempengaruhi calon pemimpin sebelum mereka terpilih. Ini terjadi bukan hanya di pusat, tetapi sampai ke tingkat desa,” ungkap Mukhaer pada konpres CHED ITB Ahmad Dahlan di Jakarta, Jumat (22/8/2025).

Ia menjelaskan intervensi politik industri rokok dan lobi-lobi ini menciptakan situasi di mana komitmen pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, menjadi lemah.

Industri rokok kerap memposisikan diri sebagai kontributor finansial yang signifikan, terutama menjelang perhelatan politik seperti pilkada atau pilpres, yang membutuhkan pendanaan luar biasa. Akibatnya, kebijakan yang pro-kesehatan masyarakat seringkali kandas di meja negosiasi.

Baca juga: Meski Perokok Muda Meningkat, Pemko Banda Aceh dan Putera Sampoerna Ikat Kerja Sama

Hal itu menurutnya tercermin dalam Undang-Undang Cukai itu sendiri. Terdapat klausul yang secara eksplisit menyatakan pemerintah harus mendengarkan kepentingan industri dalam proses penetapan tarif cukai.

“Ini adalah sebuah privilege yang luar biasa. Pemerintah tidak bisa menaikkan cukai jika tidak ‘sowan’ dulu ke industri. Kekuatan mereka secara struktural sangat luar biasa,” lanjutnya.

Sementara itu, Kepala CHED ITB Ahmad Dahlan, Roosita Meilani Dewi, menambahkan strategi industri tidak hanya berhenti pada lobi, tetapi juga aktif melawan regulasi yang dianggap mengancam.

“Industri rokok ini terkenal gemar melobi dan melawan regulasi. Kita lihat bagaimana pembahasan mengenai kemasan rokok polos (plain packaging) berjalan sangat alot, dan bagaimana mereka terus menentang kebijakan-kebijakan pengendalian lainnya,” kata Roosita.

Menurutnya, cermin dari kuatnya pengaruh ini bahkan terlihat dari wacana yang dilontarkan oleh oknum wakil rakyat. Salah satu pembicara menyinggung kekecewaannya terhadap usulan seorang anggota dewan yang menginginkan adanya gerbong khusus merokok di kereta api.

“Kita bandingkan saja dengan Perdana Menteri Singapura yang begitu komit melindungi rakyatnya. Usulan seperti itu jelas hanya untuk kepentingan segelintir orang, bukan untuk rakyat banyak. Ini menjadi keprihatinan kita,” imbuhnya.

Artikel SebelumnyaGandeng USK, Aceh Besar Mulai Riset Tenurial dan Hukum Adat
Artikel SelanjutnyaPelabuhan Krueng Geukueh Bakal Layani Penyeberangan ke Penang

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here