Nasir Juli—dulu kami menyebutnya Nasir Bang Din—merupakan salah seorang yang menginspirasi saya untuk bersekolah setinggi mungkin. Namanya sempat disebut oleh ibu—Cut Rusna binti Teuku Luthan—sebagai salah satu anak muda di era 90-an yang harus saya contoh.
Rumah kami terpaut jauh. Ia bermukim di kilometer 6 dan saya di km 11. Dulu masih dalam Kecamatan Jeumpa, Aceh Utara. Ia dikenal di Dusun Seuneubok Dalam, Gampong Teupin Mane, karena ayahnya memiliki berhektar-hektar kebun kelapa hibrida.
Setiap hari Minggu, Nasir—saya memanggilnya Bang Nasir—dan ayahnya selalu ke kebun. Merawat kelapa, pinang, dan tanaman lainnya yang ditanam. Ia sangat ramah. Bila ia sedang membabat rumput di tepi jalan, selalu saja senyumnya mengembang bila ada warga yang melintas.
Baca juga: Iskandar Jalil, Striker dari kaki Bukit
“Lihat si Nasir, dia sekolah di SMA, tapi setiap hari libur pasti membantu orangtuanya di kebun. Itu harus kamu contoh. Orang yang sekolah rajin bekerja,” kata ibu setiap kali ada kesempatan berbincang tentang pentingnya pendidikan formal.
Ibu juga mengatakan, seseorang yang bersekolah tinggi hidupnya akan lebih baik. Lagi-lagi contoh yang diberikan Bang Nasir dan ayahnya; Nurdin, yang kami panggil secara informal dengan sebutan Bang Din Patok Nam.
bila saya sedang dilanda malas–dan itu terlalu sering– ibu selalu mencontohkan, “Lihatlah si Nasir dan adiknya. Mereka anak orang kaya, tapi rajin membantu orangtuanya.”
Terkadang, contoh tersebut juga menganggu dalam alam pikir saya selaku anak-anak. “Sikit-sikit Bang Nasir, sikit-sikit Bang Nasir. Entah apa pun rajin kali dia,” gerutu saya di dalam hati. Gerutu itu lahir karena pada saat yang sama saya ingin menonton serial Power Rangers yang ditayangkan setiap pagi Minggu. Sedangkan ibu membawa kakak, saya dan adik ke kebun, menemaninya bekerja di huma kami.
Contoh yang diberikan ibu tentu bukan bualan. Nasir dan ayahnya bila ke kebun mengendarai motor Honda C90 yang lazim disebut Honda Astra. Di keluarga kami, almarhum bapak pernah memilikinya. Namun motor itu tidak berlama-lama di rumah. Karena diberikan kepada adiknya yang bermukim di Kota Bireuen. Perihal mengapa diberikan, sampai sekarang kami tak mau tahu; bersebab hubungan abang dan adik seperti ikatan rantai kapal; sangat kuat dan erat.
Saya masuk sekolah di SD Inpres Teupin Mane pada 1 Juli 1992. Pada tahun yang sama Nasir menamatkan pelajarannya di Sekolah Pertanian Pembangunan- Sekolah Peternakan Menengah Atas (SPP-SNAKMA ) Bireuen. Setelah lulus sekolah dia merantau ke Jakarta.
Ilmu yang dipelajari di bangku SPP-SNAKMA Bireuen berguna hingga hari ini. Ketika kami bertemu sembari menyeruput hangatnya kopi di Katoomba, Jumat malam (27/1/2023) Nasir Juli mengatakan masih memakainya dalam urusan merawat lembu.
Meskipun termasuk anak juragan tanah di kampung kami, Nasir Juli merupakan pria yang ramah. Bila saya sedang ke kebun dan berpapasan dengannya, sering diberikan tumpangan. Kebetulan kebun kami bersisian. Bayangkan betapa bahagianya bocah kecil diberikan tumpangan, duduk di atas jok motor yang empuk. Benar-benar ladit kala berada di atas punggung motor itu.Di dalam hati saya, semoga di masa depan, diberikan kemampuan membeli motor, supaya dapat membeli motor berarti harus sekolah setinggi mungkin.
Di kampung, selain Nasir Juli yang menginspirasi, ada juga seorang lainnya. Fitri binti Anwar. Seorang perempuan berkulit kuning langsat yang menjadi bunga desa di kampung kami. Anak dari mantri desa tersebut bersekolah di SPK dan kemudian melanjutkan pendidikannya di akademi keperawatan di Kota Lhokseumawe.
Perihal Nasir Juli, saya baru tahu bahwa ia seorang pemain amatir klub Persida Djuli Gunci. Klub itu berada di bawah naungan Persatuan Sepakbola Seluruh Bireuen (PSSB). Di klub yang aktif mengikuti berbagai tarkam, Nasir Juli bermain di posisi sayap kanan. Meskipun demikian, ia mengaku dapat bermain di ragam posisi. Klub itu berumur panjang, berbeda dengan Teupin Mane Area Sport (Temas) yang telah “almarhum” sejak lama.
Saat ini Nasir Juli telah memegang lisensi wasit C1 Nasional. Aktif memimpin pertandingan sepakbola.
Kita tidak pernah tahu bila di dalam komunitas manusia yang teramat besar ini, selalu ada saja orang yang dapat memberikan inspirasi. Maka beruntunglah ianya yang dengan tindakan-tindakannya dapat melahirkan pencerahan kepada orang lain, meski si pelaku tindakan tidak pernah menyampaikan; atau bahkan tidak menyadarinya. Maka ada sebuah tanggung jawab moral bagi siapa saja untuk tetap berbuat baik.
Untuk menjadi baik, tidak mesti harus selalu berderma dalam bentuk uang—meski bersedekah sangat dianjurkan. Kita dapat melakukannya dengan ragam tindakan. Haim Saban si pembuat Power Rangers bermaksud mencari uang lewat serial tersebut. Tapi gara-gara lagu go go Power Rangers, telah melahirkan inspirasi bagi anak-anak supaya menjadi pahlawan pembela kebenaran. Demikian juga pencipta tokusatsu Kousoku Sentai Turboranger—Pasukan Turbo—tujuannya demi mendapatkan pemasukan melalui serial kepahlawanan yang akrab dengan anak-anak di seluruh dunia. Tapi lagi-lagi, super sentai tersebut memberikan inspirasi kepada anak-anak agar menjadi orang yang berguna bagi negerinya.
Ketika Pasukan Turbo mengeluarkan jurus tim saat hendak menghancurkan monster, visualnya sangat ikonik. Turbo laser plasma shoot! Combination attack! Atau teriakan bui tabo bazooka! Wow, sangat keren. Koreografinya memesona.
Terima kasih Nasir Juli.