Komparatif.ID, Jakarta— Indonesia menghadapi tantangan serius dalam penanganan lebih dari 12.000 pengungsi luar negeri yang kini tinggal di berbagai daerah, sementara dukungan internasional terhadap mereka terus menyusut.
Pernyataan ini disampaikan Wakil Menteri Hak Asasi Manusia Mugiyanto dalam pidato kuncinya pada acara “Workshop Seri III: Kebijakan, Respon dan Pembelajaran pada Kondisi Kedaruratan Pengungsi Luar Negeri di Indonesia” yang digelar oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada Selasa (16/9/2025).
Acara tersebut dihadiri berbagai pemangku kepentingan, termasuk perwakilan UNHCR, IOM, akademisi, serta organisasi masyarakat sipil.
Mugiyanto menyebut ekspektasi internasional terhadap Indonesia semakin besar. Ia menilai ada perubahan besar dalam konstelasi global yang memengaruhi penanganan isu kemanusiaan.
Menurutnya, perubahan kebijakan pemerintahan Donald Trump di Amerika Serikat terkait bantuan kemanusiaan berdampak pada menurunnya kapasitas lembaga internasional seperti UNHCR dan IOM.
Dampak lain yang terlihat adalah berkurangnya kuota penempatan pengungsi ke negara ketiga, sehingga ribuan pengungsi terpaksa menetap lebih lama di Indonesia.
Baca juga: Elemen Sipil Kecam Penelantaran 93 Etnis Rohingya di Langsa
“Perubahan tersebut telah mengakibatkan pengurangan kapasitas lembaga internasional serta menurunnya kuota penempatan pengungsi ke negara ketiga. Hal ini menjadi perhatian serius, mengingat saat ini terdapat 12.098 pengungsi luar negeri di Indonesia,” ujar Mugiyanto.
Ia menambahkan dalam pertemuannya dengan Presiden Dewan HAM PBB dan Deputi Komisioner Tinggi HAM PBB pada Juni lalu, ia merasakan adanya kekosongan kepemimpinan dalam isu HAM internasional.
Dari situ, muncul dorongan agar Indonesia mengambil peran lebih besar, mengingat sejarah panjang Indonesia dalam memperjuangkan HAM sejak Konferensi Asia Afrika.
Mugiyanto menegaskan meski Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, komitmen negara terhadap prinsip kemanusiaan tetap kuat. Landasan utamanya adalah Konstitusi yang menegaskan bahwa hak asasi manusia berlaku bagi “setiap orang” tanpa membedakan kewarganegaraan. Prinsip tersebut, menurutnya, menjadi dasar kebijakan dalam menangani para pengungsi.
Komitmen itu juga diperkuat melalui Asta Cita Presiden Prabowo Subianto yang secara eksplisit menekankan pengokohan HAM, serta pembentukan Kementerian Hak Asasi Manusia pada 2024.
Dalam praktiknya, Indonesia berpedoman pada Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang penanganan pengungsi dari luar negeri, serta prinsip non-refoulement atau larangan pengusiran paksa ke negara asal yang berbahaya.
Menurut Mugiyanto, Indonesia bahkan telah melangkah lebih jauh dari kewajiban internasional dengan memberikan akses pendidikan bagi anak-anak pengungsi, pelatihan kerja, serta membentuk mekanisme koordinasi nasional melalui Satgas.
Komite HAM PBB disebut telah mengapresiasi langkah ini, meski memberikan catatan agar Indonesia terus meningkatkan pemahaman aparat dan mengatasi diskriminasi di tingkat masyarakat.
Namun, berkurangnya dukungan internasional menimbulkan tantangan baru. Dengan melambatnya proses penempatan ke negara ketiga, beban pengelolaan semakin berat. Mugiyanto menegaskan perlunya memperkuat prinsip berbagi tanggung jawab di tingkat nasional, regional, dan global.
“Indonesia tidak dapat berjalan sendiri. Diperlukan kolaborasi erat antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat sipil, organisasi internasional, hingga komunitas lokal,” katanya.











