Komparatif.ID, Madiun— Seorang gadis remaja berusia 13 tahun asal Kabupaten Madiun, Jawa Timur, kini harus menghadapi kenyataan pahit akibat kebiasaan memakan mi instan sejak kecil.
MC, siswi kelas 2 SMP di Madiun harus menjalani cuci darah dua kali seminggu setelah divonis menderita gagal ginjal kronis stadium 5. Penyakit ini disebabkan oleh kegemarannya mengonsumsi mi instan sejak balita.
MC mungkin terlihat seperti gadis remaja pada umumnya, bersekolah dan menjalani kehidupan sehari-hari dengan didampingi orang tuanya. Namun, dibalik kesehariannya, MC sebenarnya sedang berjuang keras melawan penyakit yang mengancam hidupnya.
Awalnya, MC tidak menunjukkan tanda-tanda serius. Ia tumbuh layaknya anak-anak lainnya, bersekolah dan bermain seperti biasa. Namun, segalanya berubah drastis saat MC mulai duduk di bangku kelas 6 SD.
Pada saat itu, ia mengalami sesak napas yang cukup parah hingga harus segera dilarikan ke rumah sakit. Dari serangkaian pemeriksaan medis yang dilakukan, dokter memberikan diagnosis yang mengejutkan: MC mengalami gagal ginjal kronis.
Baca juga: 70% Anak Penderita Gagal Ginjal di Aceh Meninggal Dunia
Vonis tersebut tentu saja mengguncang kehidupan keluarga MC. Melly, ibu MC, menceritakan bagaimana anaknya harus segera dirujuk ke RSUD dr. Soetomo di Surabaya untuk mendapatkan perawatan yang lebih intensif, karena fasilitas di rumah sakit Madiun tidak memadai untuk menangani kondisi MC yang semakin memburuk.
“Dari serangkaian pemeriksaan anak saya mengalami gagal ginjal kronis, dan dirujuk ke RSUD dr Soetomo di Surabaya, karena fasilitas yang kurang memadai di rumah sakit Madiun,” kata Melly melansir okezone.com, Rabu (7/8/2024).
Melly dan suaminya, Daud, menghadapi kebingungan dan kecemasan yang luar biasa, terutama mengenai tempat tinggal selama masa pengobatan MC di Surabaya.
Beruntung, mereka mendapatkan informasi tentang rumah singgah bagi pasien dan anak-anak penderita penyakit kronis lainnya. Rumah singgah ini menyediakan fasilitas dengan biaya cuma-cuma, yang menjadi angin segar bagi Melly dan Daud di tengah keterbatasan finansial yang mereka hadapi.
Dengan adanya rumah singgah tersebut, mereka bisa tinggal lebih lama di Surabaya untuk mendampingi MC menjalani pengobatan yang memakan waktu panjang.
Setiap minggu, MC harus menjalani prosedur cuci darah sebanyak dua kali. Prosedur ini bukanlah hal yang mudah, terutama bagi seorang remaja yang seharusnya menjalani masa-masa sekolah dengan ceria.
Namun, inilah realitas pahit yang harus dihadapinya. Hidup MC kini berputar di sekitar jadwal cuci darah dan perawatan medis lainnya, yang tak hanya menguras fisik tetapi juga mental.
Kondisi MC menjadi pengingat betapa pentingnya pola hidup sehat sejak dini. Kebiasaan makan yang tidak sehat, seperti mengonsumsi mi instan secara berlebihan, bisa membawa dampak yang sangat serius di kemudian hari.
Apa yang terjadi pada MC mungkin tampak sepele di awal, namun dampaknya begitu luar biasa. Ini menjadi pelajaran penting bagi semua orang tua untuk lebih berhati-hati dalam memperhatikan pola makan anak-anak.
Kehidupan MC yang kini tak lepas dari pengobatan rutin, adalah bukti nyata betapa pentingnya pencegahan dibandingkan pengobatan. Di usia yang seharusnya menjadi masa-masa paling indah dalam hidupnya, MC justru harus berjuang melawan penyakit yang mengancam nyawanya setiap hari.
Meski begitu, semangat hidup MC dan dukungan penuh dari kedua orang tuanya memberikan harapan bahwa ia bisa terus bertahan dan menjalani hidup dengan sebaik mungkin.