Komparatif.ID, Jakarta– Siti Latifah Herawati Latif atau yang kemudian dikenal dengan nama Herawati Diah, merupakan perempuan Indonesia kelahiran Tanjung Pandan, Belitung, 3 April 1917.
Herawati merupakan putri pasangan Raden Latif-Siti Alimah. Ayahnya merupakan seorang dokter yang bekerja di Billiton Maatschappij.
Sebagai putri dari pasangan yang memiliki ekonomi dan kedudukan terpandang, ia mendapatkan kesempatan menimba ilmu lebih baik dari kebanyakan perempuan Nusantara kala itu.
Baca: A. Madjid Ibrahim, Guru Besar dari Tepi Krueng Agama
Setelah menamatkan pelajarannya Europeesche Lagere School (ELS) Salemba, Batavia, Herawati melanjutkan ke American High School (setingkat SMA) di Tokyo, Jepang. Kemudian menempuh studi ke Amerika Serikat. Di negara Paman Sam, ia kuliah di jurusan jurnalistik dan sosiologi Barnard College yang berafiliasi dengan Columbia University, New York. Dara cerdas itu lulus 1941.
Selama kuliah di Amerika Serikat, Herawati bukan tipe mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang, kuliah-pulang). Ia sangat aktif di organisasi politik tingkat internasional. Atas kepeduliannya, Herawati menjadi salah seorang perwakilan pemuda Hindia Belanda (Indonesia) pada World Youth Congress II yang digelar di Vassar College, New York, 16-23 Agustus 1938. Peserta lainnya dari Hindia Belanda yaitu T. Soenito dan M. Maruto Daroesman.
Pada 1942 Hera pulang ke Tanah Air. Ia bekerja sebagai wartawan lepas Kantor Berita United Press International (UPI). Kemudian juga menjadi penyiar di Radio Hasokyoku.
Dalam masa menjadi wartawan, ia jatuh cinta kepada BM Diah, seorang wartawan berdarah Barus-Aceh, yang lahir di Kutaraja, 7 April 1917. Usia mereka yang setara tidak menyurutkan cinta kedua wartawan revolusioner. Mereka menikah dan tetap di jalur kewartawanan.
Menurut riwayat mereka pertama kali bertemu mata ketika sama-sama bekerja di Radio Hasokyoku. Pada 18 Agustus 1942 mereka menikah. Pesta pernikahan mereka ini dihadiri pula oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Setelah membina biduk rumah tangga bersama BM Diah, Herawati tetap tidak meninggalkan dunia kewartawanan. Bahkan ia ikut membantu Harian Merdeka yang didirikan BM Diah bersama kompatriotnya Joesoef Isak, dan Rosihan Anwar.
Tahun 1955 Herawati dan suami mendirikan koran The Indonesian Observer yang berumur panjang hingga 2021. Koran berbahasa Inggris pertama Indonesia itu pertama kali dibagikan pada Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun yang sama.
Ia pernah menjadi Sekretaris Menteri Luar Negeri Achmad Soebarjo. Serta dengan setia menyertai suami yang ditunjuk sebagai Duta Besar RI untuk Muangthai, dan Menteri Penerangan pada Kabinet Ampera.
Ibu tiga anak tersebut menulis karya Kembara Tiada Berakhir–Herawati Diah Berkisah (1993) yang diterbitkan Yayasan Keluarga Bhakti. Buku tersebut merupakan kisah perjalanan hidup Hera yang juga sarjana perempuan pertama Indonesia di Amerika Serikat. Serta buku An Endless Journey (2005) merupakan autobiografi sang wartawan cum pejuang tersebut.
Herawati Diah meninggal pada tanggal 30 September 2016 di Rumah Sakit Medistra, Jakarta, karena usia yang sudah sepuh dan mengalami pengentalan darah.[5] Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, di samping makam suaminya, B.M. Diah, yang telah mendahuluinya pada 10 Juli 1996.
Sumber: Kompas.com,CNN.com, An Endless Journey, Kembara Tiada Berakhir.