
Komparatif.ID, Banda Aceh— Malam di Taman Seni dan Budaya Aceh Banda Aceh yang biasanya sunyi menjelang tengah malam berubah menjadi riuh saat penampilan Didong Gayo di Panggung Terbuka.
Puluhan mahasiswa, tokoh masyarakat, dan pecinta seni duduk berdekatan menantikan dimulainya Sound of Nanggroe Vol. 8. Edisi kedelapan pagelaran seni yang rutin digelar tersebut kali ini didedikasikan untuk memperingati “2nd Didong Art’s Day” pada Selasa (5/8/2025).
Panggung terbuka memancarkan lampu temaram. Aroma kopi tercium samar di udara malam, menemani suara gong yang dipukul secara simbolis oleh Karim Dito, tokoh masyarakat Gayo di Banda Aceh, menandai dibukanya pentas.
“Kami atas nama masyarakat Gayo yang ada di Banda Aceh dan Aceh Besar berharap kegiatan seperti ini dijadikan event rutinitas setiap tahunnya,” ujarnya.
Karim menjelaskan seni tutur Didong Gayo telah tumbuh sejak era Reje Linge ke-13 dan diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda nasional pada 2015 lalu.
Dua grup yang diisi mahasiswa asal dataran tinggi Gayo di Banda Aceh menjadi penampil utama: Serungke Bujang dan Tawar Bengi. Mereka tampil bergantian membawakan syair-syair puitis yang dibalut dengan ritme khas Didong Gayo.
Baca juga: Grace Farms Bawa Kopi Gayo Tembus Pasar Amerika Serikat
Ketua Panitia, Farhan Ananda, dalam sambutannya menekankan Sound of Nanggroe Vol. 8 merupakan inisiatif mandiri komunitas tanpa dukungan dana dari pemerintah. Ia menyebut semangat ini lahir dari kesadaran generasi muda untuk menjaga warisan budaya yang mulai terlupakan.
“Kegiatan ini terlaksana tanpa ada sepeserpun bantuan dari pemerintah, acara ini tetap berlanjut. Karena kami sadar bahwasanya adat dan budaya kita sudah mulai sirna sehingga harus tetap dirawat dan jaga,” ujarnya.
Kepala UPTD Taman Seni dan Budaya Aceh, Azhadi Akbar, menyambut baik penampilan Didong Gayo dan menyebutnya sebagai bentuk perlawanan di tengah situasi krisis budaya.
Menurutnya, semangat mahasiswa untuk terus menghidupkan budaya adalah sebuah bentuk perjuangan yang patut dihormati. “Kami salut dan berterima kasih kegiatan ini dilaksanakan di sini. Itu adalah sebuah kehormatan bagi kami. Saat kita sedang krisis dan teman-teman masih mampu untuk berjuang atas nama kebudayaan, itu luar biasa,” ujarnya.
Dukungan dan penghormatan yang sama juga disampaikan Ketua Majelis Seniman Aceh (MaSA) Chairiyan Ramli. Ia bangga generasi muda Gayo tetap memilih adat, budaya, dan tradisi ketimbang terbawa arus budaya asing.
Ia juga membuka ruang kolaborasi antara MaSA dan komunitas mahasiswa untuk kegiatan kebudayaan di masa mendatang. “Saya sangat bangga dengan adik-adik ini yang punya semangat tinggi, yang sadar terhadap budaya yang harus terus dijaga, jangan sampai anak-anak muda yang segini ramai lari ke K-POP atau sebagainya,” katanya.
Sound of Nanggroe Vol. 8 digelar berkat dukungan Majelis Seniman Aceh, UPTD Taman Seni dan Budaya Aceh, HP3MAT, The Gayo Institute, KOSMA, ICMI Orda Banda Aceh, PT Ulee Kareng Inti Rasa, Twins Coffee Car, dan FAM Soundsystem.