Gegara Sabu, Suamiku Masuk Penjara, Keluargaku Hancur

suamiku
Ilustrasi perempuan menangis. (Reuters)

Sudah hampir setahun suamiku harus mendekam di dalam sel di salah satu mapolres di pantai timur Aceh. Semuanya berawal dari bisnis sabu-sabu yang terlihat menjanjikan, tapi sebenarnya racun paling mematikan.

Hatiku hancur ketika mengetahui suamiku dijemput paksa pada suatu sore, jelang kumandang azan Magrib. Dia ditangkap seperti seorang penjahat kelas kakap di kontrakan kami yang sempit di sebuah kecamatan berbukit.

Menurut kabar, ada seseorang yang melaporkannya kepada aparat hukum. Tapi aku tidak ambil pusing dengan laporan itu. Karena sebagai istri aku sudah jenuh mengingatkan suamiku betapa pekerjaan yang ia lakoni tidak diridhai Allah. Tapi aku sedih kala dia ditangkap.

Baca: Bireuen, Daerah Merah Rumah Bandar Narkoba

Sejak kehilangan pekerjaan sebagai kuli pada sebuah perusahaan perkebunan, suamiku murung. Dia habiskan hari-harinya di tempat tidur. Bila malam ia ke warung. Aku tidak tahu apa yang ia lakukan di sana. Karena dia membatasiku dalam banyak hal.

Satu-satunya yang tidak bisa dia tahan aku soal pekerjaan. Aku bekerja sebagai kuli di kebun orang, agar kami tetap dapat makan. Supaya anak-anak tetap dapat melanjutkan pelajaran mereka di sekolah dasar.

Setiap Subuh, aku bangun, kala suamiku baru tidur. Aku Salat Subuh dan menanak nasi dan mengolah lauk apa adanya. Seringkali mi instan rebus, karena itulah yang dapat kusediakan di dapur kami yang lusuh.

Baca: Terkait Penangkapan Nyonya N, Ini Kata BNNP

Aku tahu mi itu tidak bergizi. Tapi tidak ada pilihan. Hal terpenting anak-anak tetap dapat makan 3 kali sehari.

Selesai masak, di remang-remang pagi, aku melangkah ke luar. Menunggu truk pengangkut kuli yang tiba sekitar pukul 06.00 WIB. Di kebun yang jauhnya belasan kilometer dari kontrakan, aku dan kuli-kuli lain bekerja. Seminggu sekali kami diberikan bayaran.

Pulang ke rumah jelang Magrib. Lelah mendera, tapi aku tetap harus melayani keluarga. Mencuci baju kotor, memasak, dan membersihkan rumah. Suamiku yang sering marah-marah, tak peduli apa pun. Dia hanya bisa mengomel tentang temannya yang jahat. Dia sama sekali tidak peduli kepadaku.

Bila tengah malam tiba, dia meminta haknya sebagi suami. Aku tetap melayani, meski badan sudah terasa remuk redam. Usai meniduriku, ia pergi. Katanya kontrakan kami sangat pengap. Dia suntuk.

Suatu hari dia pulang dengan senyum mengembang. Aku bertanya. Dia tidak menjawab. Hari-hari berikutnya ia semakin ceria. Bercanda dengan anak-anak, dan sudah kembali menafkahi kami.

Aku mulai curiga. Ketika kutanya, dia marah. Kepadaku dia mengatakan istri tidak boleh terlalu banyak tanya. Pikiranku langsung mengasumsi bila dia sudah terlibat perbuatan terlarang. Ketika itu kutanya, dia memakiku. Hatiku remuk redam. Sakit sampai ke tulang sulbi. Tapi kupendam semuanya di dalam hati. Apa yang kuterima mungkin karena kesalahanku di masa lalu. Terlalu diperbudak cinta pada lelaki yang tidak benar-benar kukenali.

Baca: Nyonya N Bandar sabu Asal Bireuen Ditangkap di Medan

Semakin hari dia bertambah tidak bisa menetap lama-lama di rumah. Bila kutanya dia selalu menjawab ada bisnis. Akhirnya aku tidak peduli lagi. Biarlah dia dengan kehidupannya, dan aku dengan kehidupanku. Anak-anak telah kuungsikan ke rumah ibuku. Aku tak ingin uang haram masuk ke dalam aliran darah mereka. Akupun tidak mau bila diberikan uang itu.

Suatu sore, aku pulang dan menemukan rumah dalam keadaan kosong dan sedikit acak-acakan. Seorang tetangga datang memberitahu bila suamiku baru satu jam lalu dibawa oleh pria-pria bersenjata api dan memakai baju preman. Kata si tetangga, pria-pria asing itu merupakan polisi bidang narkoba.

Seketika lututku lemas. Terduduk dengan nafas naik turun. Ingin menangis tapi tak kuasa. Ingin memaki, tapi untuk apa?

Peristiwa penangkapan suamiku kuberitahu kepada keluarganya, juga kepada keluargaku. Ibuku memintaku pulang ke kampung. Aku janji, bila situasinya sudah normal, aku pasti pulang. Tapi kalimat ibu di seberang telepon membuat hatiku hancur.

“Sudah mak bilang, tinggalkan lelaki itu. Dia tidak punya akhlak. Selalu membuatmu susah. Pulanglah. Aku masih sanggup memberimu makan, aku masih sanggup memberikan anakmu makan. Mak masih kuat, nak.”

Aku pulang ke kampung. Di sana, kuluahkan segenap derita batinku kepada ibu. Ibu memelukku dengan penuh kasih sayang.

“Ureung menyo ka geujak meukat narkoba keu mita nafakah, nyan ureung paleng paleh. Meujadah that ureung meunan. Kasep neuk. Pasah laju ayah si Din. Meujadah that but jih ka. Kubah agam nyan, sigohlom aneuk keuh reuloh lage reuloh yah jih,” kata ibu dengan air mata bercucuran.

Tiga bulan setelah peristiwa itu, aku belum mengajukan fasakh. Jujur, aku masih mencintainya. Dia tetap pria yang berhasil menalukkan hatiku. Dialah pria yang berhasil meyakinkanku bahwa bila hidup bersamanya, aku akan bahagia.

Sesekali bila ada uang, aku menjenguknya di sel polisi. Kubawa rokok-rokok murah. Kubeli dengan uang yang kukumpulkan rupiah demi rupiah. Setiap melihat wajahnya yang kuyu, hatiku perih. Dia yang kukagumi, sepanjang hidup kami hanya bisa mempersembahkan luka yang mungkin tak pernah dia sadari.

Anak-anak sudah tahu ayahnya di dalam penjara. Mereka tahu ayahnya ditangkap karena menjadi penjual narkoba dalam paket-paket kecil. Aku memberitahu, supaya mereka tahu bahwa berjualan narkoba merupakan perbuatan terlarang dan sangat hina. Orang yang berjualan narkoba, adalah orang yang tidak percaya bahwa Allah Maha Kaya. Mereka yang berjualan narkoba adalah sahaya-sahaya setan yang sangat membenci Tuhan.

Tapi satu hal yang tetap kusampaikan. Seburuk-buruknya suamiku, mereka harus menghormatinya. Anak-anakku harus tetap menjunjung tinggi bahwa itu ayah mereka, seburuk apa pun yang sedang terjadi.

Kini, di balik jeruji besi, dia mulai mengeluh. Betapa tidak enaknya hidup di dalam tutupan. Tiap kali dia mengeluh, aku tidak menjawab. Aku tak tahu kapan dia akan disidang. Aku berharap dia berubah. Kami tak sanggup menyogok polisi. Aku tak sanggup menyuap jaksa. Kami tak sanggup menyediakan persekot untuk pengadilan.

Aku berharap suamiku menyadari itu. Bahwa dia hanya kroco yang menjadi anak buah bandar jahannam yang hidup mewah dengan merusak masa depan anak bangsa. Aku berharap suamiku sadar bahwa dia bukan siapa-siapa. Hanya tikus got di tengah bisnis haram yang mendapatkan perlindungan dari orang-orang besar.

Catatan: Kisah ini diceritakan oleh R kepada Komparatif.id

 

Artikel SebelumnyaTabrakan Maut Fuso vs Avanza di Bener Meriah, 5 Meninggal Dunia
Artikel SelanjutnyaSah! Masa Kerja Aulia Sofyan di Bireuen Diperpanjang
Redaksi
Komparatif.ID adalah situs berita yang menyajikan konten berkualitas sebagai inspirasi bagi kaum milenial Indonesia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here