Sejak Kampus Induk Universitas Almuslim dialihkan sebagai pesantren terpadu, Gang Pisang Keude Matangglumpangdua sudah jarang dilintasi mahasiswa. Di tengah laju perubahan, pasar buah tradisional itu diperkirakan akan mati.
Ismail (59) pria berkulit gelap, duduk di atas kursi kayu di sebuah warung kopi sempit dan sumpek di sudut pasar beton yang dibangun di sebelah kanan bekas pasar ikan Keude Matangglumpangdua, Bireuen, Aceh.
Dia sudah berhenti berdagang buah-buahan yang telah ditekuni puluhan tahun. Hal yang membuatnya harus pensiun karena faktor kesehatan. Sekarang Ismail kembali menjadi petani “suka-suka” yang jadwal kerjanya dia atur secara mandiri dan merdeka.
Sejak kembali bertani, berangsur-angsur kondisi tubuhnya pulih. Kakinya yang dulu sering kebas, sekarang tidak lagi bermasalah. Bercocok tanam di kebun merupakan aktivitas berkeringat yang membuat seluruh tubuhnya fit kembali. Otot dan urat-urat yang kaku pulih karena olah tubuh dengan aktifitas penuh gerakan.
“Alhamdulillah, sejak kembali bertani tubuh saya sudah segar lagi. Di belakang rumah saya membersihkan kebun pinang, menanam cabai, dan lain-lain. Bila lelah saya beristirahat. Sekarang tidur pun sudah sangat nyenyak,” kata Ismail, Rabu (4/5/2022).
Warga Gampong Mata Ie, Kecamatan Peusangan, Bireuen, Aceh itu punya lapak buah-buahan di Gang Pisang, sebuah jalan yang dulunya dikenal sebagai pusat perdagangan pisang di Peusangan. Dari gang itulah pisang thô diproduksi di masa lalu. Seiring berjalannya waktu, gang itu berubah menjadi pusat perdagangan buah-buahan di kota sate tersebut. Pisang thô pun tidak ada lagi.
Buah-buahan yang dijual ada yang berasal dari hasil pertanian lokal, serta “impor” dari Sumatera Utara. Para muge (penyalur buah) datang ke sana setelah Subuh, menurunkan buah-buahan kepada pemilik lapak, mengambil uang, dan kemudian pergi.
Ismail menjalani pekerjaan sebagai muge selama 25 tahun. Dia mengumpulkan buah-buahan dari kebun ke kebun, kemudian menjualnya ke pedagang di Matang.
Setelah gempabumi dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004, dia berhenti sebagai muge. Ayah beranak satu itu beralih menjadi pedagang buah di gang legendaris tersebut.
Beberapa waktu lalu, sebelum ia “pensiun”, Ismail sudah merasakan perubahan. Semakin hari bisnis jual-beli buah-buahan bertambah seret. Banyak yang harus gali lubang tutup lubang. Ismail sendiri harus menanggung rugi. Uang miliknya yang tersangkut di luar pernah berkisar Rp200 juta.
Ia menagih kepada siapa saja yang berutang. Pelan-pelan uangnya yang macet berkurang. Sekarang masih ada Rp70 juta yang belum dibayar. Uang itu tidak akan lagi dia tagih. Pun demikian tak pula ia ikhlaskan. Baginya siapapun harus bertanggungjawab atas perbuatannya. Bisnis bukan saja tentang produk, tapi juga perihal integritas.
Sembari mendengar Ismail bercerita, Komparatif.id mengalihkan pandangan ke gang sempit yang semraut itu. “Berapa lama lagi gang ini akan bertahan?”
Ismail tidak berani menaruh tenggat. Tapi dia yakin pasar buah yang berada di bawah rindangnya beringin raksasa yang berakar di pekuburan umum Teungku Digle, akan hilang.
Saat ini pasar-pasar tradisional terus bertumbuh. Bahkan warung-warung sembako serba ada sudah dibuka hingga ke kampung pelosok. Pasar buah yang menjadi substitusi penyangga pasar kelontong, akan kehilangan pembeli.
“Sekarang banyak pembeli yang berbelanja di kampung masing-masing. Mulai dari beras sampai sayuran dijual di kampung masing-masing. Tidak ada perbedaan harga dengan yang dijual di sini (Matangglumpangdua-red). Otomatis itu berdampak bagi pedagang buah-buahan,” katanya.
Dulu, pada momen-momen khusus seperti Ramadan, merupakan masa panen besar bagi Ismail dan pedagang buah lainnya. Setiap akhir Puasa dia bisa mengumpulkan uang Rp15 juta. Uang sebanyak itu dia sebut sesuatu yang dapat dirinya simpan di rumah. Semacam keuntungan, tapi dia tidak menyebutkannya.
Tapi sekarang tidak lagi. Bahkan seringkali buah yang dijual harus dilego murah-murah, yang penting laku, dari pada harus dibuang.
Ramadan kali ini dia tidak lagi berjualan. Lapaknya disewakan Rp15 ribu per bulan kepada koleganya, dengan catatan bila sesekali dia ingin berjualan, harus diberikan.
“Rp15 ribu bukan uang sewa sih. Hanya pengikat bila lapak saya ada yang menjaga sembari dipergunakan seperlunya. Bila sesekali saya ingin berjualan, langsung bisa masuk,” katanya.
Bukan hanya Ismail yang memperkirakan bila Gang Pisang–sebutan informal untuk jalur keluar dari arah selatan Keude Matanglumpangdua. Beberapa sumber juga mengatakan hal yang sama.
Penataan pasar merupakan hal yang menyebabkan pasar buah itu ikut terdampak. Pedagang ikan dan sayuran dipindahkan ke tempat lain, yang berjarak sekitar tiga kilometer dari sana.
Mata rantai simbiosis mutualisme antar barang dagangan terputus. Belanja buah yang sebelumnya dilakukan sebagai aktivitas kedua oleh banyak orang, kini justru berpindah ke tempat lain.
Kemudian munculnya pasar-pasar baru yang dibuka secara mandiri oleh masyarakat di kecamatan-kecamatan hasil pemekaran. Hal itu ikut menggerus pembeli.
Juga perubahan perilaku konsumsi masyarakat, yang saat ini ingin serba instan. Ketimbang membeli buah, mereka lebih senang membeli makanan yang sudah siap konsumsi.
Berkurangnya jumlah mahasiswa di Universitas Almuslim dan dialihfungsikannya Kampus Induk Umuslim ikut memberikan dampak. Diakui atau tidak, mahasiswa ikut menjadi konsumen buah-buahan yang dijual di sana, baik sebagai konsumen langsung, maupun tidak langsung.
Satu hal lagi, kepemilikan kendaraan pribadi yang kian menjamur merupakan faktor yang tidak kalah penting.
Sekarang, siapa saja dapat berbelanja di tempat yang disukai, karena tidak lagi bergantung pada kendaraan umum. Orang dapat menjual apa pun di manapun, tanpa harus khawatir tidak laku.
“Buah-buahan akan selalu laku, tapi pasar buah ini suatu saat akan hilang,” kata Ismail sebelum Komparatif.id menutup bincang-bincang ringan di bawah naungan kedai kopi ringkih yang menjual kopi dengan harga kelas bawah; murah meriah.