Gang Itam & Kisah Kenakalan di Samping Terminal Bireuen

Terminal Bireuen gang itam
Suasana terminal Bireuen sekitar tahun 1978. Foto: Koleksi Khairil Miswar.

Komparatif.ID, Bireuen– Gang Itam merupakan salah satu tempat legendaris di Bireuen. Geliat dunia malam di sana diramaikan oleh kenakalan yang tidak pernah berujung kriminal.

Sekitar tahun 1988 Gang Itam yang berada di sisi barat Terminal Lama Bireuen, muncul akibat berpindahnya loket-loket PO bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) ke Terminal Baru di Pulo Ara yang berjarak sepelemparan batu.

Satu deret ruko lantai satu, di gang sepanjang 45 meter–saat ini lurus ke belakang dari tempat berdirinya ATM Induk Bank Aceh Syariah Cabang Bireuen.

Baca: Menelusuri Sejarah Terminal Bireuen

Nama Gang Itam dilakapkan secara informal untuk sebuah lorong di Dusun Kommes, Gampong Meunasah Capa. Toponomi itu sebagai bentuk identitas karena gang tersebut merupakan area pusatnya kenakalan di Kota Bireuen.

Sejumlah narasumber kepada Komparatif.ID, Senin (1/1/2024) menyebutkan meskipun namanya terkesan seram, tapi Gang Itam sekadar lokasi berperilaku “nakal”. Tidak ada tindak kriminalitas di tempat tersebut.

Bila mengenang Gang Itam, maka yang terlintas hanyalah kelucuan. Tidak ada kekerasan. Inilah yang unik gang tersebut. Meski miras dan kemesuman menjadi identitasnya.

Aktifitas kenakalan di Gang Itam dimulai setelah Asar. Terminal Lama yang dikenal sebagai Terminal BE, yang menjadi tempat ngetem labi-labi (sudako) mengakhiri aktivitasnya pada pukul 17.00 WIB.

Baca: Tari Singkil; Lenggok Putri Kipas Maranao

Di pangkal–tepi jalan– berdiri loket Bireuen Express (BE), kemudian secara tak berurut ada tambal ban, jasa laundry (dobi), warung nasi, sejumlah ruko kosong, dan di ujung ada sebuah warung kopi. Total ada 10 ruko beton.

Gang tersebut ramai sepanjang pekan. Tidak ada malam libur. Setiap malam merupakan “malam Minggu”.

Tidak jauh dari gang itu; di seberang jalan, berdiri sebuah doorsmeer yang bila malam menjadi tempat mangkal anak muda kota. Di tempat itu mereka bergitar dan menyanyi.

Ada dua lagu yang bisa dinyanyikan oleh semua orang di tempat itu. Yaitu tembang Aryati yang digubah oleh Ismail Marzuki pada 1939. Lagu tersebut merupakan tembang evergreen. Kemudian lagu Flamboyan miliknya Bimbo. Lagu paling hits tentu saja Hongky Tonk Moment miliknya Rolling Stone.

I met a gin-soaked, bar-room queen in Memphis

She tried to take me upstairs for a ride

She had to heave me right across her shoulder

‘Cause I just can’t seem to drink you off my mind

Lazimnya pusat-pusat kenakalan lainnya di seluruh dunia, di Gang Itam juga terdapat tiga perempuan yang menjadi favorit para petualang lendir kelamin. Perempuan-perempuan itu berparas cantik. Bertubuh tinggi semampai, ada yang berkulit hitam, ada yang kuning langsat.

Mereka tidak sepenuhnya mencari uang dengan melayani kencan para pria hidung belang. Siang hari, perempuan-perempuan itu memiliki pekerjaan lainnya. Salah satunya sebagai petugas setrika di dobi.

Ada seorang lainnya yang dikenal dengan B- 13, seorang perempuan asal Pulau Jawa yang menjadi transmigran di salah satu desa di pedalaman Bireuen.

B-13 punya paras yang lumayan. Setiap sore berangkat ke Bireuen untuk mencari uang tambahan. Dia tidak melayani booking di hotel. Ia menerapkan kencan kilat. Layanan short time yang diterapkannya demi mendapatkan pelanggan yang lebih banyak. Tempat ia melayani pelanggan pun tidak di atas tempat tidur. Tapi di gudang-gudang PO bus di sekitar Gang Itam.

Orang-orang mabuk yang paling umum beraktivitas di sana pada malam hari. Sembari minum Stevenson, bir Bintang atau minuman keras lainnya, mereka pèh t’èm sampai subuh. Demikian juga yang mengisap gelek.

Sebagian lainnya, bila usai minum bir, menuju Hotel Murni  bermain biliar. Ada juga yang melepas hasrat bersama “mawar hitam” yang di-booking per jam.

“Uniknya di gang tersebut, meski penuh dengan kemesuman dan keyeleran, tapi tidak ada kejahatan. Pemabuknya tertib. Bahkan tidak ada copet di sana. Apalagi maling motor. Di sana yang ada perilaku nakal, bukan kriminal,” kenang seorang sumber yang pernah jalan-jalan ke Gang Itam. Testimoni tersebut diamini oleh rekan-rekannya yang ditemui Komparatif.ID, di sebuah warkop di Kota Bireuen.

Siapa saja yang mengisi langit gelap Gang Itam? Mulai dari orang terminal, tukang becak, anak muda yang sedang mencari identitas, hingga aparat keamanan yang masih berusia muda.

Tidak ada kelas sosial di sana. Semuanya menyatu sebagai pengunjung yang meramaikan gang tersebut hingga subuh.

Di bulan Ramadan, warung nasi di gang itu tetap buka. Melayani pelanggan yang tidak melaksanakan ibadah puasa Ramadan.

Gang Itam tidak dijadikan tempat mangkal oleh para tokoh terminal. Para tokoh itu justru kongkow ke Kota Lhokseumawe. Mereka berkumpul di warung terapung, tidak jauh dari Hotel Lido Graha.

“Para tokoh terminal yang semuanya murah hati, tidak ke Gang Itam. Mereka kongkow ke Lhokseumawe,” sebut sumber Komparatif.ID.

Sesekali warga Kommes melakukan razia. Bila sedang dirazia, gang itu sepi sebentar. Kemudian ramai lagi. Demikian terus-menerus hingga bubar pada era 2.000, seiring menguatnya Aceh Merdeka di Bireuen yang telah menjadi kabupaten. 

Aryati

ikau mawar di taman khayalku

Tak mungkin dikau terpetik daku

Walaupun demikian nasibku

Namun aku bahagia seribu satu malam.

Catatan redaksi: Reportase ini dilarang dikutip sebagian atau seluruhnya untuk untuk kepentingan komersil pada semua platform media sebelum 27 Februari 2024.

Artikel SebelumnyaMaSA Gelar Peringatan 473 Tahun Laksamana Malahayati
Artikel SelanjutnyaKaleidoskop 2023 MS Jantho: Komitmen Perbaikan Pelayanan
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here