Komparatif.ID, Banda Aceh—Teroris keluarga (family bombing) merupakan tindakan terorisme gaya baru yang telah menjalar ke Indonesia. Beberapa kejadian seperti di Surabaya, Makassar, Sibolga, dan beberapa daerah lainnya merupakan contoh praktiknya.
Demikian disampaikan oleh Kombes Pol Dedi Tabrani, S.I.K.,M.Si, penulis buku Terorisme Keluarga, Kamis (15/9/2022) pada diskusi daring bertajuk “Menakar Gerakan Terorisme di Aceh”, yang diselenggarakan oleh The Aceh Institute.
Dr. Dedi menjelaskan, gerakan terorisme yang awalnya dilakukan oleh laki-laki, kemudian perempuan, selanjutnya anak-anak, orang-orang yang punya kaitan keluarga, dan sekarang telah berevolusi bahwa seluruh anggota keluarga inti akan dijadikan martir demi tercapainya tujuan kelompok.
“Levelnya saat ini sudah pada tahapan paling keji. Mengorbankan diri, istri dan anak-anak sendiri, demi mencapai misi yang dianggap suci,” kata Kombes Pol Dr. Dedi Tabrani.
Praktik family bombing yang pertama kali dan itu menghentak alam sadar publik Indonesia, kata Dedi, terjadi pada Mei 2018 di Surabaya.
Dita Oepriarto (48) bersama istrinya bernama Puji Kuswati (43) dan empat anak mereka masing-masing berusia 9, 12, dan 16, dan 18 tahun meledakkan diri di tiga gereja, kantor polisi, di komplek rusun di Sidoarjo dan Surabaya. Peristiwa memilukan itu terjadi pada Minggu (13/5/2018).
Family bombing, merupakan fenomena ketika gerakan terorisme telah berevelusi menjadi aksi yang lebih independent. Siapa saja yang bersedia mati dengan menyerang target yang dianggap toghut, maka boleh melakukan aksinya.
Istilah yang digunakan untuk aksi-aksi tersebut yaitu lokalisasi jihad; yang merupakan model baru gerakan terorisme yang digerakkan oleh JAD, dengan induk organisasinya ISIS.
“Setelah kematian Usamah bin Laden, gerakan terorisme kehilangan sosok panutan. Di situlah muncul ISIS yang dipimpin oleh Abubakar Al-Bahgdadi. Daulah Islamiyah kemudian menjadi monopoli ISIS yang dalam perjuangannya menetapkan seluruh komponen di luar ISIS sebagai musuh (toghut) dan harus dihancurkan,” sebut Dedi.
Di Indonesia, tokoh-tokoh intelektual organik penganjur kekerasan seperti Abu Bakar Ba’asyir, Maman Abdurahman langsung berbaiat kepada Abubakar Al-Baghdadi setelah sang pentolan jihadis ISIS mendeklarasikan diri sebagai khalifah.
Namun, setelah ISIS kalah dan Al-Bagdadi tewas, terjadi perubahan perjuangan. Yaitu menjadi sangat lokal dengan target juga sangat mikro. Saat ini, anggota dan siapa saja yang bersimpati kepada gerakan terorisme yang dibalut dalam “pakaian jihad” dapat melakukan aksi-aksi lokal untuk menyasar target yang disebut toghut. Aksi Dita beserta istri dan anak-anaknya merupakan contoh.
“Mereka pun cukup bergerak dengan isu lokal. Tidak butuh isu internasional. Dengan ketimpangan daerah, mereka bisa melakukan aksinya yang sekarang trend dengan konsep family bombing,” sebut Dedi.
Dari Keluarga Berpendidikan dan Ramah
Kombes Pol Dr. Dedi Tabrani menjelaskan, bila dulu ada anggapan bahwa pelaku terorisme berasal dari kalangan dengan pendidikan menengah ke bawah dan miskin, sekarang sudah berubah.
Bila dulu pelaku terorisme adalah individu yang tertutup dari masyarakat, sekarang juga sudah berubah.
Keluarga Dita melakukan amaliyah secara independent di Surabaya, berasal dari keluarga yang bergaul dengan masyarakat. Dita merupakan bendahara di kompleksnya. Dia dan keluarga sangat ramah kepada nonmuslim.
Sehari-hari Dita memakai celana jeans dan berbaju casual. Dia dan istrinya juga keluarga mapan dan berpendidikan tinggi.
“Dita dan keluarganya modis. Bergaul, aktif, dan tidak sedikitpun ciri-ciri yang dipahami secara umum, melekat di mereka. tidak ada celana cingkrang, mereka juga sarjana,” sebut Dedi.
Dedi juga menjelaskan, dalam penelitiannya berhasil menemukan bahwa yang terpengaruh dengan ideologi teroris bisa dari kalangan apa saja. Oknum TNI dan Polri yang dididik dengan nasionalisme sangat kuat bisa terpengaruh. Demikian juga oknum di BNN, BUMN,PNS, nelayan, petani, dan entitas-entitas lain.
Wahabi Takfiri
JAD merupakan organisasi terorisme di Indonesia yang selama ini menjadi penggerak di belakang sejumlah aksi terorisme di Nusantara, merupakan jaringan teror yang berpaham Wahabi Takfiri.
Kombes Pol Dedi menyebutkan JAD sudah ada di Aceh sejak tahun 2016. Mereka merupakan pengikut Cholid Abu Bakar Basymeleh, Abu Umar, Abu Nuh.
Di Aceh kelompok terorisme Wahabi Takfiri tersebut salah satunya kelompok Aulia Cs. Dalam gerakannya Aulia melibatkan istri dan orangtuanya.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Pengamat Terorisme sekaligus akademisi Universitas Malikussaleh Dr Al-Chaidar. Dia menyebutkan saat ini di Aceh ada tiga kelompok Wahabi. Yaitu Wahabi Salafi, Wahabi Jihadi, dan wahabi Takfiri (Khawarij). Jihadi dan Takfiri merupakan aliran yang selama ini menjadi bagian dari terorisme di Indonesia dan di Aceh.