Empat pulau yang kini menjadi objek sengketa antara Aceh dan Sumut yaitu Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang, merupakan polemik yang harus diselesaikan secepatnya.
Isu ini sangat kompleks dan panjang, di mana aspek historis, geografis, hukum, serta kebudayaan saling terkait, dan yang paling penting adalah hak Aceh sebagai entitas yang sejak lama memelihara dan mengelolanya.
Seiring berkembangnya narasi ini, kita perlu menegaskan: keberpihakan terhadap Aceh adalah pilihan yang paling beradab dan tepat.
Baca: 4 Pulau Hilang dan Singkil yang Terlupakan
Sejak 1965, Aceh telah menjalankan pelayanan langsung di empat pulau ini. BPN (dulu ATR/BPN) menerbitkan surat kepemilikan lahan atas nama Teuku Daud bin Teuku Radja, dan mulai menyelenggarakan penerbitan sertifikat dan pelayanan publik di sana.
Meskipun statusnya belum resmi hingga pembayaran pajak, artinya Aceh sudah menunjukkan effective occupation—yaitu klaim melalui tindakan sehari-hari seperti pelayanan administrasi dan infrastruktur sejak lama di empat pulau itu.
Usaha nyata Aceh dan Kabupaten Aceh Singkil pada periode 2007–2015 adalah bukti lebih lanjut, yaitu dengan dibangunnya dermaga, rumah singgah, musala, dan tugu batas. Jika negara lain seperti Malaysia berhasil memenangkan sengketa Pulau Sipadan & Ligitan berlandaskan effective occupation seperti yang dipelajari oleh mahasiswa Malaysia (Nur Fareha et al., 2019), maka Aceh pun kuat untuk berdiri di atas argumentasi yang sama atas empat pulau itu.
Peta Topografi TNI AD tahun 1978 dan Peta RBI sering dipakai sebagai argumen bahwa keempat pulau memang “secara geografis” berada di area Sumut. Namun perlu ditegaskan: peta-peta tersebut bersifat indikatif, bukan perangkat hukum definitif—tidak memiliki kekuatan legal layaknya peraturan menteri atau undang-undang.
Bahkan Kementerian Dalam Negeri dan pusat pada 30 November 2017 dan 25 Februari 2020 jelas menyatakan bahwa peta tersebut bukan referensi administratif resmi . Jadi, anggapan bahwa lokasi geografis mutlak menentukan status pulau adalah sebuah kesalahan konsep.
Bahkan jika letak geografis mendekat ke Tapanuli Tengah—itu hanya jarak biasa, bukan definisi legitimasi–Aceh sudah menunjukkan tindakan nyata jauh lebih kuat daripada sekadar ‘kedekatan geografis’ yang sering suarakan oleh Sumut.
Rekam Jejak Keberpihakan Aceh di Empat Pulau
Bukan hanya ketersediaan layanan publik, tapi Aceh juga menegakkan kekuatan hukum dan nilai kebudayaan melalui qanun—seperti larangan melaut pada hari Jumat yang disepakati bersama, berlaku pula bagi nelayan dari luar Aceh.
Hal ini merupakan wujud konsistensi pengelolaan adat budaya Aceh dan juga merupakan suatu bentuk pembuktian nyata bahwa Aceh telah membangun otoritas lokal sejak lama—lalu bagaimana Sumut bisa tiba-tiba memenangkan klaim wilayah?
Keadilan mensyaratkan pengakuan terhadap jejak pengelolaan aktif serta sosiokultural tersebut.
Proses panjang sejak 2008 hingga 2025 menunjukkan betapa Aceh—melalui Gubernur dan Bupati Aceh Singkil—secara konsisten mengajukan surat dan keberatan. Tidak hanya meminta penegasan koordinat, tetapi juga mengusulkan revisi Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang hingga mendorong pengakuan nasional sementara (2022) hingga 2025. Rangkaian ini menunjukkan perjuangan Aceh untuk memperoleh haknya menggunakan pendekatan birokratis yang sah.
Sayangnya, keputusan yang diambil—antara lain Kepmendagri No. 300.2.2‑2138 Tahun 2025—tetap menempatkan empat pulau ini di wilayah Sumut. Padahal, konsultasi publik, survey lapangan pada Mei–Juni 2022, dan temuan nyata penanaman sarana infrastruktur menunjukkan sebaliknya—Acehlah yang konsisten hadir dan merebut keintiman territorial.
Dalil Effective Occupation
Sengketa pulau seperti Sipadan–Ligitan (Indonesia vs Malaysia) membuka rujukan penting: effective occupation sekaligus penggunaan nyata dalam pelayanan publik menjadi faktor penentu diferensiasi pengelolaan. Aceh punya keramahan terhadap wilayahnya lewat dermaga, musala, pagar batas, dan izin wisata reliji turun-temurun. Ini merupakan argumentasi kuat dan bagi Aceh tetap SASAR—sesuai hukum internasional meski secara administratif diabaikan.
Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Tapanuli Tengah tak menunjukkan tanda-tanda pemeliharaan atau pengelolaan matang atas pulau-pulau tersebut—sejak sebelum 2008 hingga saat ini, tidak ada pembangunan infrastruktur, pelayanan langsung, atau bahkan regulasi lokal. Fakta ini semakin memperkuat argumentasi Aceh bahwa Sumut hanya mengklaim geografis ketimbang menjalankan tanggung jawab untuk memerintah dan memfasilitasi.
Bukti ini tidak lain adalah hanyalah sebuah kasus di mana “klaim administratif” tanpa tindakan nyata menjadi sebuah upaya yang bukan hanya prematur, tapi juga tidak adil.
Oleh karena itu, dengan semangat keadilan, keberpihakan terhadap Aceh tak boleh dipandang ringan. Ada beberapa rekomendasi konkret agar polemik ini segera berakhir:
Pertama, mendesak Kemendagri untuk mengkaji ulang dan memperbarui Kepmendagri 300.2.2‑2138 Tahun 2025. Revisi harus mencerminkan data obyektif berdasarkan survey 2022 dan jejak pelayanan lapangan Aceh.
Kedua, percepatan penerbitan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang batas kewenangan antar provinsi yang mencantumkan Aceh sebagai wilayah definitif pengelola empat pulau tersebut.
Ketiga, audit dan koordinasi kementerian/lembaga seperti BIG, KKP, ATR/BPN, dan TNI AD untuk menyesuaikan RZWP3K Sumut agar pulau-pulau tersebut tidak tercantum di wilayah mereka, melainkan di wilayah Aceh.
Keempat, penguatan qanun untuk menegaskan kearifan budaya lokal, sehingga peralihan pengawasan tidak hanya administratif tetapi juga berhawa lokal.
Kelima, sosialisasi dan kolaborasi pemangku kepentingan lokal, dalam bentuk forum bersama Aceh, Sumut, Pusat, serta masyarakat setempat, untuk memastikan gelombang aspirasi pulau tidak menjadi lahan konflik administratif lanjutan.
Kita harus menyadari satu hal utama: pengakuan wilayah mesti dibangun—dan Aceh sudah membangunnya. Aceh telah menanamkan jejak budaya, pelayanan, administrasi, dan hukum yang konsisten sejak puluhan tahun, jauh sebelum Sumut muncul dengan semangat klaim kemarin sore atas empat pulau ini. Keputusan administratif yang menyimpang dari logika historis dan operasional adalah bentuk distorsi ham.
Maka keberpihakan terhadap Aceh menjadi wujud penghormatan terhadap konsistensi, kerja nyata, dan kedaulatan budaya sebuah provinsi. Aceh layak diperhatikan bukan karena ingin merebut, tetapi karena telah menghidupkan keempat pulau itu selama bertahun-tahun.
Saatnya hadir tenggang rasa administrasi—bukan klaim berbasis formalitas tanpa realisasi. Menteri, DPR, dan lembaga hukum mesti memberi jalan bagi pengembalian wilayah tersebut ke Aceh tanpa konflik panjang. Bukan untuk “memberikan”, tetapi “mengakui dan memulihkan”. Ingat, keempat pulau itu adalah kantong budaya dan pangkal pemerataan, yang semestinya berada dalam rangka keadilan kedaulatan lokal—tidak ada yang hilang, hanya pemulihan hak Nusantara.