Oleh: Muhammad Jais, SE, M.Sc.IBF
***
Tujuan utama diberlakukan sistem ekonomi dan keuangan syariah di Aceh untuk menunjang perkonomian dalam lingkup syariah dengan agar tercapainya kemaslahatan dunia dan akhirat, serta tujuan akhirnya ialah kemakmuran bagi masyarakat secara menyeluruh.
***
Sejak resmi diimplementasikan pada Januari 2019 lalu, Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) memantik pandangan beragam. Masyarakat yang terbiasa dengan layanan ekonomi dan keuangan konvensional sudah kadung nyaman. Mengubah kebiasaan yang telah lama dinikmati tentu bukan perkara mudah. Apalagi beragam masalah layanan keuangan di Aceh bermunculnya akhir-akhir ini akibat minggatnya seluruh bank konvensional. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah layanan perbankan syariah justru merugikan ekonomi Aceh?
Jawabannya tentu tidak sederhana. Pertama harus diketahui bahwa pelambatan kondisi ekonomi di Aceh sudah terjadi sejak sebelum adanya qanun LKS. Penyebabnya beragam, sekalipun Aceh kembali memakai layanan konvensional, hal itu tidak serta-merta akan memulihkan atau mempercepat laju ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi Aceh masih sangat bergantung pada uang-uang yang dialiri oleh anggaran belanja nasional atau daerah. Belum lagi perihal tingginya tingkat pengangguran, sumber daya alam yang belum dikelola dengan maksimal, struktur industri yang masih lemah, serta fungsi intermediasi perbankan yang belum optimal saling tumpang-tindih menyebabkan melemahnya ekonomi Aceh.
Patut dicatat bahwa alasan diimplementasikannya qanun LKS bukan saja untuk mengkonversikan seluruh sistem ekonomi dan keuangan yang di Aceh menjadi syariah, tetapi juga mencoba memberikan kontribusi kepada perekonomian Aceh dalam hal distribusi pendapatan, kekayaan, atau aset yang mendorong produktivitas sektor riil. Qanun LKS berangkat dengan semangat revolusioner, qanun ini mengatur lebih banyak dimensi yang berpotensi mengembangkan roda ekonomi Aceh bila dilaksanakan dengan maksimal.
Salah satu hal yang menarik didalam qanun LKS terletak pada pasal 14, tentang porsi pembiayaan yang harus disalurkan oleh bank syariah yang ada di Aceh untuk sektor UMKM, dan sektor produktif pada tahun ini minimal sebesar 20 persen, dan pada 2024 harus mencapai 40 persen. Karena disadari atau tidak, perekonomian Aceh saat ini neracanya tidaklah seimbang. Artinya, pembiayaan atau kredit disalurkan ke sektor pinjaman yang sifatnya konsumtif.
Dan juga pada 2024 diatur dalam Qanun tersebut, minimal 40 persen struktur pembiayaannya harus dalam bentuk pembiayaan berbasis bagi hasil (mudarabah, musyarakah, dll). Qanun ini juga sangat maju, bukan saja mengatur model atau bentuk lembaga keuangan yang harus syariah, tapi juga syariah yang bagaimana? Yaitu syariah yang pro kepada UMKM dan sektor produktif serta syariah yang berprinsip pada bagi hasil.
Tujuan utama diberlakukan sistem ekonomi dan keuangan syariah di Aceh untuk menunjang perkonomian dalam lingkup syariah dengan tujuan kemaslahatan dunia dan akhirat, serta tujuan akhirnya ialah kemakmuran bagi masyarakat secara menyeluruh.
Ekonomi dan keuangan syariah memiliki potensi besar untuk memajukan ekonomi daerah, sasaran utamanya ialah masyarakat menengah bawah serta pelaku UMKM. Justru sistem ekonomi konvensional malah kerap merugikan masyarakat dengan skema ribawi (bunga) dan hal-hal lain seperti gharar (keraguan), dan maysir (judi). Biaya lain yang cukup tinggi dan sistem bunga dalam keuangan konvensional juga diharamkan menurut hukum Islam. Sehingga qanun LKS bukan hanya memberikan solusi duniawi, tapi juga sesuai semangat masyarakat Aceh yang menyandarkan hidupnya dengan asa-asas keislaman.
Tidak bisa dipungkiri bahwa adanya persamaan antara produk ekonomi syariah dengan keuangan konvensional, dan menganggap sistem keuangan syariah hanya produk ganti kulit saja. Untuk bisa menjawabnya, perubahan ini harus dilihat secara koprehensif. Produk keuangan syariah dikembangkan dengan mengikuti aturan dan ketentuan hukum akad-akad syariah, untuk menghilangan riba dan aspek terlarang lainnya yang ada dalam produk keuangan konvensional. Produk-produk keuangan syariah terus berkembang mencari bentuknya tersendiri yang berbeda dengan konvensional. Seringkali masyarakat salah paham kepada perbankan syariah sehingga gagal melihat perbedaan-perbedaan tersebut.
Gagalnya melihat gambaran besar yang ditawarkan ekonomi syariah akan sangat merugikan. Sebelum pemangku kebijakan sibuk dengan masalah dan perihal teknis, masyarakat harusnya lebih dahulu diberikan pergertian dan sosialisasi. Sehingga semangat mulia yang ingin dicapai mampu berjalan beriringan dengan kondisi di lapangan yang dihadapai masyarakat. Terakhir, perubahan sistem ini merupakan peluang besar bagi Aceh, implementasi keuangan syariah, pariwisata syariah, produk halal, rumah sakit syariah dan lain-lain, akan menempatkan Aceh sebagai kiblat ekonomi syariah. Insyallah!
Penulis adalah Alumni S2 Islamic Banking and Finance di International Islamic University Malaysia (IIUM) dan Ketua Indonesian Forum for Sustainable Islamic Economics and Finance (INFoSIEF)