Komparatif.ID, Beijing—Ekonomi China saat ini mengalami gangguan rantai pasok. Hal ini disebabkan oleh perang Ukraina-Rusia dan lockdown total yang diterapkan Pemerintah China di beberapa daerah penting, menimbulkan beban perekonomian negara tersebut.
Dilansir China South Morning, Rabu (13/4/2022) disebutkan penguncian wilayah kota-kota Pelabuhan untuk membendung Omicron telah menyebabkan lonjakan harga komoditas. Hal itu ditambah oleh efek langsung dari perang antara Ukraina dan Rusia.
Catatan Administrasi Umum Kepabeanan China, tingginya permintaan domestic telah mulai menyebabkan gangguan rantai pasok pada ekonomi China.
Impor Maret turun 0,1 persen YoY menjadi US$228,7 miliar. Ini enurunan pertama sejak Agustus 2020.
Pembelian dari Kanada anjlok 28,2 persen, diikuti oleh penurunan pembelian dari AS sebesar 12 persen dan penurunan 11,6 persen dari Uni Eropa. Impor dari Rusia, pemasok energi utama bagi China, naik 26,4 persen bulan lalu.
Ekspor China naik 14,7 persen dari tahun sebelumnya menjadi US$276 miliar bulan lalu, melambat dari 16,3 persen dalam dua bulan pertama.
“Impor yang lemah kemungkinan mencerminkan kerusakan akibat wabah Omicron, yang memperlambat aliran barang melalui pelabuhan utama di China,” kata Zhiwei Zhang, Kepala Ekonom di Pinpoint Asset Management.
Penguncian wilayah di Pelabuhan Shenzhen–pelabuhan terbesar keempat di dunia—telah menangguhkan sebagian besar kegiatan ekonomi selama seminggu pada pertengahan Maret, sementara pusat komersial Shanghai – rumah bagi pelabuhan tersibuk di dunia – dikunci akhir bulan.
Kegiatan impor kemungkinan akan tetap melemah selama dua bulan ke depan, disebabkan oleh menurunnya pesanan di tingkat domestic. Pertumbuhan ekspor kemungkinan akan melambat pada April karena gangguan rantai pasokan, kata Zhang.
Zhang juga menyebutkan, lockdown telah menyebabkan warga China melakukan penimbunan makanan di seluruh negeri. Sebagai bagian dari rantai pasok ekonomi dunia, China mengimpor beragam produk setengah jadi untuk diproses sebelum diekspor kembali.
Kondisi ini menarik perhatian para analis, yang memberikan peringatan kepada pemerintah China bahwa negara tersebut sangat rentan terhadap lonjakan harga komoditi seperti minyak mentah, bijih besi, hingga biji-bijian. Komoditas tersebut selama ini diimpor oleh China dan kemudian dijual Kembali sebagai barang siap pakai.
Impor minyak mentah turun 14 persen YoY menjadi 42,7 juta metrik ton pada Maret, karena harga internasional melonjak menyusul invasi Rusia ke Ukraina.
Patokan harga minyak mentah Brent sempat mencapai level tertinggi 13 tahun di US$139 per barel setelah negara-negara Barat memberikan sanksi kepada Rusia.
Pada bulan Maret, pembelian bijih besi, bahan utama pembuatan baja yang penting untuk konstruksi domestik, turun 14,5 persen menjadi 87,28 juta metrik ton.
Sementara itu, China mengimpor sekitar 12 juta metrik ton biji-bijian bulan lalu, turun 5,6 persen dari tahun sebelumnya.
Penurunan impor dapat mengakibatkan ekspor segera terpukul. Jika itu terjadi, Beijing perlu lebih mengandalkan investasi, termasuk di bidang real estat dan infrastruktur, untuk mencapai target pertumbuhan tahunan “sekitar 5,5 persen” untuk tahun ini.
Ekspor China sangat tinggi selama dua tahun terakhir, saat banyak negara kehilangan kemampuan produksi mereka tetapi memiliki permintaan yang kuat untuk peralatan medis dan rekreasi di tengah pandemi.
Ekspor bersih tahun lalu menyumbang seperlima dari pertumbuhan ekonomi China, atau 1,7 poin persentase, setelah berkontribusi pada kenaikan 0,7 poin persentase pada tahun 2020.