Mohammad Sobary telah berpisah dengan rokok dalam waktu yang lama, sampai kemudian dia merokok kembali setelah terlibat bersama petani tembakau yang melawan aturan pemerintah yang membuat oleng lahan mata pencaharian mereka. Sobary mengakui hal itu sebagai perlawanannya sekaligus pembelaan terhadap para petani tembakau. Keterlibatan Sobary lalu dibukukan, dengan judul Perlawanan Politik dan Puitik Petani Temanggung, setelah dipertahankan pada sidang doktoral di Departemen Antropologi Universitas Indonesia.
Saya mengingat kembali Sobary setelah membaca balasan sengit Khairil Miswar terhadap Muazinah Yacob mengenai seluk beluk dunia tembakau sundut. Tentu saja, Khairil membantah segala argumen Muazinah. Secara subjektif, Khairil adalah seorang perokok. Dia mengakui dalam tulisannya itu, sedangkan Muazinah adalah orang yang sering terpapar asap sigaret.
Khairil meminta ruang agar perokok menjelaskan posisi mereka serta menolak untuk diadili. Apa yang diinginkan Khairil, dapat dipahami, terutama oleh saya yang tidak merokok.
Baca: Biarkan Perokok Menerjemahkan Dirinya
Beberapa teman perokok. Bahkan, kalau diingat-ingat mayoritas teman saya perokok. Tentu saja, menjengkelkan karena paparan asapnya itu menerpa saya. Tetapi, meminta mereka tidak merokok ketika berbincang – – terutama di warung kopi – – sama saja membubarkan meja pertemuan. Bagi perokok, mengopi sekaligus merokok adalah energi untuk melahirkan pemikiran (apa pun bentuknya) sehingga mendorong meja percakapan menjadi lebih menarik.
Lalu bagaimana cara saya menghindari asap rokok–sebab tidak mungkin meminta perokok untuk menghentikan aktivitasnya itu. Pertama dengan mengatur posisi kursi, syukur-syukur meja kopi berdekatan dengan kipas angin. Kedua, memakai masker. Cara kedua ini sangat relevan saat Covid-19. Masker membuat kita tidak saja terhindar dari Covid, tetapi juga asap. Ketiga, tidak perlu membuat janji untuk mengopi.
Apa yang diperdebatkan oleh Khairil dan Muazinah hemat saya akan menjadi perdebatan sepanjang zaman. Sebab, sampai saat ini, belum ada satu pun teknologi yang dapat membasmi tembakau yang telah dilinting dalam bentuk batangan. Lalu, di saat sama, kader perokok terus saja tumbuh. Mendorong ruang publik antirokok saya kira merupakan satu alternatif. Tentu saja, ini berhubungan dengan perubahan etika publik dalam melihat apa yang patut dan tidak.
Baca: Perokok dan Rasa Malu
Sekarang, kita tidak pernah melihat pejabat publik merokok, guru merokok di kelas, atau atlet merokok setelah bertanding. Hal itu dimungkinkan terjadi karena adanya perubahan etika publik.
Dengan keadaan demikian, perokok sebenarnya semakin terdesak di pinggir, tetapi karena kebanyakan mereka adalah para militan, perubahan etika publik ini pun malah membuat mereka semakin kuat.