Dunia Menuju Krisis Pangan

Seorang perempuan sedang antri bantuan Pemerintah Bangladesh saat negara itu dilanda Covid-19 pada tahun 2020. Saat ini krisis pangan di sana semakin mengerikan, yang menyebabkan jatuhnya kekuasaan pemerintah. Foto: Mahmud Hossain Opu/Dhaka Tribune
Seorang perempuan sedang antri bantuan Pemerintah Bangladesh saat negara itu dilanda Covid-19 pada tahun 2020. Saat ini krisis pangan di sana semakin mengerikan, yang menyebabkan jatuhnya kekuasaan pemerintah. Foto: Mahmud Hossain Opu/Dhaka Tribune

Krisis pangan sedang membesar di seluruh dunia. Sejumlah negara mulai merasakan dampak serius.

Bangladesh telah hancur. Di setiap penjuru, rakyat negara yang merdeka tahun 1971, itu hidup dalam penderitaan. Kini tak ada lagi rakyat yang percaya pada pemerintah dan oposisi. Karena konflik kekuasaan telah membuat mayoritas warga negara hidup menderita.

Bangladesh telah memasuki krisis multi dimensi terburuk. Hidup lapar, listrik mati, transportasi publik terhenti. Kasus kematian karena kekosongan obat-obatan, dan tak ada tranportasi untuk membawa orang sakit ke layanan kesehatan merupakan pemandangan sehari-hari hingga 1 Juli 2022.

Jumlah bantuan makanan dari orang berduit semakin minim. Boleh dikatakan sudah tak ada, karena semakin ke sini, nyaris semua kelas sosial sudah mendapatkan dampak buruk krisis di negara Bangla itu.

Polisi semakin beringas. Ada rakyat yang ditembak mati saat terjadi kerusuhan. Bahkan ada yang ditembak ketika sedang antri minyak dan gas. Polisi juga tak sungkan melakukan kekerasan terhadap anak-anak. Suasana di negara itu benar-benar tidak terkendali.

Krisis pangan, krisis energi, krisis politik, telah menjadi mata rantai setan di negara yang dikenal dengan ular kobra.

Di Brazil harga pangan meroket. Meskipun di ladang pertanian masih banyak tersedia bahan makanan, tapi kulkas rakyat nyaris tak berisi. Warga tidak mampu berbelanja karena harga pangan naik drastis.

Warga Selandia Baru juga setali tiga uang. Biaya hidup di sana meranjak melebihi batas kemampuan rakyat di kelas bawah. Banyak yang memilih pindah ke Australia yang ramah terhadap pendatang dan tak mengalami gangguan berarti dalam sistem ekonomi negara.

Industri baja di Bescia, Italia sedang mengalami guncangan. Upah yang diterima pekerjanya tidak mampu menyeimbangkan dengan naiknya harga makanan, energi, dan bensin. Tagihan listrik melonjak tajam meskipun pemiliknya jarang di rumah.

Untuk bertahan hidup warga di sana mencoba mengikat pinggang (berhemat), tapi hanya sedikit membantu. Selebihnya adalah mimpi buruk.

Di Ghana, sudah empat bulan harga air minum melonjak tinggi. Produsen tidak bisa menghindari selain menaikkan harga. Semuanya sedang mahal.

Thailand juga terdampak. Negara raja beras itu kini dalam kondisi terancam tidak bisa lagi mengekspor beras ke seluruh dunia. Harga pupuk melambung sangat tinggi.

Harga pupuk dan harga beras tidak seimbang. Beras lebih murah dari pupuk. Pemerintah sudah mencoba melakukan intervensi, tapi produsen pupuk angkat tangan karena keputusan pemerintah membuat mereka rugi besar.

Bila Thailand tak mengimpor beras, akan ada negara yang kelimpungan mencari sumber makanan pokok.

Perubahan iklim yang semakin ekstrim, pandemi Covid-19, dan ditambah dengan perang Ukraina versus Rusia menjadi tiga dalang utama. Kondisi bertambah buruk lagi dengan kejahatan anggaran di negara-negara berkembang dan miskin, semakin memperburuk keadaan.

Negara-negara di dunia saat ini sedang berbicara isu ketahanan pangan, tapi anggaran untuk isu tersebut, di beberapa negara miskin dan berkembang mengalir ke kantong pejabat birokrat dan penegak hukum yang culas.

Disadur dari berbagai sumber.

Artikel SebelumnyaPemkab Ajay Ajak Warga Kandangkan Hewan Ternak
Artikel SelanjutnyaPolda Aceh Rilis Nama Penerima Beasiswa tidak Sesuai Syarat
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here