Ketika kami tiba di Jalan Sabang, perut tidak dapat lagi diajak bernegosiasi. Rombongan segera menyerbu sebuah gerobak nasi goreng yang berada di sisi Jalan Sabang, Jakarta Pusat. Sejumlah pengemis cilik mengerubungi sembari memelas “tolong,Om, kami belum makan.”
Selesai urusan administrasi di Kantor Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Pusat di Jl. Veteran II, RT.2/RW.3, Gambir, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat, delegasi Rapimnas dari SMSI Aceh bergerak keluar Gedung vintage itu. Jarum jam sudah menunjukkan angka 23.30 WIB, Rabu (20/7/2022).
Usai berfoto-foto dengan latar belakang Tugu Monas nun di sana, kami bergerak, masuk ke dalam bus Toyota Hiace, yang disopiri oleh lelaki kurus, berkumis asal Surabaya, Jawa Timur. Meskipun telah lama di Jakarta, logatnya masik sangat medok.
Pria berpakaian safari lengan pendek itu menyetir bus berbadan sedang itu menuju Kawasan kuliner. Dia menyarankan ke Jalan Sabang, karena di sana terdapat ragam makanan yang dijual di warung tenda.
“Kita ke Jalan Sabang saja, kalau di tempat lain saya ragu apakah masih ada, atau sudah tutup,” katanya memberikan penjelasan sembari men-starter mobil. Rombongan sepakat, yang paling penting sesegera mungkin mendapatkan makanan untuk menutup rasa lapar yang kian menjadi-jadi.
Kami tiba di Jalan Sabang ketika Kamis sudah mengganti posisi Rabu. Pukul 00.30 WIB, 21 Juli 2022.
Jalan itu masih sibuk, meskipun tidak sangat ramai. Pengunjung duduk di bawah tenda yang dijejeri meja dan kursi seadanya. Mereka menikmati nasi goreng, sate kambing, dan jajanan berat lainnya.
Saya menyarankan agar singgah di tenda sate kambing. Tapi mayoritas delegasi mengajak ke tenda nasi goreng. Suara mayoritas harus dihargai, dan saya pun manut saja.
Belum pun kaki beranjak menginjak tanah Jakarta Pusat, sejumlah pengemis cilik berpakaian badut yang bagian topengnya sudah dilepas, menghampiri. Bocah-bocah itu sembari mengacungkan kaleng, meminta dikasihani. Ada yang memberi ada pula yang tidak.
Kami bergegas menuju warung tenda. Pengemis yang belum kebagian merapat ke sana, meminta belas kasihan. Tapi tak ada lagi yang peduli. Seorang lelaki berambut belah tengah, menenteng gitar, memberi isyarat agar anak-anak itu pindah ke warung lain. Secepat kilat pengemis-pengemis itu undur diri dan beranjak ke tenda sate kambing.
Ketika saya masuk, tidak ada lagi kursi kosong. Terpaksa harus menuju ke meja agak panjang yang ditaruh di tepi trotoar. Dua perempuan muda duduk sembari mengobrol. Mereka asyik dengan obrolannya sendiri.
Ketika saya dan seorang rekan duduk di sana, mereka melihat sejenak, kemudian kembali fokus pada diskusinya. Hanya volume suara mereka yang dikecilkan lagi.
Setelah nasi goreng tersaji, kami menyantapnya dengan lahap. Saya memesan nasi goreng daging kambing muda, plus telur mata sapi. Satu porsi nasi goreng itu, menurut saya banyak. Cukup untuk dua orang. Tapi demikianlah warung tenda yang pasarnya untuk orang kecil, yang penting porsi besar, rasa lumayan, dan paling penting dapat segera disantap.
Ketika kami sedang sibuk dengan hidangan, tiga pria beruur di atas 45 tahun datang. Mereka terlihat parlente untuk disebut sebagai pengamen. Kulit bersih, pakaian rapi, wajah cerah. Vokalisnya, bahkan memiliki kesan sebagai pria metroseksual.
Mereka bernyanyi di samping Nurdin Syam, Pemred Aceh Herald, sebuah portal online yang dikelola oleh wartawan senior di Banda Aceh. Nurdin Syam merupakan wartawan senior yang menolak “pensiun” karena merasa masih sangat produktif melahirkan karya jurnalistik.
Satu lagu pop mengalir di tengah riuhnya belanga yang berantuk dengan spatula. Juga ditingkahi dengan jreng-jrengan gitar yang dipetik oleh jemari “pengamen eksekutif”.
Satu lagu berlalu, Nurdin Syam sepertinya sangat menikmati. Dia minta satu lagu lagi; masih beraliran pop. Vokalis yang rambutnya mulai ubanan, kembali memainkan gitar, dan berdendang. Sebagai penikmat lagu-lagu Bollywood, saya tak begitu ingat tembang apa yang didendangkan malam itu. Pun demikian, Nurdin Syam ikut berdendang mengiringi penyanyi cover di sampingnya.
Usai petik gitar terakhir berhenti, Nurdin belum puas. Dia minta satu lagu lagi. Kali ini saya ingat dan ikut bernyanyi beberapa lirik. Tembang “Rumah Kita” yang menjadi salah satu nomor lagu unggulan God Bless yang digawangi Ahmad Albar.
“Pentas jalanan” itu usai, Des memberikan mereka uang lembar berwarna merah. Sembari tersenyum tiga entertainer jalanan itu mengucapkan terima kasih. Des membalas ucapan tersebut dengan kalimat yang senada. Mereka tertawa.
Energi Des masih luar biasa. Maka pantas saja bila ia belum mau pensiun dari dunia jurnalistik, meskipun di tempat lama ia telah dipensiunkan karena alasan usia yang telah mencapai batas keekonomian perusahaan besar.
Des mewakili generasinya yang penuh energi, namun besar di tengah kondisi Aceh yang karut marut, sembari Pemerintah Pusat secara besar-besaran menyedot gas alam Aceh untuk membangun Pulau Jawa yang menjadi pusat pemerintahan.
Saya mengenal banyak wartawan mapan seusia Des, masih energik di lapangan. Mudah bergaul dengan yang lebih muda, dan tidak merasa asing dengan disrupsi dunia. Mereka masih teguh di jalan jurnalistik, karena masih ingin berkarya, dan mengisi sisa waktu sebelum akhirnya berhasil ditaklukkan oleh masa dan menepi di sudut zaman dengan senyum penuh arti.
Kami beranjak dari bawah tenda,jam menunjukkan angka 01.30 WIB. Sudah sangat larut untuk ukuran Jakarta, yang memulai pagi sejak pukul 04.30 WIB. Bagi orang Aceh, pukul 01.30 masih sangat sore, karena aktivitas—selain salat Subuh—umumnya baru dimulai pukul 06.30 WIB.
Sopir bertubuh kurus dan hanya bicara ketika ditanya, men-starter mobil. Mengantar kami ke dua hotel berbeda.
Di dalam kabin mobil kami membahas tentang penampil yang bernyanyi di tenda kami. Des, saya, dan beberapa teman lainnya sepakat bahwa tiga pria berkulit bersih, berbaju rapi, serta memakai sepatu tidak murahan, bukan pengamen yang bernyanyi untuk mencari sesuap nasi.
Mereka penghibur spesial yang berdendang untuk menyalurkan hobi menyanyi, menghilangkan jenuh sembari menanti mata minta tubuh direbahkan di atas tempat tidur.
Kemungkinan—dilihat dari tampilan—mereka bukan buruh kelas bawah di tempat bekerja. Bisa jadi para manajer menengah atau karyawan senior yang berkarya di dalam ruang ber-AC.
Bisa jadi, mereka adalah seniman lulusan Intitut Kesenian Jakarta (IKJ) yang siangnya bekerja profesional, dan malam, bila tak ada kesibukan akan berkeliling menenteng gitar, keluar masuk warung tenda, bernyanyi menyalurkan hobi, dan mendapatkan uang sebagai imbalas atas kerja keras mereka memberikan hiburan di tengah deru ban dan knalpot bising kendaraan bermesin yang lalu-lalang di jalanan kota yang padat dengan mobil dan sepeda motor.
“Tiba di hotel, jangan lagi bergadang. Pukul 07.00 WIB kita sudah harus berada di depan Kantor SMSI Pusat. Kita tidak dapat masuk ke lokasi acara, bila tidak diantar oleh bus Mabes TNA AD,” kata Ketua SMSI Aceh Aldin Nainggolan, yang juga penanggung jawab Waspadaaceh.com.
Tiba di hotel, setelah menjamak salat, masing-masing kami menuju peraduan. Menyelimuti diri dengan selimut tebal warna putih. Mata segera terpejam, karena take off dari Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda pukul 15.30 WIB,transit di Kuala Namu, dan baru landing di Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten pukul 22.00 WIB, benar-benar menguras energi. []