Demi Kampung Halaman, Saptoyo Tanam Mangrove Puluhan Hektare

Konservasionis: Saptoyo merupakan orang pertama yang melakukan penanaman kembali kawasan mangrove yang rusak di Sendangbiru. Sang konservasionis bergerak dengan semangat nirlaba. Foto: Komparatif.id/Muhajir.
Konservasionis: Saptoyo merupakan orang pertama yang melakukan penanaman kembali kawasan mangrove yang rusak di Sendangbiru. Sang konservasionis bergerak dengan semangat nirlaba. Foto: Komparatif.id/Muhajir.

Komparatif.ID, Malang—Saptoyo, nelayan di Dusun Sendangbiru, Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, pernah merasakan dinginnya sel tahanan polisi pada tahun 2015, hanya gara-gara melakukan reboisasi secara nirlaba kawasan mangrove di kampung halamannya. Tapi Saptoyo tak patah arang. Setelah dikeluarkan dari tahanan, pria tersebut kembali ke rawa bekas hutan bakau. Menanam berhektar-hektar di bawah perlindungan Yayasan Bhakti Alam.

Kisah itu disampaikan Saptoyo, Selasa (22/11/2022) ketika Komparatif.id bertandang ke Kantor Clungup Mangrove Conservation Tiga Warna (CMC Tiga Warna), sebuah LSM lokal yang mengelola objek pariwisata enam pantai di kawasan Sendangbiru.

Baca juga:Maulid Nabi di Aceh, 3 Bulan Kenduri untuk Rasul Tercinta

Sendangbiru merupakan anugerah Ilahi kepada penduduk Tambakrejo di tepian Laut Selatan Jawa. Pemandangannya sangat indah. Jejeran hutan yang menjadi kanopi alam tepi pantai, menjadikan kawasan tersebut sebagai surga bagi nelayan. Tuna, cakalang, tongkol, hingga layur melimpah ruah di sana.

Hingga suatu ketika perjalanan Republik Indonesia memasuki pergantian kepemimpinan melalui drama politik yang bernama Reformasi 98. Dengan memanfaatkan lemahnya penegakan hukum dan pernyataan Presiden RI Kyai H. Abdurachman Wahid yang mengatakan hutan untuk rakyat, beramai-ramai penduduk luar Tambakrejo membabat Hutan Lindung Apusan, yang sepanjang riwayatnya merupakan penyangga utama ekosistem darat dan bawah laut Sendangbiru.

Bukannya melindungi ekosistem tempat membangun peradaban, penduduk Tambakrejo ikut-ikutan menjadi pembabat hutan, membuka huma setelah menjual kayu-kayunya kepada penampung.

Dalam waktu tidak terlalu lama, puluhan hektare hutan tepi pantai dan mangrove beralih fungsi. Kawasan pegunungan karst yang dulunya hijau, saat itu telah berubah gundul dan kerontang.

Kondisi Hutan Lindung Apusan di kawasan Sendangbiru. Degradasi terparah pada tahun 2015, berhasil dipulihkan kembali oleh Saptoyo dan teman-temannya di Yayasan Bhakti Alam. Foto: Dokumen YBA.
Kondisi Hutan Lindung Apusan di kawasan Sendangbiru. Degradasi terparah pada tahun 2015, berhasil dipulihkan kembali oleh Saptoyo dan teman-temannya di Yayasan Bhakti Alam. Foto: Dokumen YBA.

Seperti kata pepatah, siapa yang menabur angin, ia akan menuai badai. Tahun 2004, nelayan Sendangbiru mulai paceklik ikan. Berhari-hari melaut, mereka pulang dengan hasil mengecewakan.

Meskipun demikian, hutan yang ditebang semakin luas. Hingga musim paceklik pertama, luas hutan bakau yang beralih fungsi mencapai 81 hektare.

Bukan hanya krisis tangkapan, penduduk di sana juga mulai kekurangan air bersih.

Saptoyo merenungi perubahan tersebut. Ia mengajak beberapa orang bertindak menyelamatkan ekosistem Sendangbiru. Alih-alih mendapatkan dukungan, pria yang akrab disapa Sapto itu malah menerima cemoohan.

Tapi ia tak patah semangat. Di sela-sela waktunya mencari nafkah untuk keluarga, Saptoyo mengumpulkan bibit bakau di hutan yang tersisa. Ia semai di rumahnya. Setelah tumbuh, diangkut ke tepi pantai. Dia menyasar lahan tandus yang telah ditinggalkan oleh penggarap. Di atas tanah berlumpur itu dia tancapkan bibit mangrove hasil upayanya secara swadaya.

“Mereka menebang, kami menanam,” demikian sebut Saptoyo, yang pernah menerima penghargaan dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur pada tahun 2016, serta Hero 2020 dari Kickandy.

Untung saja, di tengah terpaaan cemoohan warga, Saptoyo mendapatkan dukungan istri dan anak-anaknya. Merekalah yang ikut membantu Sapto menyemai benih dan menanam di huma yang telah ditinggalkan oleh penggarap liar.

Aktivitas Saptoyo dan keluarga melakukan reboisasi secara swadaya, akhirnya terdengar pula ke Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang. Pada tahun 2012 dia dibawa ke Kota Malang, diberikan pelatihan kelompok masyarakat pengawas (pokmaswas).

Pulang dari sana, Saptoyo berpikir gerakan pokmaswas harus cepat berkembang. Karena pihak dinas sudah memberikan dukungan. Dia merekrut 25 orang selama tiga bulan. Tapi ketika ia mulai menyampaikan misi kelompok tersebut, semua anggota mengundurkan diri. Mereka tak mau menempuh risiko; menghadapi kelompok perambah hutan yang notabene merupakan warga tempatan dan desa tetangga. Apalagi, pokmaswas tidak diberikan dana operasional.

Saptoyo yang ditinggalkan sendirian, mengajukan diri sebagai ketua kelompok. Ia mengumpulkan beberapa anak muda yang mulai tertarik pada isu konservasi lingkungan hidup. Kekuatan Sapto semakin bertambah kala putrinya: Lia Putrinda Anggawa Mukti, menempuh studi di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur.

Di Brawijaya, Lia mensosialisasikan aktivitas mereka di Sendangbiru. Banyak mahasiswa yang tertarik bergabung. Setiap akhir pekan mereka datang ke Tambakrejo, membeli bibit yang disediakan oleh Sapto, kemudian bersama-sama turun ke lahan, menanaminya kembali dengan penuh keceriaan.

“Uang hasil penjualan bibit saya gunakan untuk membeli kebutuhan pembibitan. Saya tidak mencari keuntungan finansial pribadi dalam kegiatan tersebut,” kata Saptoyo yang ditimpali anggukan Lia.

Diam-diam aktivitas mereka mengundang kecemburuan beberapa pihak di Tambakrejo. Saptoyo dilaporkan ke polisi pada tahun 2015, dengan tuduhan telah memasuki hutan lindung tanpa izin. Polisi datang ke kediaman pria tersebut, menggeledah seisi rumah dan membawanya ke kantor. Di sana dia dimasukkan ke dalam sel.

Penangkapan terhadap Sapto menjadi isu besar. Sejumlah orang bergerak melakukan advokasi. Dua hari kemudian pria ramah tersebut dibebaskan.

Setelah keluar dari sel tahanan, Saptoyo merenung. Ia yang mengira dirinya sudah mendapatkan izin karena telah memimpin pokmaswas bentukan dinas, ternyata masih beraktivitas secara ilegal di mata hukum. Pokmaswas tidak memiliki legalitas.

Saptoyo mulai mempelajari hukum dan organisasi. Setelah mendapatkan pengetahuan yang memadai, ia dan beberapa orang di sana mendirikan Yayasan Bhakti Alam. Setelah itu yayasan tersebut melakukan perjanjian kerja sama dengan Perhutani.

Berbekal perjanjian kerja sama tersebut, Saptoyo menyusun rencana kerja Yayasan Bhakti Alam. Misi utama tidak berubah; melakukan reboisasi hutan tepian pantai, hutan mangrove, serta melindungi kawasan terumbu karang seluas 10 hektare dan padang lamun (sea grass).

Perlahan namun pasti, hutan mangrove yang pada tahun 2005 tersisa lima hektare, kini telah kembali hijau dengan luas 77,7 hektare. Demikian juga hutan tepian pantai (green belt) juga telah puluhan hektar dipulihkan kembali.

Hasil kerja keras Saptoyo dan pegiat konservasi lainnya di Yayasan Bhakti Alam, telah mengembalikan Pantai Sendangbiru kaya ikan. Hasil tangkapan nelayan kembali melimpah.

Ibarat kata pepatah sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. CMC Tiga Warna di bawah naungan Yayasan Bhakti Alam yang bertugas mengelola pariwisata konservasi, dan mendapatkan mandat mengelola enam pantai: Pantai Clungup, Pantai Gatra, Pantai Savana, Pantai Mini, Pantai Watu Pecah dan Pantai Tiga Warna, sejak beberapa tahun lalu telah menghasilkan pundi-pundi rupiah. Dengan konsep wisata konservasi, CMC Tiga Warna diminati oleh pengunjung dari berbagai daerah, bahkan dari luar negeri.

Pantai Gatra: Pantai Gatra menyajikan keindahan alam nan eksotis. Pun demikian setiap Idulfitri, Natal dan tahun Baru, pantai itu ditutup untuk umum selama 10 hari. Foto: Komparatif.id/Muhajir.
Pantai Gatra: Pantai Gatra menyajikan keindahan alam nan eksotis. Pun demikian setiap Idulfitri, Natal dan tahun Baru, pantai itu ditutup untuk umum selama 10 hari. Foto: Komparatif.id/Muhajir.

Ketika Komparatif.id berkunjung ke objek wisata Pantai Clungup, yang merupakan pintu gerbang menuju ke pantai-pantai lainnya, sekaligus menjadi kawasan estuari, panoramanya sangat memesona. Tutupan hutan bakau yang saling melindungi pantai berpasir putih, menjadi rumah bagi kepiting.

“Kawasan Pantai Clungup ini tidak boleh dirambah atas alasan apa pun. Kepiting-kepiting di sini juga tidak boleh ditangkap,” terang Lia.

Komparatif.id hanya sampai ke Pantai Gatra. Musim barat yang sering hujan serta waktu yang terbatas, tidak memungkinkan berkunjung ke seluruh pantai.

Pun demikian, Pantai Clungup dan Gatra sudah cukup sebagai bukti tentang konsistensi komunitas Saptoyo merawat lingkungan. Sejauh mata memandang yang tersaji hanya pasir putih bak permadani di istana sultan. Bersih dan berkilauan.

Demikian juga di dalam air laut di tepian pantai, tak terlihat sepotong sampah rumah tangga pun di sana. Benar-benar bersih bak taman raja kala manusia belum mengenal plastik.

Mengapa pantainya sangat bersih? Ternyata CMC Tiga warna memberlakukan aturan, setiap barang bawaan pengunjung akan diperiksa dan dicatat pada formulir khusus.

Item-item tersebut akan diperiksa kembali kala wisatawan pulang. Setiap barang yang hilang diminta untuk dicari. Bila tidak ketemu, harus mengutip sampah sejenis yang ada di sana. Bila tidak ada, atau wisatawan tidak bersedia, maka wajib membayar Rp100 ribu per item yang hilang.

“Misalnya air mineral dibawa 10 botol, tapi ketika pulang, botol yang dibawa kembali hanya 9, maka yang satunya itu harus dicari. Bila pun tak ditemukan atau wisatawan tidak bersedia, maka harus membayar denda Rp100 ribu per item yang hilang itu,” terang Lia.

Awalnya ada yang protes, tapi petugas CMC Tiga Warna pun tidak mau mundur. Lebih baik tak pernah berkunjung ketimbang tak mau menjaga kebersihan.

Pengelolaan bisnis wisata CMC Tiga Warna tidak melulu berorientasi pada profit. Misi utama mereka menjaga kelestarian demi menjaga debit air bersih dan hasil tangkapan bawah laut yang menjadi sumber pendapatan utama di Tambakrejo.

Meskipun peraturannya sangat ketat, dari tahun ke tahun orang yang melakukan reservasi secara online sangat banyak. Tapi karena jumlah pengunjung Clungup dan Gatra dibatasi 300 orang per hari, maka banyak pula yang harus sabar menunggu jadwal.

“Daya dukung dan daya tampung harus sesuai. CMC Tiga Warna mengelola pantai konservasi. Jadi semuanya harus dihitung dari sudut pandang lingkungan hidup. Kami juga membuka camping area di Pantai Gatra. Tapi hanya pada satu titik saja, dengan jumlah tenda 75 unit. Demikian juga untuk berkunjung ke Pantai Tiga Warna, satu jam hanya untuk 100 orang. Tidak boleh lebih, tapi boleh kurang,” sebut Lia.

CMC Tiga Warna ditutup pada hari kamis, karena dipergunakan untuk bergotong royong, sekaligus waktunya pantai beristirahat sejenak.

Demikian juga pada Idulfitri, Natal dan Tahun Baru. Pantai-pantai tersebut ditutup untuk umum selama 10 hari. Pengurus beragama Islam diberikan waktu berlebaran bersama keluarga. Bila Nataru, pengurus beragama Nasrani yang libur.

“Pantai tidak boleh kosong dari pemantauan. Makanya meskipun pantai ditutup untuk umum, tapi petugasnya tetap stand by di lokasi.”

Arik Anggara yang menjabat Manager Penelitian, Perencanaan, dan Pengembangan CMC Tiga Warna memberikan penjelasan tambahan, untuk dapat berkunjung ke sana, pelancong wajib melakukan reservasi online terlebih dahulu.”Karena kunjungan ke sini kami batasi. Siapa saja yang berhasil mendapatkan kuota, akan diberikan kode verifikasi. Kode tersebut nantinya yang akan ditunjukkan pelancong pada petugas di pos pertama dan pos kedua.

Kehadiran CMC Tiga Warna dengan bisnis wisata konservasinya, kini telah menjadi lumbung ekonomi baru bagi masyarakat tempatan. Mereka dilibatkan sebagai pengelola, pemandu wisata, penyedia home stay, penyedia kuliner dan lainnya.

Sejak dibuka beberapa tahun lalu, jumlah wisatawan yang berkunjung ke kawasan CMC Tiga warna terus meningkat. Sempat mencapai 61.739 orang pada tahun 2019. Akibat Covid-19—dengan berbagai kebijakan yang diberlakukan, jumlah pengunjung turun pada tahun 2020-2021. Tahun lalu pengunjung yang datang ke sana 21.067 orang. Namun sejak Januari-Agustus 2022, pelancong ekowisata meningkat menjadi 31.343 orang.

Bila dihitung rata-rata, sebelum pandemi Covid-19, jumlah pengunjung setiap bulan berkisar 5000 sampai 6000 visitor. Setelah wabah itu berlalu, pengunjung yang datang 3000 sampai 4000 orang per bulan.

Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Pondokdadap,Mufid Supriyanto yang berkantor di Dusun Sendangbiru, Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, yang ditemui oleh Komparatif.id, menyebutkan dalam beberapa tahun terakhir jumlah tangkapan nelayan bertambah banyak. Pada 2018 total ikan yang didaratkan di PPP Pondokdadap 15.669.874 kilogram. Nilai produksi yang dihasilkan Rp157,809 miliar.

Tahun 2019 hasil produksi 13.107.694 kilogram. Nilai produksi Rp128,246 miliar. Hasil tangkapan nelayan sempat menurun tahun 2020. Para pencari ikan di laut hanya mampu menangkap 8.522.137 kilogram. Pemicu utamanya karena pandemi Covid-19. Nilai produksi yang dihasilkan Rp96,465 miliar.

Seorang nelayan sedang memancing di Pantai Sendangbiru. Beberapa tahun terakhir jumlah ikan yang berhasil ditangkap oleh nelayan di sana meningkat pesat. Foto: Komparatif.id/Muhajir.
Seorang nelayan sedang memancing di Pantai Sendangbiru. Beberapa tahun terakhir jumlah ikan yang berhasil ditangkap oleh nelayan di sana meningkat pesat. Foto: Komparatif.id/Muhajir.

Produksi kembali meningkat pada tahun 2021, dengan total ikan yang berhasil ditangkap 11.251.430 kilogram. Uang yang dihasilkan dari proses produksi tersebut Rp180,945 miliar.

Hasil tangkapan nelayan Sendangbiru menurun pada tahun 2022. Hingga November ikan yang berhasil ditangkap 10.599.772 kilogram. Meski jumlah yang ditangkap lebih sedikit, tapi nilai produksinya justru meningkat pesat. Uang yang dihasilkan Sendangbiru dari Januari-November Rp226,801 miliar.

Tuna-tuna yang dilabuhkan di Pondokdadap merupakan komoditas ekspor yang dilelang langsung di PPP tersebut. Hanya baby tuna yang dijual untuk masyarakat lokal. Sedangkan tuna-tuna besar seluruhnya diangkut ke luar.

Tuna Sendangbiru setelah diangkut ke Kota Malang, selanjutnya dikirim ke Surabaya, Jakarta, Bali, Australia, hingga Uni Eropa.

“Untuk menjaga kualitas ikan bila musim panen puncak tiba, di PPP Pondokdadap juga menyediakan cold storage berkapasitas 100 ton. Kami sewakan kepada pengusaha ikan dengan harga murah,” sebut Mufid.

Sejumlah nelayan yang ditemui Komparatif.id di PPP Pondokdadap, menyebutkan tangkapan mereka kembali sejak beberapa tahun lalu. Sebelumnya sempat paceklik, yang membuat mereka nekat melakukan pengeboman dan menuang potasium sianida ke dalam laut.

“Namun sejak kami diperkenalkan dengan teknologi rumpon, dan pulihnya tepian pantai, hasil tangkapan kembali seperti dulu. Bahkan layur yang berenang paling jauh 20 mil dari tepi pantai, semakin mudah kami tangkap,” terang Slamet, nelayan yang saat ditemui Komparatif.id sedang bersiap melaut di tengah gelombang besar musim barat yang menghumbalang Pantai Selatan Jawa.

Artikel SebelumnyaPj Bupati Aceh Utara Sambut Baik Eksplorasi Sumur Migas PGE
Artikel SelanjutnyaPJ Bupati Aceh Utara Janjikan Kantor MPU Segera Dibangun
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here