Ciri Manusia di Era Techno Religion

Tecno Religion Ciptakan Manusia Mudah Marah & Baper

techno religion
Guru Besar UIN Ar-Raniry Kamaruzzaman Bustaman Ahmad, Jumat (17/5/2024) mengatakan di era techno religion saat ini, manusia semakin agresif. Mereka dikendalikan oleh sistem yang dibangun oleh ruang virtual. Perubahan era humanoid menjadi tantangan besar bagi upaya moderasi beragama. Foto: HO for Komparatif.ID.

Komparatif.id, Banda Aceh—Saat ini manusia sudah mulai menggunakan konsep techno religion dalam beragama. Techno religion yaitu ideologi humanis yang menggunakan teknologi—bukan Tuhan atau konsep teistik lainnya–sebagai sarana untuk memuaskan pencarian manusia akan makna dan keselamatan spiritual.

Dalam bahasa lebih sederhana, tecno religion yaitu beragama tanpa identitas. Perihal teori tersebut sudah dibahas oleh Yuval Noah Harari dalam buku Homo Deus: A Brief History of Tomorrow.

Topik tentang techno religion diangkat sebagai pembahasan yang disampaikan oleh Professor Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, dalam konferensi internasional yang diselenggarakan oleh Asosiasi Dosen Ilmu-Ilmu Adab (ADIA) se-Indonesia di Hermes Palace Hotel, Banda Aceh, 17-20 Mei 2024.

Baca: 109 Makalah Dikupas di Konferensi Internasional FAH UIN Ar-Raniry

Dalam sambutannya pada konferensi internasional bertema strengthening digital humanities in islamic civilization, literature, culture, and library studies, Kamaruzzaman Bustamam Ahmad yang menjadi salah satu keynote speaker, Jumat 917/5/2024) mengangkat isu tentang techno religion. Menurutnya techno religion menjadi ancaman dan tantangan bagi upaya moderasi beragama.

Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh tersebut mengatakan ada beberapa hal yang menjadi pokok pembahasan dalam trend tersebut. Antara lain perihal transhumanisme yaitu gerakan filosofis dan intelektual yang mendukung peningkatan kondisi manusia dengan mengembangkan dan membuat teknologi canggih yang tersedia secara luas untuk dapat memperpanjang umur, memperbaiki suasana hati, dan meningkatkan kemampuan fisik atau kognitif.

Dalam bahasa lebih ringkas, KBA menyebutnya dengan istilah humanoid. Yaitu manusia setengah robot. Nantinya pola pikir manusia akan setengah robot –part of robotic— Sekarang sudah ditulis buku robotic culture, tentang budaya robot di Jerman.

Humanoid akan membentuk satu pola baru dalam memproduksi pengetahuan. Proses produksi pengetahuan yang awalnya berdasarkan human experience animal – manusia mengamati perilaku manusia dan kemudian mengamati perilaku hewan, kemudian melahirkan scientific data, teory and discovery.

Di era humanoid, akan terjadi perubahan. Pengetahuan tidak lagi dilahirkan dari proses tradisional. Tetapi memakai pola baru yang dikendalikan oleh humanoid.

“Perubahan pengetahuan tidak lagi memakai pola yang sangat tradisional, tetapi memakai pola baru itu. Kalau kita lihat pada zaman dahulu, pengetahuan yang dimunculkan itu lebih kepada intuisi, lebih kepada natural science.Ke depan tidak lagi demikian,” sebutnya.

Transhumanisme menghadirkan pola-pola baru. Kesadaran umat manusia from non-internet knowledge to internet knowledge. Internet knowledge mengakibatkan munculnya automation of production of religious knowledge.

Lebih detail KBA menjelaskan automation of production of religious knowledge, melahirkan kondisi tatkala seseorang membenci si A, bukan karena ia ingin membenci. Kebencian terhadap si A lahir karena masuk informasi dari WA. seseorang membenci seseorang tanpa alasan. Juga dengan terpaksa seseorang harus mengikuti seseorang tanpa alasan.

Manusia berubah dari makhluk yang bersikap dari hasil melihat realita sehari-hari, menjadi manusia yang bersikap karena virtual behavior.

Kondisi ini merupakan tantangan bagi akademisi, bagaimana menjelaskan perubahan ini kepada generasi baru. Bagaimana nanti ketika produksi pengetahuan yang serba otomatis itu menjadi sebuah new form of religious behaviour.

Lebih lanjut Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry tersebut mengatakan proses lahirnya pengetahuan yang berdasarkan karena penemuan otomatis, dapat membentuk kesadaran baru dalam perilaku beragama.

Ke depan, pengetahuan yang didapatkan –termasuk pengetahuan agama—begitu luas karena telah disediakan oleh artificial intelligent, maka akan mempengaruhi pola pikir. Karena hari ini manusia banyak mengkonsumsi informasi yang based bukan kepada rasional tapi berbasis kepada emosional.

“Tahu kenapa moderasi beragam semakin susah diterapkan? Karena itu tadi, manusia tidak lagi mengonsumsi informasi berdasarkan rasional, tapi sudah ke dalam tahapan emosional. Moderasi beragama belum mampu berhadapan dengan tahapan produksi pengetahuan yang serba otomatis,’’ katanya.

Techno Religion Ubah Kontrol Keagamaan

Saat ini siapa yang mengontrol produksi keagamaan? Sebelumnya kontrol tentang itu dilakukan oleh orang-orang yang memiliki karisma dan otoritas keagamaan. Tetapi sekarang dengan terjadinya otomasi pengetahuan keagamaan, siapa yang melakukan kontrol?

“Sejauh ini kita belum memiliki platform [kontrol]. Oleh karena itu akan berefek kepada perilaku orang yang akan sangat agresif,” sebutnya.

Cendekiawan Islam asal Krueng Mane, Aceh Utara tersebut menyampaikan bila hari ini siapa saja bisa cepat marah,anak muda cepat marah, dan cenderung tidak dapat mengendalikannya, itu terjadi karena pikiran manusia saat ini sudah hyper connected mind.Dalam bahasa KBA, saat ini manusia sedang menghadapi zombie generation.

Baca: Perempuan Muda di Bisnis Esek-esek di Serambi Mekkah

Kelak, ketika perubahan artificial intelligent semakin meningkat, bukan hanya pikiran yang berhasil diubah, tetapi juga kesadaran manusia. Buku Chaos Monkey yang ditulis Antonio García Martínez, mengupas soal perubahan yang sedang terjadi hari ini.

Antonio menyebutkan pikiran manusia saat ini beterbangan persis seperti monyet di pepohonan. Manusia tidak bisa lagi fokus karena multitasking response.

“Jadi pikiran kita itu tidak bisa lagi fokus. Hari ini anak kita, istri kita, tidak bisa makan tanpa ada hp di sebelah tangan kiri.Mata mereka ke layar hp,dan makanannya cuma satu rasa yang hari ini;sambal yang serba pedas.”

Era techno religion yang disampaikan KBA, menghadirkan petaka terkait moderasi beragama. Lahirnya agresive religius behavior, karena otak manusia sudah terformat untuk selalu ingin memberikan respon atas sesuatu tanpa kedalaman berpikir.

Era techno religion menjadikan manusia selalu fast emotional. Kemudian lahirnya slow deliberative very logical. Orang menjadi begitu agresif, cepat marah, cepat baper, yang kemudian melahirkan baper society.Mereka cenderung di balik layar, tidak bisa berinteraksi dengan orang lain. Mereka tertutup dan inilah yang menjadikan mereka sangat agresif. Dalam konteks keagamaan, kondisi ini sangat berbahaya.

Kehadiran Google assistance yang tidak memiliki agama, memudahkan siapa saja—termasuk mahasiswa—untuk mencari jawaban atas hal yang tidak mereka pahami setelah mendengar penjelasan dosen, menjadikan tantangan semakin besar.

Generasi yang lahir 2010, 2015 dan lainnya ke depan, mereka cenderung dalam bayangan agresive mind,sangat agresif dan cepat kena mental dan juga baper. Cepat naik dan kemudian kalau direndahkan, langsung down dan langsung kuncup kayak putri malu.

Pada era techno religion, telah menjadikan orang menggunakan sesuatu yang bukan tujuan urusan agama tetapi digunakan untuk tujuan keagamaan. Dalam teori intelijen disebut dengan teori penyesatan.

Terakhir, KBA mengingatkan, era techno religion menjadikan orang saat ini mengandaikan perilaku keagamaannya pada virtual. Termasuk berteman karena kesamaan agama dan tidak berteman karena agama.

Artikel SebelumnyaFISIP UIN Ar Raniry Jalin Kerjasama dengan DPD RI
Artikel SelanjutnyaMualem Sebut Djufri Layak Pimpin Pramuka Aceh
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here