Cinta Abadi Wu Jinnan Terhadap Aceh

Wu Jinnan
Wu Jinnan sangat mencintai Aceh. Meskipun telah puluhan tahun menetap di Tiongkok, ia tetap melestarikan kebudayaan Aceh. Foto discreenshoot dari Youtube Rudy Chen. Dikutip dari: Merdeka.com.

Bagi Wu Jinnan, Aceh adalah cinta yang tidak dapat dilupakan. Ia mengaku tidak sakit hati, meski harus eksodus akibat prahara politik 1965. Bahkan hingga kini ia masih merindui Aceh, tapi bukan bermakna ingin kembali.

Wu Jinnan, pria kelahiran Jeuram—kira-kira 7-8 kilometer dari Kota Meulaboh, Aceh Barat—pada tahun 1940, masih berbahasa Indonesia logat Aceh. Rasa Aceh masih terlihat kentara ketika ia melayani wawancara yang tayang di Youtube Rudy Chen, pada Senin (27/2/2023).

Meski pernah merasakan pahitnya hidup akibat gejolak politik Indonesia yang mengakibatkan runtuhnya kekuasaan Presiden Sukarno, kini hidup Wu Jinnan sangat nyaman di Tiongkok. Pria yang sering disapa Pak Lemper, menghabiskan masa tuanya—usianya saat ini 83 tahun—di Kecamatan Donghua, Kota Yingde, Provinsi Guangdong.

Baca juga: Tionghoa Bireuen bukan Cina di Morowali

Teman Saya Tionghoa Lhokseumawe

Di Kecamatan Donghua pernah tinggal 2000-an orang Tionghoa Indonesia yang berangkat ke Tiongkok Daratan akibat gerakan anti-Cina di berbagai kota di Indonesia pada 1965-an. Saat ini di Donghua masih terdapat 1000-an orang-orang dari generasi pertama yang terpaksa pulang ke kampung halaman nenek moyang mereka.

Bila ditambah generasi ke-2, mungkin jumlahnya saat ini sekitar 2000-an orang. “Jadi sudah seperti little Indonesia in Cina,” sebut Wu Jinnan.

Pria gaek tersebut bercerita asal muasal keluarganya di Jeuram—kini bagian dari wilayah Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh. Ibunya merupakan seorang dara Tionghoa yang dipaksa menikah oleh raja di Jeuram. Sang ibu semasa mudanya merupakan bunga kembang desa di kawasan itu.

Suami pertama ibunya Wu Jinnan merupakan seorang lelaki Aceh. Tapi Wu tidak ingat seperti apa rupa sang ayah, karena dua bulan setelah ia lahir, Jepang masuk ke Aceh. Orang-orang Tionghoa di Jeuram lari ke Meulaboh yang kini menjadi ibukota Kabupaten Aceh Barat. Di kota tempat pahlawan legendaris; Teuku Umar, ibu Wu menikah lagi dengan seorang pria Tionghoa.

Meski berstatus ayah sambung, suami kedua ibunya sangat baik hati. Lemper diperlakukan seperti anaknya sendiri. Tak ada perbedaan; bagi sang ayah sambung, semua yang berada di dalam rumahnya merupakan keluarga.

Ayah tiri Lemper merupakan seorang pria yang ulet. Selain berkebun ia juga memelihara babi. Ia memelihara sekitar 60 ekor babi di Meulaboh. Jadi, secara ekonomi, mereka hidup berkecukupan di Meulaboh.

Wu Jinnan Terpaksa Eksodus ke Tiongkok

Indonesia yang baru merdeka pada tahun 1945, membuka ruang demokrasi seluas-luasnya kepada kehidupan elemen bangsa. Semua ideologi yang pernah ikut mengambil peran di masa penjajahan, diberikan ruang hidup di dalam sistem demokrasi. Termasuk di dalamnya komunis yang setelah kemerdekaan membentuk Partai Komunis Indonesia.

Namun, demokrasi sangat bebas, menghasilkan dunia perpolitikan yang tidak stabil. Ditambah kondisi ekonomi yang belum membaik, membuat situasi semakin tak menentu. Komunis diidentikkan dengan komunitas Tionghoa. Mengapa? Karena RRC yang merupakan negeri asal muasal nenek moyang orang Tionghoa di Indonesia, setelah kekalahan kelompok nasionalis yang melarikan diri ke Taiwan, telah berubah menjadi negara berpaham komunis.

Gerakan anti-Cina tidak pernah berhenti sejak masa penjajahan Belanda. Politik adu domba telah menafikan keberadaan perantau Tiongkok yang telah datang ke Nusantara berabad-abad lebih awal ketimbang perantau dari Jazirah Arab maupun bangsa imperialis Eropa seperti Belanda, Portugis, dan Inggris.

Tahun 1965 Wu Jinnan berangkat ke Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Saat itu Gerakan ganyang Cina sedang bangkit kembali, digerakkan oleh kelompok muda seperti KAMI dan KAPI. Etnis Tionghoa diasosiasikan sebagai komunis—setidaknya sebagai simpatisan.

Saat itu demonstrasi ganyang Cina terjadi di mana-mana. Koalisi Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Koalisi Aksi Pelajar Indonesia (KAPI) dan elemen lainnya setiap hari turun ke jalan. Menyuarakan tuntutan pembubaran PKI dan ganyang Cina.

Kondisi sangat cepat berubah setelah peristiwa G-30 S/PKI. Pengusiran terhadap etnis Tionghoa benar-benar terjadi. Wu Jinnan yang sedang di Sumut tidak sempat bertemu ibunya kala itu. Karena sang ibu dan keluarga mereka di Meulaboh juga terpaksa harus pindah dari kampung halaman. Harus secepatnya keluar dari rumah yang mereka bina dengan keringat dan air mata.

Dengan kapal laut mereka diberangkatkan ke Sibolga. Wu dan keluarganya sempat terpisah selama enam bulan. Ia sangat cemas, tapi tak dapat berbuat apa-apa. Enam bulan kemudian mereka baru berkumpul kembali di Kota Medan.

Semakin hari kondisi kian tak menentu. Tak ada peluang lagi kembali ke kampung. Selama setahun di Medan mereka harus menunggu jadwal diungsikan ke negara Cina, yang bahkan bagi sebagian besar tak pernah tahu seperti apa rupa negara tersebut.

Tanggal 6 Mei—Wu tidak menyebutkan tahun—mereka dinaikkan ke kapal dan mengarungi lautan selama tujuh hari enam malam. Mereka dipaksa pulang ke kampung halaman nenek moyang melalui Pelabuhan Belawan.Pemerintah Tiongkok mengirim kapal-kapal ke Indonesia demi menjemput “warganya” itu.

Setelah mengarungi lautan dengan kondisi badan remuk redam, Wu dan ribuan orang lainnya dilabuhkan di Pelabuhan Mekong.Ketika pertama kali menginjak tanah “perantauan” Wu dan keluarga tidak memiliki apa pun selain baju di badan dan sedikit pakaian di dalam bungkusan sederhana.

Wu Jinnan menyeka air mata saat menyebutkan itu.

Di tempat yang baru, Pemerintah Tiongkok Daratan menyediakan tempat tinggal dan lahan bercocok tanam. Mereka juga diberikan uang alakadar, sebatas dapat bertahan hidup dengan standar paling minimal.

Bekerja Keras Demi Masa Depan

Menetap di permukiman baru, mereka harus beradaptasi. Dengan etos tak kenal menyerah para pengungsi itu bekerja keras, menggarap lahan dan menanaminya dengan sayuran.

Mereka memulainya dari nol. Semuanya setara kala itu.

Wu Jinnan bekerja membangun jaringan irigasi. Kemudian mengolah lahannya dan menanam sayuran. Tahun 1975 dia diangkat menjadi sopir traktor. Pada tahun 1980 Pemerintah Cina Daratan membebaskan warga menanami lahannya dengan tanaman apa saja. Dari sanalah terjadi titik bangkit.

Wu Jinnan banting stir. Dia membuat lemper; kemudian dititipkan ke kedai-kedai di kecamatan. Kebetulan rasanya enak sehingga digemari oleh penduduk pribumi di sana dan warga eksodus. Dari situlah dia kemudian dipanggil Pak lemper.

Wu muda harus mengorbankan waktu istirahatnya. Dalam sehari semalam dia hanya tidur selama dua jam. Hasil dari kerja keras dengan cepat dia nikmati. Setiap hari Wu berhasil mendapatkan uang 30 yen. Sangat lumayan untuk ukuran pengungsi kala itu. Mereka dapat hidup berkecukupan. Ada yang menarik, meski harus bekerja lebih keras, hubungan Wu dan keluarga tirinya sangat rukun. Mereka tidak pernah ribut. Bahkan kompak. Tetangga sangat mengagumi kerukunan kakak beradik meski berlainan ayah.

Karena kerja kerasnya melebihi orang lain, tahun 1981 hidup Wu dan keluarga sudah mapan. Padahal waktu itu masih banyak warga eksodus yang hidup dalam kemiskinan.

Hari Tua yang Bahagia

Berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Demikian pepatah Melayu yang paling tepat menamsilkan kehidupan Wu Jinnan. Ia pernah hidup di titik paling bawah; pucuk pengharapannya diregas oleh kekejaman politik. Dari tiada menjadi ada, kemudian tiada, dan ada lagi.

Saat ini Wu sudah “pensiun”. Pemerintah Cina memberikannya dana pensiun sekitar 7 sampai 8 juta per bulan bila ditaksir dengan rupiah. Pemerintah juga menanggung 80 persen kebutuhan hidup warga. Mulai pendidikan hingga kesehatan. Bila sakit tak perlu khawatir, karena 80 persen biayanya ditanggung oleh negara.

Wu Jinnan
Pak Lemper menghabiskan masa tuanya sembari merawat keluarga dan budaya tempat ia dilahirkan. Foto discreenshoot dari Youtube Rudy Chen.

“Misalnya Tahun Baru ya, kalau miskin ada baju dibagi, uang dibagi, gak banyak tapi cukuplah kita belanja. Jadi kita bikin rumah tahun 90-an, 98 kita bikin rumah rumah itu, disuruh kasih bagus, kita bikin dua tingkat. Jadi pemerintah tambah 15 juta, yang kurang kita keluar sendirilah,” katanya sembari tersenyum.

Meski tinggal di Cina, tapi Wu tidak melupakan budaya Indonesia. Demi merawat ingatan tentang negeri tempat ia dilahirkan, seringkali Wu menyanyikan lagu-lagu Indonesia dan lagu Aceh. Bahkan Ketika mandi ia pun bernyanyi. “Orang anggap saya gila. Hahahah,” kata Wu dengan logat Aceh yang kental.

Wu Jinnan menyanyikan salah satu bait lagu Aceh. Kemudian menerjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Kini, untuk mengisi hari-harinya, Pak Lemper sering mendampingi cucunya. Ia sering memakai identitas Aceh—negeri tempat ia dilahirkan. Seperti kopiah [peci] Aceh. Bagianya Aceh adalah cinta; tak mungkin dilupakan dan akan selalu diingat sampai akhir hayat.

Rindu Aceh Tapi Tak Ingin Lagi Menetap

Adakah kerinduan kepada Aceh. Pria gaek tersebut tidak bisa melupakan Serambi Mekkah dan Indonesia. Ia masih merinduinya dengan penuh cinta.

Bencikah ia karena terusir? Tidak. Ia tahu bahwa tidak semua orang membenci Tionghoa. Hanya daerah-daerah tertentu dan akibat dari gejolak tertentu.

“Saya anggap yang saya alami sebagai sejarah, sebab kita ingat bukan semua orang Indonesia ganyang orang Tionghoa, cuma sebagian, banyak bagian yang lain masih mengunjungi juga Tionghoa,” sebutnya.

Wu sudah empat kali pulang ke Indonesia. Di negeri zamrud khatulistiwa ia masih memiliki banyak saudara.

“Saya sudah empat kali ke Indonesia, di Indonesia masih ada 80 saudara lebih. Banyak, persepupuan. Masih ada hubungan dengan mereka.Bicara bahasa masih bisa juga, kadang mereka pulang ke Tiongkok saya kasih dengar lagu, lagu Aceh, bingung orang itu semua.”

Apakah ia pernah mencoba mencari ayah kandunganya? Tahun 2019 ia pernah berkunjung ke Aceh. Ayahnya sudah lama tiada. Wu pulang kampung demi melihat suasana kampungnya. Mencari rumahnya yang dulu. Tapi kondisi sudah sangat berubah.

Di kampung halamannya dia menemui adik, serta sepupu-sepupu Wu. Juga cucu-cucu keluarga itu.  Dia juga sempat bertemu dengan adiknya. Tapi tak sempat bicara lama, karena saat itu dia sedang buru-buru harus kembali ke Medan, Sumatera Utara.

“Saya titip ampau, untuk dibagi-bagi, bisa beli sepatu, beli baju saya bilang. Dia bilang “tunggu-tunggu! Kapan balik lagi” katanya. Mungkin dia sudah berunding dengan pemerintah kampung situ, undang saya pulang, tinggal di tempat dia. Dia kasih bagi tanah dia 30 mu (2 hektar), untuk saya, tapi saya ndak mau. Yang penting sudah ketemu adik,” kenang Wu dengan syahdu.

Wu Jinnan tetap mencintai Jeuram, Meulaboh, Aceh, Indonesia. Itu dibuktikan olehnya dengan cara merawat ingatan melalui kebudayaan. Tapi, ia tidak ingin kembali. Baginya semua sudah terjadi dan tak mungkin diulang. Biarlah semua pengalaman menjadi sejarah, dikenang sebagai pelajaran dan romantisme sembari menghabiskan masa tua di negeri asing sekaligus rumah nenek moyang, dia, anak, dan cucu-cucunya.

Catatan redaksi: Artikel ini merupakan transkrip dari video Youtube Rudy Chen. Ditulis kembali dalam rangka merawat harmoni, mengabadikan keberagaman Aceh dan Indonesia. Bila pembaca ingin membantu pengembangan Komparatif.id, klik-lah iklan online kami, bertahanlah di sana minimal 10 detik. Scroll ke bawah dan kemudian kembali ke halaman utama. Partisipasi Anda sangat menentukan upaya kami membangun media ini.

Artikel SebelumnyaUIN Ar-Raniry Kukuhkan Tujuh Guru Besar
Artikel SelanjutnyaKKR & WN Perjuangkan Nasib 5000 Korban Pelanggaran HAM ke Pusat

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here