Cerita dari Teupin Mane: “Malam Itu Air Sungai Sangat Mengerikan”

Cerita dari Teupin Mane: “Malam Itu Air Sungai Sangat Mengerikan”
Badan Krueng Peusangan Teupin Mane yang asli telah menjadi tepian, dan sungai berpindah ke bekas lahan yang hilang. Foto: Komparatif.ID/Muhajir Juli.

Malam itu Teupin Mane sangat mencekam. Warga berlarian mencari tempat yang dinilai lebih aman. Air sungai bergulung-gulung, menghantam apa saja. Teriakan histeris terdengar di mana-mana.

Senin, 22 Desember 2025, Budi (42) berdiri di dekat Krueng Peusangan. Dia melihat kondisi air sungai yang masih cokelat tua. Meski tidak lagi deras, tapi masih sangat berbahaya bagi anak-anak dan orang yang tidak bisa berenang.

Budi merupakan salah satu saksi mata pada puncak bencana yang terjadi Rabu, 26 November 2025, tengah malam.

Warga Teupin Mane, Kecamatan Juli, Bireuen, Aceh, 11 kilometer ke arah selatan Kota Bireuen, dikejutkan dengan suara air sungai yang datang dari hulu, dengan suara yang mengerikan.

Warga terbangun dan bangkit dari peraduan. Mereka membuka pintu, mencoba mencari tahu arah suara yang membuat bulu kuduk bergidik.

Budi berlari ke arah sungai. Di mengarahkan cahaya senter ke sungai di dekat Bendungan Peusangan yang selesai dibangun tahun 1992.

Air yang datang dalam jumlah banyak, mulai memasuki desa melalui jalur alur yang lumayan besar di dekat bendungan. Perempuan histeris.

Mereka segera mengemasi barang yang dikira perlu, dan kemudian berangkat secepatnya dari rumah.

Dengan perasaan campur aduk, Budi menatap sungai. Dia melihat sejumlah kendaraan roda empat mengapung. Rumah-rumah dari hulu yang berkonstruksi kayu hanyut dalam lautan lumpur.

“Malam itu air sungai sangat kental. Bergulung-gulung seperti gigi api yang siap menerkam apa pun yang dilintasinya. Sangat mengerikan,” kata Budi. Saat dia memberikan testimoni, dirinya sudah dapat tersenyum.

Beberapa jam kemudian, banjir berhasil membobol tanggul bendungan. Dengan tenaga super kuat, banjir merontokkan tanggul yang membendung Krueng Mate. Air sungai yang mulai membanjiri perkampungan, surut.

Tapi petaka yang lebih mengerikan terjadi.

Baca juga: Multazami Abubakar Berjibaku Dengan Lumpur untuk Selamatkan Warga

Satu deret rumah warga di tepian sungai, digerus banjir. Rumah itu rontok satu persatu di tengah malam buta. Pemilik rumah panik, mereka menyelamatkan apa pun yang bisa diselamatkan.

Pada Subuh itu, 22 rumah warga rontok ke dalam sungai. Rata-rata rumah permanen. 16 unit rusak berat dan tidak bisa lagi ditempati. Sembilan unit dalam kondisi rawan, karena tebing sungai hanya berjarak satu meter dari belakang rumah. Padahal dulunya ratusan meter jarak sungai dengan rumah-rumah itu.

Keuchik (Kepala Desa) Teupin Mane Abdul Jalil Ishak mengatakan di desa tersebut dua dusun paling parah dihantam banjir bandang dan tanah longsor yaitu Leubok Iboh dan Paya Santewan.

Di Leubok Iboh, satu unit SD Negeri rontok ke dalam sungai. Satu meunasah juga mengalami nasib yang sama.Satu unit polindes di Paya Santewan juga rusak.

Tanah yang amblas ke sungai lebih kurang 5,8 hektare.

Foto: Komparatif.ID/Muhajir Juli.

Teupin Mane Terkurung

Banjir bandang dan tanah longsor menyebabkan oprit jembatan rangka baja Teupin Mane putus diterjang air berlumpur yang menghanyutkan gelondongan kayu. Jalan nasional di lintas Bireuen-Takengon juga amblas di sejumlah titik hingga ke Takengon.

Di sebelah barat, sejumlah jembatan rangka baja di pedalaman juga rusak parah.

“Sejak tanggal 26 itu kami terkurung. Warga sembilan desa di Mukim Juli Selatan, Kecamatan Juli, tidak bisa kemana-mana. Kami terisolir, bersama warga di wilayah tengah Aceh,” kata Sulaiman (55).

Sekitar pukul 10.00 Wib, pada 26 November itu, listrik padam. Jaringan telepon hilang. Jaringan internet pamit. Seketika panik bertambah. Logistik pangan di pasar-pasar desa mulai menipis. Kemudian kosong. Gas LPG habis. Air bersih tak lagi mengalir. Banjir merusak jaringan air milik PDAM Krueng Peusangan.

Warga dari Bener Meriah dan Aceh Tengah, tiba di Teupin Mane dan sekitarnya. Mereka berjalan kaki puluhan kilometer, mengarungi medan lumpur. Melintasi jalan yang telah hilang, demi mencari pertolongan.

Empat hari, setelah bencana, bantuan belum bisa masuk. Aparatur Desa Teupin Mane membuka dapur umum. Awalnya untuk warga setempat yang menjadi korban langsung. Tapi tamu dari Tanoh Gayo juga harus dibantu.

“Kami kelimpungan. Tapi rasa kemanusiaan memanggil. Semua orang harus ditolong. Untung saja kami sempat membeli puluhan zak beras dari truk yang terjebak longsor di Krueng Simpo. Itulah logistik awal membuka dapur umum di hari kedua,” kata Fajri bin Ibrahim, beberapa hari setelah bencana.

Situasi kedai Teupin Mane, pada hari kedua jembatan bailey dibuka. Foto: Komparatif.ID/Muhajir Juli.
Situasi kedai Teupin Mane, pada hari kedua jembatan bailey dibuka. Foto: Komparatif.ID/Muhajir Juli.

Kini, jembatan bailey telah selesai dibangun. Akses menuju Teupin Mane telah bisa diakses kembali. Korban langsung masih bertahan di mana saja. ada yang di tenda, ada yang pulang ke rumah saudara. Ada yang bertahan di sisa bangunan rumah.

Trauma masih tersisa. Korban dan warga secara umum, masih ketakutan bila hujan deras turun.

Dan! Ekonomi warga masih belum pulih setelah lebih dua minggu terkurung. Mereka masih membutuhkan dukungan dari siapa saja. pemerintah hadir melaksanakan tugasnya. Tapi, dalam kondisi bencana yang begitu luas, kehadiran negara tetap saja terbatas.

Artikel SebelumnyaBupati Bireuen Kerahkan Alat Berat Bersihkan Kayu Sisa Banjir di Hulu Sungai Peudada
Artikel SelanjutnyaSoto Kontol Pekalongan, Kuliner yang Bikin Ketagihan
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here