Celaka, Kita Diterjang Tsunami Misinformasi

Teruslah Pamer Sampai Hidupmu Nyungsep Malaikat, Iblis, dan Off the Record Media: Dari Anjing Penjaga jadi Badut Sensasi Celaka, Kita Diterjang Tsunami Misinformasi
Wicaksono. Foto: Dok. Penulis.

Teknologi datang dan pergi seperti pedagang kaki lima yang pindah lapak karena Satpol PP lewat. Tapi ada satu hal yang akhir-akhir ini bikin saya manggut-manggut sambil nyeruput kopi tubruk tanpa gula: kita sungguh sudah masuk ke zaman yang tidak pernah direncanakan siapa pun, zaman yang tidak diwariskan bapak-ibu kita, zaman yang tidak kita minta tapi tiba-tiba menguasai keseharian. Zaman itu bernama era misinformasi.

Anak muda menyebutnya “chaotic feed”. Saya menyebutnya “linimasa yang bikin pusing tujuh keliling”.

Bayangkan saja, tiap kali saya buka ponsel, yang mampir bukan lagi berita jelas atau obrolan waras, tapi banjir gambar dan video yang entah dari mana, entah dibuat siapa, entah benar atau tidak.

Celakanya, banyak yang sengaja dibikin untuk mengecoh, memancing emosi, atau sekadar membuat orang panik.

Gambarnya kadang begitu halus, begitu rapi, sampai saya yang dulu pernah menghabiskan separuh hidup mengedit foto untuk halaman depan pun sering terkecoh.

Dulu kita bisa lihat tanda-tanda palsu dari sebuah gambar atau foto, misalnya jumlah jari yang berlebihan, proporsi wajah janggal, latar belakang kayak ditempel asal. Ah, itu pasti buatan AI.

Sekarang? Semua sudah dipoles oleh mesin-mesin cerdas yang tidak pernah tidur dan tidak pernah bercanda. Petunjuk lama sudah tidak relevan. Mata manusia bukan lagi alat yang bisa diandalkan. Itu yang membuat saya merinding.

Saya teringat suatu pagi ketika seekor kucing liar tiba-tiba melompat ke pangkuan saya dan minta dielus kepalanya. Kelihatannya manis, padahal dua menit kemudian ia mencuri ikan pindang di meja dapur.

Baca juga: Polda Aceh Imbau Masyarakat Tidak Terpancing Hoaks & Provokasi

Internet sekarang agak mirip kucing itu, tampilannya lucu, menggemaskan, pintar mengelabui, tetapi bisa mencuri kewarasan kita dalam hitungan detik. Ia menggoda kita percaya pada hal-hal yang tampak meyakinkan, padahal sebagian besar hanya topeng digital yang dipasang demi klik, demi pengaruh, atau demi kekacauan.

Sialnya lagi, teknologi seperti Sora, generator gambar dan video, atau puluhan model lain yang entah kapan muncul, membuat kecemasan ini tak punya rem.

Anak-anak muda sekarang bisa membuat video bencana alam dalam 30 detik, lengkap dengan korban palsu dan suara tangis buatan. Bisa bikin wajah pejabat tersenyum di tempat yang tidak pernah dia datangi. Bisa menciptakan “bukti” politik yang seolah nyata. Dan itu semua tersebar seperti debu halus yang beterbangan di cahaya matahari: tak terlihat, tapi masuk ke paru-paru kita.

Saya membaca tulisan yang menyinggung bagaimana platform besar membiarkan banjir konten palsu mengalir begitu saja. Facebook, X, dan seluruh raksasa medsos sudah lama jadi pasar tempat penjual kebohongan membuka lapak tanpa izin.

Ada video provokatif, foto palsu yang dirangkai seperti puzzle yang tidak pernah benar, semua berseliweran dengan percaya diri. Bahkan kampus-kampus, tempat yang dulu dianggap benteng nalar, kini ikut kena getahnya. Ada kasus pejabat kampus membagikan foto palsu seorang anak perempuan memeluk anjing di tengah badai, dipakai untuk propaganda politik. Dunia pendidikan pun ternyata tak luput dari tipu daya yang dibuat oleh mesin.

Saya tidak ingin jadi orang tua yang meromantisasi masa lalu, tetapi betapapun buruknya, dulu kebohongan punya langkah yang lamban. Ia butuh mulut ke mulut, surat kabar abal-abal, radio dari desa ke desa.

Sekarang? Satu unggahan bisa menipu satu kota. Satu video bisa mempengaruhi keputusan bernegara. Satu foto bisa memecah keluarga. Dan semua itu terjadi sebelum saya sempat mengaduk kopi saya.

Misinformasi Seperti Jamur Liar Usai Hujan

Misinformasi bekerja seperti jamur liar setelah hujan. Tumbuh cepat, merayap, menyebar, dan sulit diberantas. Kadang dicampur-dengan humor, kadang diberi bumbu kepanikan, kadang dipoles menjadi seolah berita resmi.

Orang-orang yang dulu tidak punya panggung kini bisa jadi sumber kebenaran palsu hanya karena tahu memakai aplikasi pembuat suara AI. Para pakar sudah mati, kata Tom Nichols. Dan jangan bilang hanya orang awam yang tertipu; banyak pejabat pun tersandung hal serupa, terutama mereka yang terlalu percaya diri mengira linimasa mereka adalah cermin dunia nyata.

Saya pernah mengobrol dengan tetangga sebelah rumah yang entah mengapa percaya ada meteor jatuh di Kalimantan hanya karena videonya tampak “meyakinkan”. Ketika saya bilang itu palsu, ia mengernyit dan berkata, “Tapi videonya kan jelas sekali.”

Saya hanya bisa tersenyum pahit, seolah saya sedang menasihati kucing liar untuk tidak mencuri ikan pindang lagi.

Masalahnya bukan hanya soal kemampuan mesin membuat gambar palsu. Masalahnya adalah manusia suka sekali percaya pada hal-hal yang memvalidasi apa yang mereka ingin percayai.

Mesin hanya mempercepatnya. Kita sudah hidup di dunia di mana batas antara benar dan bohong tidak lagi dipisahkan pagar kawat, tapi kabut tebal. Kabut itu semakin pekat setiap hari.

Saya makin gelisah ketika membaca bagian tentang bagaimana perusahaan besar tidak terlalu antusias menahan arus kebohongan. Mereka terlalu sibuk menghitung keuntungan. Kebohongan membuat orang marah.

Kemarahan membuat orang menggulir lebih jauh. Guliran membuat klik meningkat. Klik membuat iklan berjalan lebih lama. Dan begitu saja, kebohongan menjadi bahan bakar ekonomi digital.

Di usia saya sekarang, saya kira saya sudah mencapai fase paling pasrah pada dunia: fase di mana saya lebih sering mematikan ponsel dan merawat tanaman cabai di halaman. Tapi kucing-kucing liar itu selalu memaksa saya kembali ke kesadaran: mereka akan mengeong minta makan seperti halnya algoritma meminta perhatian. Dan setiap kali saya menyalakan ponsel lagi, saya menemukan dunia yang makin tidak mengenali dirinya sendiri.

Perkembangan AI begitu cepat dan terlalu licin untuk ditangkap logika sederhana. Kita tak lagi punya waktu untuk menyesuaikan diri. Tidak ada ujian privasi, tidak ada ujian literasi, tidak ada saklar yang memberi kita kesempatan berhenti sejenak.

Dalam hitungan bulan, video palsu bisa sehalus video dokumenter. Foto palsu bisa lebih estetis dari foto karya fotografer senior. Suara palsu bisa lebih menyentuh daripada suara asli. Dunia asli kalah telak oleh dunia fabrikasi.

Di titik ini, saya hanya bisa bilang: kita sedang berjalan dalam gelap sambil membawa korek yang hampir habis. Setiap orang di sekitar kita membawa versi dunia yang berbeda. Ada yang percaya hoaks karena takut. Ada yang percaya demi membela kelompok. Ada yang percaya karena patah hati. Ada yang percaya karena marah. Mesin-mesin itu, yang entah dibuat oleh siapa dan diawasi oleh siapa, terus menabur informasi palsu seperti menabur benih gulma.

Saya tidak ingin menutup tulisan ini dengan pesimisme murni. Walaupun saya suka mengeluh seperti pensiunan yang tidak puas dengan kursi plastik warung kopi, saya percaya manusia masih bisa belajar. Kucing liar saja bisa paham ketika saya bilang “jangan naik meja”, meski butuh waktu tiga tahun. Kita pun mungkin bisa.

Yang kita butuhkan bukan paranoia, melainkan kewaspadaan. Bukan sinisme, tetapi disiplin. Kita perlu memeriksa ulang apa pun yang membuat kita marah terlalu cepat, sedih terlalu dalam, atau bangga terlalu tiba-tiba.

Kita perlu berhenti beberapa detik sebelum meneruskan unggahan. Kita perlu mengingat bahwa semakin meyakinkan sebuah konten, semakin harus kita curigai asal-usulnya.

Era misinformasi bukan bencana final. Ia cuma tanda bahwa manusia harus menyalakan akalnya lebih sering daripada jempolnya. Dunia ini boleh penuh kucing liar, tapi bukan berarti kita harus membiarkan ikan pindang hilang tiap hari.

Saya tidak tahu apakah tulisan ini bisa menahan arus kebohongan digital yang menggunung. Tetapi setidaknya, sebelum kopi saya dingin, saya ingin berkata: hati-hati di dunia baru ini. Ia tampak akrab, tapi sesungguhnya adalah labirin yang dibangun oleh tangan-tangan yang tidak kita kenal. Jangan percaya apa pun sebelum hati dan nalar bekerja bersama. Jangan biarkan jempol lebih cepat dari pikiran.

Bila suatu hari sampeyan merasa dunia ini terlalu gaduh, duduklah sebentar, buat kopi tubruk, lalu biarkan kucing liar mendekat. Hewan itu mungkin tidak bisa membedakan mana hoaks mana fakta, tapi setidaknya ia tidak pernah membohongi sampeyan demi like dan viewer.

Artikel SebelumnyaUlar Muncul di Mana-mana, Pemukim Yahudi di Tiberias Ketakutan
Artikel SelanjutnyaRais Aam Makzulkan Ketum PBNU Yahya Staquf

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here