Bukan Wisata Halal, Aceh Butuh Wisata Islami

Wisata halal
FGD di PKPM Aceh tentang konsep wisata Islam di Aceh, Senin (14/8/2023). Foto: Panitia.

Komparatif.ID, Banda Aceh—Sebagai daerah yang beridentitas Islam, Aceh tidak membutuhkan pelaksanaan wisata halal (halal tourism). Karena konsep itu dilaksanakan oleh negara-negara non-muslim, untuk menggaet turis muslim yang jumlahnya sangat banyak.Konsep pariwisata yang perlu dikembangkan di Aceh yaitu wisata islami.

Hal ini mengemuka dalam Focus Group Discussion (FGD) yang berlangsung di PKPM Aceh, Banda Aceh, yang digelar oleh tim peneliti dari empat universitas yaitu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Atma Jaya, Alma Alta dan STAIN Meulaboh, Senin (14/8/2023). FGD tersebut bertajuk “Pengembangan Wisata Islam di Aceh, Antara Peluang dan Tantangan”

Prof. Sjafri Sairin, yang menjadi pemantik diskusi mengatakan pengembangan wisata di Aceh tidak jelas. Tidak fokus sehingga tidak berpangkal dan tidak berujung. Padahal Aceh merupakan salah satu daerah di Indonesia yang sangat potensial bila dikembangkan serius.

Baca: Wisata Islami di Aceh Sangat Menjanjikan, Tapi Tidak Terkonsep

Aceh memiliki banyak peluang karena alamnya indah, budayanya sangat menarik, serta kekayaan sejarah yang tiada bandingan. Salah satu peluang paling besar yaitu heritage tour, tapi belum dikembangkan secara serius di Aceh.

Sjafri Sairin membandingkan Aceh dengan Yogyakarta. Kota Yogyakarta tidak punya apa-apa. Sebuah daerah yang miskin. Tapi berkat keterampilan warga dan pemerintahnya, Yogyakarta berhasil dijadikan kota budaya dan kota wisata. Selain juga sebagai kota pendidikan.

Selama ini Aceh menggadang-gadang wisata syariah, tapi konsepnya tidak jelas. Belum memiliki rumusan yang konferehensif. Tidak kreatif, dan tidak berpola.

“Konsep wisata di Aceh masih dipahami sebatas membatasi perempuan. Menjilbabkan perempuan. Wisata Aceh baru sebatas itu,” kata Sjafri.

Praktisi Wisata Marzi Afriko memberikan pandangan bahwa Aceh keliru mengelola isu wisata. Yang digembar-gemborkan adalah wisata halal. Padahal konsep wisata halal dikembangkan untuk negara-negara non-muslim. Sedangkan Aceh merupakan daerah Islam. Semua makanan disajikan secara halal.Kecuali di beberapa titik tertentu di perbatasan Aceh dan Sumut antara Singkil dan Pakpak Bharat.

Menurut Marzi Afriko yang justru dikembangkan adalah wisata islami. Hal ini terkait standar pelayanan, yang di dalamnya berupa transparansi harga, kualitas layanan, serta kebersihan objek wisata. Juga tersedianya informasi yang utuh tentang objek wisata yang dikunjungi wisatawan. Hal terpenting lainnya adalah menghadirkan kenyamanan dan keamanan.

Secara bahasa, frasa wisata islami juga akan dapat diterima secara lebih luas, mengingat Islam sebagai nilai bukan sekadar seperangkat hukum (syariat).

Prof. Sjafri Sairin selaku Guru Besar Antropologi UGM dan UMY mengomentari wajah wisata islami yang harus diberikan penegasan. Menurutnya, dalam konteks wisata islami memperhatikan kebutuhan pluralitas juga penting, mengingat saat wisata dibuka, maka tak bisa menahan laju pengunjung dengan berbagai latar kultur dan identitas (agama dan suku). Karena itu, ia memberi contoh beberapa tempat yang kekeh pada penerapan wisata syariat, nilai kemanusiaan harus menjadi pritoritas.

Salamah Mahmud dari UIN Ar-Raniry mengatakan wisata Aceh perlu pembenahan yang subtantif, mulai dari pelayanan dan infrastruktur, termasuk kejelasan biaya pengunjung wisata yang terkesan absurd. Menurutnya, selama ini wisata di Aceh juga terkesan belum menunjukkan sisi melek wisata dari pengelola, meskipun beberapa tempat sudah menunjukkan kualitas wisata yang baik. Tentunya, ini perlu perhatian Pemerintah Aceh untuk membangkitkan dunia wisata islami di Aceh yang sesungguhnya.

Artikel SebelumnyaFilm Cina Mengubah Pandangan Rakyat Indonesia Terhadap Tiongkok
Artikel SelanjutnyaBegini Kronologi Penangkapan Nyonya N

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here