Bireuen Express Dalam Kenangan Penumpang

Bireuen Express
Bireuen Express merupana ingatan kolektif warga Bireuen dan rakyat Aceh. Karena nama besar dan daya jelajah jauh kala AKDP itu berjaya di era 80-90an. Foto: FakhrulradhiAceh/Dishub Aceh.

Komparatif.ID, Banda Aceh— Bus Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) Bireuen Express merupakan angkutan umum paling legendaris di pantai timur dan utara Aceh. Selain terkenal karena sebagai perintis bus medium, juga memiliki armada paling banyak di kelasnya.

Bireuen Express yang merupakan bus kelas medium yang paling awal mengaspal di Tanoh Rincong, memimpin lini bisnis tersebut seiring bertumbuhnya industri karoseri di bekas Kewedanaan Bireuen. Di puncak jayanya, Bireuen Express pernah memiliki armada 250 unit, yang merupakan bus-bus yang didaftarkan oleh para afiliator bergabung dalam CV Bireuen Express.

Dengan trayek terpanjang di Aceh, Kuala Simpang-Banda Aceh, dan sejumlah trayek panjang lainnya, membuat BE menjadi bus paling umum ditumpangi oleh siapa saja. Kelebihan AKDP tersebut, melayani semua kalangan. Dari orang miskin, pegawai negeri, peniaga kelas menengah, mahasiswa, pelajar, dan lainnya, pernah menjadikan BE sebagai moda transportasi.

Baca: Sejarah PO Bus Bireuen Express

Tidak diketahui secara pasti mengapa CV Bireuen Express tergerus zaman. Ada yang mengatakan karena konflik berkepanjangan di Aceh sepanjang 1989 sampai 2005. Alasan tersebut menurut sejumlah sumber masuk akal. Karena sangat jarang warga bepergian. Tapi lahirnya pesaing dari kelas yang sama juga menjadi alasan. Para pesaing muncul dengan ide lebih segar, dan armada lebih mumpuni.

Tapi satu hal yang banyak para analisator otomotif bilang, BE tergerus karena tidak dikelola oleh manajemen bisnis yang profesional. Perusahaan bus medium tersebut tidak membaca pasar otomotif yang terus berkembang. Bus-bus berbadan sedang tergerus seiring inovasi dunia otomotif.

Kemunculan Mitsubishi L-300 yang diubah oleh karesori di Aceh menjadi minibus pada akhir 90-an menggerus pasar yang dilayani oleh BE dan bus setipe dengannya. L-300 CV Mandala hadir dengan layanan lebih paripurna. Penumpang dijemput dan di antar sampai ke depan pintu rumah. Penumpang tidak mempersoalkan ongkos yang lebih mahal, karena ongkos becak dan ojek sering tak masuk akal.

Sebagai armada angkutan umum yang legendaris, BE ada di dalam benak banyak orang. Selalu dikenal sebagai bagian dari sejarah hidup.

BE, bus medium tanpa AC, suara knalpot diesel yang masuk dalam kabin, suara musik yang kabur diselimuti deru mesin Mitsubishi Colt Diesel FE enam roda, serta jendela-jendela kaca yang dibuka supaya udara segar masuk ke dalam kabin yang dipenuhi penumpang dari berbagai latar belakang.

Mereka Mengenang Bireuen Express

Sejumlah pembaca Komparatif.ID berbagi kenangan, setelah membaca artikel berjudul Sejarah PO Bus Bireuen Express, yang tayang pada Rabu (26/7/2023) malam.

Wahyudi, mantan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Lamlagang, Banda Aceh, sudah naik turun BE sejak tahun 1985.

Setiap hendak berangkat ke Banda Aceh, Wahyudi yang bermukim di Samalanga menuju terminal kecil di Keude Samalanga. Setiap pukul 07.30 WIB BE trayek Bireuen-Banda Aceh keluar dari terminal dan melibas jalan beraspal yang belum begitu mulus.

Baca: Mitsubishi Col Diesel FE 119 120PS, Raja Truk Ringan

Bus terengah-engah mendaki berbagai kelokan di sepanjang mendaki punggung Gunung Seulawah. Udara di sepanjang Seulawah masih sangat dingin kala itu. Bus tersebut tiba di Banda Aceh pada pukul 13.00 WIB. Semua penumpang turun, kernet menurunkan barang dari atap, becak berkerumun mencari penumpang yang melanjutkan perjalanan jarak pendek.

Dili Munanzar yang sekarang ini sedang berniaga sate dengan merek Sagobi di Kota Lhokseumawe, punya kenangan bersama BE di masa-masa Bireuen express memasuki era kelam.

Tahun 2002, Dili Munanzar pindah sekolah dari Banda Aceh ke Langsa. Dia mengangkut berbagai peralatan selama mondok di salah satu pesantren modern. Dia menumpang Bireuen Express yang mangkal di Terminal Beurawe, Banda Aceh. tujuan akhir Dili yaitu Alue Ie Puteh, Aceh Utara. Di sanalah ibu dan ayahnya bermukim.

BE keluar dari Terminal Beurawe pada pukul 09.00 WIB. Terengah-engah bus itu menyusuri jalan beraspal, mendaki punggung Seulawah, kemudian menuruni jalan curam. Akhirnya mereka tiba di Terminal Sigli. Di sana Dili dioper ke BE yang lain. Bus yang ia tumpangi rupanya tidak melanjutkan perjalanan.

Dili pindah bus, barang-barangnya dilangsir ke bus pengganti. Perjalanan kembali dilanjutkan. Udara panas, dan aroma parfum murah yang dipakai oleh beberapa penumpang, membuat perjalanan Dili remaja menjadi sangat suntuk.

Tiba di Kota Bireuen, bus masuk terminal. Dili dan barangnya kembali dioper ke BE lainnya. Badannya remuk redam. Lelah menggelantung dibahunya. Peluh bercucuran di dahinya yang gelap.

Pria muda itu ingin protes, tapi tidak berani. Karena tidak ada pilihan. Aceh sedang sangat suram dibekap konflik bersenjata. Bus tidak banyak yang beroperasi. Akhirnya dia hanya bisa pasrah sembari berdoa supaya lekas sampai ke rumahnya di Alue Ie Puteh.

Sialnya lagi, begitu sampai di Lhokseumawe, dia lagi-lagi dioper ke bus lain. Dili sudah remuk redam. Dengan tenaga tersisa, akhirnya bus yang tripnya hanya sampai Panton Labu. Pukul 20.00 WIB dia baru sampai ke rumah.

“Saat itu, tidak ada pilihan. Selain karena konflik, bus yang mau mengangkut segala hal hanya BE. Saya pulang dari Banda Aceh membawa kasur, lemari dan peralatan lainnya. Hanya BE yang bersedia mengangkutnya,” kenang Dili.

Bersama BE, bukan sekali dua dia berhubungan secara informal. Bus umum tersebut seringkali ditumpangi. Banyak nostalgia di dalam kabinnya. Mulai tahun 1998 dia sering menumpang bus tersebut.

Ada kisah pdkt (pendekatan) dengan remaja putri yang ia incar, menonton film Bollywood Kuch-Kuch Hota Hai yang diputar di dalam bus, dan perjalanan saat kuliah menumpang Bireuen Express yang penuh asap rokok.

Kalau Lebaran, bus tersebut penuh sesak. Mulai anak-anak sampai orangtua menumpang bus kelas penumpang egaliter.

Boihaqi Kersena punya pengalaman tidak mengenakkan. Dia yang masih pelajar SMA pada tahun 2004 seringkali ditolak saat menumpang Bireuen Express. Maklum karena dia pelajar dan jarak perjalanannya sangat dekat yaitu Geurugok-Krueng Panjo, masih dalam Kabupaten Bireuen.

Kernet beralasan malas mengangkut siswa karena ongkos yang dibayar pada level Harga Eceran Terendah (HETd). Bila itu terjadi, maka Boihaqi dan kernet akan cekcok mulut.

Kini, semuanya telah tinggal kenangan. Bireuen Express telah pamit melayani warga pantai timur dan utara Aceh. Armadanya bahkan ada yang telah dicincang menjadi besi kiloan. Sebagian menjelma menjadi bus pariwisata. Sebagian lainnya dikembalikan sebagai truk niaga untuk kebutuhan dalam daerah.

Artikel SebelumnyaMitsubishi Colt Diesel FE 119 120PS, Raja Truk Ringan
Artikel SelanjutnyaPerempuan Muda di Bisnis Esek-esek di Serambi Mekkah
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

1 COMMENT

  1. Pengalaman saya saat tahun 198-2000 saat pulang sekolah dikomplek pelajar tijue pada saat BE berhenti mengangkut anak sekolah,sangat bahagia walaupun momen BE berhenti sangat langka..walaupun hanya sampai kota sigli pada saat menaiki BE terasa sedang menuju banda aceh

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here