Komparatif.ID, Banda Aceh–Bila merdeka menjadi sebuah negara, bangsa Aceh bisa lebih hebat dari Brunei Darussalam dan Uni Emirat Arab. Demikian disampaikan Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Aceh yang juga Ketua Tuha Peut Partai Aceh Teungku Malik Mahmud Al-Haytar, Minggu (26/2/2023) malam di Ballroom Hotel Hermes Palace, Banda Aceh.
Di depan seribuan pengurus dan kader, serta undangan lainnya yang hadir pada malam penutupan Musyawarah Besar (Mubes) III Partai Aceh, Teungku Malik Mahmud Al-Haytar mengatakan bila dibandingkan dengan Brunei dan Emirat, kedua negara itu sebenarnya bukan apa-apanya bila disandingkan dengan potensi negeri bangsa Aceh.
Kedua negara tersebut hanya memiliki gas alam dan minyak bumi. Untuk kebutuhan bahan makanan harus impor. Sedangkan Aceh mempunyai segalanya. Mulai sumber daya mineral hingga bahan makanan pokok melimpah.
Baca juga: Madu untuk Republik, Tuba Dalam Cawan Daoed Beureueh
Lalu apa yang membuat saat ini Aceh belum dapat menjadi lebih hebat? Salah satunya karena orang Aceh di masa kini belum seluruhnya menyadari bila dirinya merupakan bangsa besar dan hebat. Sehingga lalai serta kalah mental dengan bangsa lain.
Pola pembangunan mental harus diawali di rumah. Orangtua wajib memberikan penyadaran kepada anak-anaknya tentang identitas mereka. Sampaikan siapa Aceh dan bagaimana Aceh. Supaya mereka percaya diri dan tahu tentang bangsanya.
“Ayah saya dulu mengatakan kepada saya yang masih kecil tentang bangsa Aceh. Meskipun saya lahir di Singapura tapi tahu tentang siapa Aceh. Ayah mengajari kami bahwa salah satu bangsa hebat di dunia yaitu Aceh,” sebut Paduka Yang Mulia Teungku Malik Mahmud.
Dulu–sebelum mendapatkan pelajaran tentang bangsa Aceh, Teungku Malik remaja mengira dirinya berketurunan Melayu. Tapi karena ayahnya selalu mengajari tentang Aceh, sehingga Malik muda mulai mempelajari lebih dalam tentang bangsa Aceh. Dia menemukan di beberapa negara studi tentang Aceh diajarkan kepada mahasiswa.
Modal pengetahuan yang dibekali oleh ayahnya, serta penelusurannya sendiri, membuat ia mantap bergabung ke dalam Gerakan Aceh Merdeka ketika Paduka Yang Mulia Teungku Hasan Muhammad Tiro mendirikan organisasi perjuangan mengembalikan kemerdekaan Aceh.
Sebagai sebuah bangsa, dalam rentet sejarah Aceh juga memiliki peran sangat besar menjaga Indonesia supaya tetap ada.
Setelah kekalahan Jepang di front Pasifik–akibat bom atom Sekutu di Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945– angkatan perang Inggris yang diboncengi Belanda, memasuki Indonesia dengan dalih pelucutan terhadap serdadu Jepun.
Namun dalam kenyataannya Inggris membawa serta Nederlandsch Indische Civiele Administratie (NICA) yang merupakan otoritas sipil dan militer yang berfungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah Belanda dari tahun 1944 hingga 1947 untuk wilayah yang merupakan bekas dari koloni Hindia Belanda.
NICA berhasil menduduki seluruh kota-kota penting Indonesia yang baru seumur jagung menjadi negara. Dengan pendudukan itu mereka mengkampanyekan kepada seluruh dunia bahwa Indonesia sudah kalah.
Satu-satunya daerah yang tidak dapat dikuasai kembali oleh Inggris yang diboncengi Belanda yaitu Aceh. Tentara dan gerilyawan Aceh yang saat itu bergerak ke Sumatera Timur, menghalau Inggris dan Belanda di front Medan Area. Dengan hanya Aceh satu-satunya yang tidak dapat lagi diduduki, Indonesia tetap ada dan akhirnya diakui dunia internasional.
Malik Mahmud mengingatkan, demi menjaga Indonesia tetap ada kala masih berusia balita, Aceh bukan semata memberikan pesawat udara. Tapi juga memberikan uang dan bala tentara. Karena Aceh-lah Indonesia tetap ada.
Namun karena berkali-kali dikhianati, bangsa Aceh melakukan perlawanan. Hingga akhirnya maujud damai di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005.
Partai Aceh merupakan amanat perjuangan dan perdamaian. Lahir sebagai tempat meneruskan cita-cita perjuangan yang belum usai. Oleh karena itu seluruh kader harus kembali ke tujuan awal Partai Aceh, supaya kembali menjadi partai utama pilihan rakyat Aceh.