Biarkan Perokok Menerjemahkan Dirinya

perokok
Khairil Miswar. Foto: Dok. Penulis.

“Perokok selalu dilihat dari sudut pandang sempit aktivis antirokok.”

Menarik sekali membaca artikel yang ditulis salah seorang intelektual kita, Muazzinah Yacob, akademisi UIN Ar-Raniry. Dalam artikelnya yang bernas itu, Muazzinah menuding perokok sebagai orang yang sulit disadarkan karena selalu punya alibi untuk membela diri. Muazzinah juga memaparkan berbagai alasan yang menurutnya bisa menjadi dalil untuk memborbardir para perokok di tanah air.

Menyimak ulasan Muazzinah tersebut, ada beberapa hal yang perlu didiskusikan agar penghakiman-penghakiman demikian tidak terus terjadi. Pertama, frasa sulit disadarkan yang digunakan Muazzinah terhadap para perokok seakan hendak menggiring publik bahwa para perokok adalah komunitas “pendosa” sehingga ia butuh disadarkan. Di sini terlihat jelas bahwa telah terjadi penghakiman secara sepihak terhadap para perokok dengan tanpa ampun. Padahal, perokok memiliki derajat yang sama dengan konsumen barang lainnya, sebut saja komunitas pecinta bakso, pecinta sate, pisang goreng dan makanan-makanan.

Dalam hal ini, Muazzinah telah memosisikan rokok sebagai satu-satunya petaka dalam dunia kesehatan dan sekaligus menafikan sisi bahaya dari sate, pisang goreng atau minuman kaleng yang mereka teguk setiap harinya. Untuk mempertahankan argumennya, para antirokok sering berdalih bahwa mengonsumsi makanan sangat berbeda dengan mengonsumsi rokok. Argumen klasik yang sering diajukan bahwa makanan itu bisa mengenyangkan, sementara rokok tidak memberi manfaat apa pun dan hanya membakar-bakar uang.

Baca: Perokok dan Rasa Malu

Pernyataan tersebut sudah pasti benar jika dilihat dari perspektif aktivis antirokok. Namun, dalam perspektif penikmat tembakau argumen ini sama sekali tidak bisa diterima, sebab manfaat rokok tidaklah dilihat dari kebutuhan perut seperti halnya makanan, tapi ada kebutuhan lain di sana yang hanya dimengerti oleh perokok. Dalam hal ini, perokok tentu lebih berhak menerjemahkan dirinya dan bukan justru larut dalam penerjemahan para aktivis antirokok yang absurd. Menjelaskan kenikmatan rokok kepada aktivis antirokok sama halnya dengan menjelaskan pengertian fana dalam dunia sufi–yang tentunya tidak mungkin bisa dipahami oleh mereka yang tidak pernah merasakannya.

Karena itu, apa yang disampaikan Muazzinah dapat dimengerti sebagai bentuk ketidakmengertiannya terhadap para perokok. Jika merokok dianggap sebagai perbuatan sia-sia dengan frasa “membakar uang,” harusnya mengonsumsi bakso juga bisa diterjemahkan sebagai “memakan uang” yang pada akhirnya juga akan menjadi kotoran. Lalu apa bedanya membakar uang dan memakan uang jika kedua aktivitas ini sama-sama bermuara pada “punahnya” uang?

Jika poinnya adalah kesehatan, maka bukan saja penagih rokok yang harus disadarkan tetapi juga para pemakan makanan yang semakin hari tubuhnya semakin besar. Mereka juga butuh disadarkan agar tidak merusak kesehatan. Demikian pula jika yang menjadi fokus adalah uang, maka segala praktik menghabiskan uang seperti membeli tiket pesawat, membeli baju baru dan sebagainya juga harus disadarkan. Bukankah tiket dan baju jika tidak bisa mengenyangkan? Namun, kenapa aktivitas demikian tidak dianggap sia-sia, padahal juga menghabiskan uang?

Kedua, alibi membela diri. Para perokok dituduh selalu punya alibi membela diri. Argumen ini tentu sama saja dengan usaha-usaha yang dilakukan aktivis antirokok, di mana mereka juga selalu punya alibi untuk menyalahkan perokok. Nah, jika aktivis antirokok boleh menyalahkan perokok, kenapa pula para perokok tidak boleh membela diri? Tentunya ini adalah upaya dominasi yang sama sekali tidak adil.

Ketiga, dalam artikelnya, Muazzinah juga meledek perokok sebagai orang-orang yang memperkaya industri rokok. Sayangnya, Muazzinah lupa bahwa orang-orang yang setiap hari membeli baju baru, sepatu baru, tas baru, mengisi BBM, membeli tiket pesawat dan seterusnya juga akan berdampak pada kayanya pihak lain. Apakah dengan terus membeli baju baru misalnya, para penjual baju akan semakin miskin? Demikian pula dengan terus-terusan membeli tiket pesawat untuk terbang ke sana ke mari, apakah akan membuat pemilik pesawat bangkrut? Tentu tidak. Pastinya mereka akan semakin kaya seperti halnya perusahan rokok yang rokoknya terus laku. Intinya, yang kita lakukan setiap hari memang memperkaya industri orang lain–dengan cara kita masing-masing.

Keempat, penikmat rokok dituding sebagai pihak yang selalu merasa superior. Soal menghargai, saya pikir ada ramai perokok santun di negeri ini yang memang menghindari merokok di bus-bus umum atau pun di ruangan tertutup. Ada pun perilaku beberapa perokok yang merokok sembarangan–tidaklah menjadi alasan untuk kemudian melakukan generalisasi–bahwa semua perokok tidak menghargai orang lain. Sama halnya dengan orang-orang yang makan di tempat umum sementara di sampingnya ada orang yang menahan lapar, pada prinsipnya juga tidak menghargai orang lain.

Adapun soal kehadiran Kawasan Tanpa Rokok (KTR) tentu sah-sah saja tanpa kemudian harus menyalahkan perokok ketika mereka justru tidak diberikan ruang yang sama. Orang-orang yang tidak merokok berhak atas udara segar, sementara penagih rokok juga berhak merokok. Benturan dua kepentingan ini tentunya bisa diselesaikan dengan lebih bermartabat tanpa melulu menunjuk-nunjuk muka konsumen tembakau linting.

Kelima, Muazzinah menyebut seorang ayah lebih mampu membeli rokok daripada bahan pokok untuk kebutuhan keluarga. Klaim ini tentunya terlalu tendensius, sebab faktanya para penikmat tembakau sangat paham kapan ia harus membeli rokok dalam bentuk bungkusan dan kapan harus membeli ketengan. Mereka juga paham kapan harus mengisap rokok yang sering tampil dalam bentuk iklan cowboy, dan kapan pula mengisap tembakau dibalut daun nipah. Karena itu, membenturkan kepentingan membeli rokok dan kepentingan membeli kebutuhan keluarga adalah tindakan yang tentunya sangat tendensius karena hanya didasarkan pada logika aktivis antirokok tanpa memberi kesempatan kepada para penikmat rokok untuk memberi penjelasan.

Keenam, merokok merusak lingkungan. Ini adalah klaim paling destruktif dalam satu abad terakhir. Dalam hal ini data-data yang digunakan penulis hanya merujuk pada jumlah puntung rokok dan menafikan potensi sampah dari produk-produk lain yang dalam faktanya juga menjadi penyumbang kerusakan lingkungan. Di sini terlihat jelas bahwa argumentasi yang digunakan Muazzinah sama sekali tidak dapat diterima karena didasarkan pada perspektif gerakan antirokok sehingga yang dilihat hanyalah sisi negatif dari aktivitas merokok, tapi menafikan fakta-fakta dari aktivitas lainnya yang tak kalah merugikan.

Terakhir saya ingin menyampaikan kepada Muazzinah bahwa tokoh-tokoh pendiri bangsa seperti Soekarno dan Agus Salim itu penikmat kepulan asap rokok yang dihasilkan dari proses pembakaran tak sempurna. Penulis-penulis besar seperti Pramoedya Ananta Toer dan Hamka itu perokok. Penyair legendaris Chairil Anwar itu perokok. Dan seterusnya dan seterusnya. Ada ramai sekali perokok produktif di negeri ini. Karena itu, tidak selamanya kampanye negatif terhadap perokok dapat diterima.

Sekali lagi, jangan melihat penyundut dari perspektif antirokok.

 

Artikel SebelumnyaTerima Bonus dari KONI Bireuen, Diana Hasnah Beli Motor
Artikel SelanjutnyaRevisi UUPA dan Kewenangan Aceh
Khairil Miswar
Seorang esais dan juga penulis sejumlah buku bertema kritik sosial. Salah satunya buku berjudul: Demokrasi Kurang Ajar, yang diterbitkan oleh Zahir Publishing, 2019.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here